Judul
Buku: Kesalehan Sosial
Penulis: Mohammad Sobary Penerbit: LKIS, Yogyakarta Cetakan: I, Agustus 2007 Tebal: xvi + 280 halaman; 12 cm x 18 cm Peresensi: Wasid Mansyur |
Sebagai
bangsa yang kaya raya, seyogyanya masyarakatnya mengalami proses perkembangan
yang baik dalam kehidupan. Namun, realitas berbicara beda, kesenjangan demi
kesenjangan terjadi antarindividu. Pusat lebih bisa mengakses perekonomian dan
politik, sementara daerah kurang menjadi perhatian secara serius. Para
konglomerat juga lebih banyak memperkaya diri, tanpa mempertimbangkan
keseimbangan roda perekonomian di wilayah yang digerakkan masyarakat kecil,
sehingga pasar tradisional dan masyarakat ter-miskin-an oleh roda laju kekuatan
kapital yang sulit tertandingi.
Kondisi
ini juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang kurang, jika tidak sama
sekali, memberikan keuntungan kepada rakyat kecil. Persinggungannya dengan para
konglomerat, baik pribumi maupun asing, acapkali menjadi rintangan, bagi
kemajuan pedagang kecil, para penjual asongan dan lain-lain.
Dari
sini, dipahami, sebagai bangsa yang beragama, bahwa kesadaran akan peran agama
terhadap perubahan sosial di atas sangatlah penting. Pemaknaannya yang lebih
membumi menjadi modal penting juga bagi terciptanya etika sosial untuk mengangkat
roda perekonomian pemeluknya. Karenanya, agama bukan sekedar berada dalam ranah
spiritual an sich, tapi juga berada dalam ranah sosial.
Gambaran
di atas merupakan keresahan yang diuraikan Mohammad Sobary dalam bukunya
Kesalehan Sosial (2007). Buku ini menjadi menarik, menurut penulis, karena
obyek yang diuraiannya dikaitkan dengan pemahaman ala Weberian, yaitu paham
yang menghubungkan pemahaman agama (baca: kristen) dengan perkembangan
kapitalisme di Barat, yang kemudian dikenal dengan Etika Protestan.
Bagi
Kang Sobary, sebutan yang dikenal, dengan mengutip Syair WS Rendra, “Kita orang
asing di tanah nenek moyang kita” (hal.245). Ungkapan ini tidak tiba-tiba ada,
tapi telah melalui proses analisa yang dikaitkan dengan fenomena-fenomena
sosial yang dihadapinya. Dan ditemukan kebanyakan masyarakat Indonesia masih
menjadi “budak” di negeri sendiri. Sementara, para pemodal asing selalu menjadi
“tuan” dan penentu gerak ekonomi di negeri orang.
Apa
yang menjadi pikiran Kang Sobary merupakan realitas empirik-sosiologis, ketika
membacanya perkembangan ekonomi di era Orde Baru. Kemajuan ekonomi, pada saat
itu, hanya menguntungkan segelintir orang. Dan, pemerintah yang telah
memfasilitasinya seringkali tidak menimbang proses keadilan dalam pembagian
"kue" nasional, sehingga masyarakat tidak disadari menjadi budak di
negeri sendiri, misalnya, bagaimana nasib pekerja Freeport yang mayoritas orang
Indonesia, dengan gaji tidak seimbang antara mereka dengan hasil alam yang
dieksploitasi secara berlebihan oleh pemodal asing.
Pemerintah
acap kali mengambil keuntungan secara pribadi maupun kelompok, sehingga kontrol
komunikasi dengan arus bawah selalu dilakukan, agar kesenjangan konglomerat
dengan rakyat tidak mengeras yang berakibat pada konflik horisontal. Agar lebih
strategis, pemerintah melarang beberapa organisasi massa yang beroposisi dengan
negara, demi terjaganya stabilitas negara dan ekonomi nasional.
Uraian
Kang Sobary dalam melihat realitas ini dikaitkan dengan majunya dunia Barat
dalam perekonomian, yang menurut logika Weberian, hal ini tidak bisa dipisahkan
dari apa yang disebut dengan "Etika Protestan". Semangat kapitalisme
dalam padangan Weber sebagaimana disebutkan dalam bukunya The Protestant
Ethic and The Spirit of Capitalism merupakan aspek sentral bagi munculnya
kapitasme modern, meskipun tesis ini tidak menampik mendapat kritik dari
tokoh-tokoh lainnya. Dan, tidak sedikit pula pemikir yang larut dalam kelompok
Weberian. Karenanya, bekerja tidaklah semata-mata demi memperoleh uang untuk
menunjang kehidupan, tetapi bagian dari "panggilan" agama dan sikap
menjadi biarawan sehari-hari untuk memperoleh penyelamatan (baca: surga),
tandas Weber.
Jadi,
hubungan agama dan ekonomi sangat penting dipahami, dengan menempatkan ushalli
dan usaha secara seimbang. Realitas ini terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, misalnya, penduduk Suryalaya. Pergulatan perekonomian penduduk
Suryalaya, yang menjadi obyek penelitian buku ini, memiliki kemiripan dengan
apa yang terjadi dalam perkembangan ekonomi di Barat dengan mengaitkan pada
agama (baca:Islam dengan semangat berbisnis)
Semangat
bekerja, dengan bisnis kecil-kecilan, dan keyakinan beragama menjadi sarana
kelangsungan hidup masyarakat Suryalaya. Selain itu, mentalitas komersialisme;
hemat, kerja keras, rajin, terampil dan mengaitkan kegiatan-kegiatan keagamaan
tertentu dengan upaya komersial. Artinya, apa yang dilakukan terkait dengan
proses keberagamaan ditemukan adanya upaya motivasi komersial.
Namun,
temuan Kang Sobary menunjukkan bahwa penduduk Suryalaya bernasib beda dengan di
Barat, meskipun sama memiliki pemahaman mengenai peran agama sebagai etika
perkembangan ekonomi. Kalau di Barat, Etika Protestan mampu mengangkat
mentalitas kapitalsme dalam banyak kalangan dan berkembang menjadi kapitalisme
modern. Berbeda dengan penduduk Suryalaya yang tetap kurang mengalami
keberuntungan ekonomi secara maksimal, karena diakibatkan oleh faktor
struktural dan non struktural, tandas Kang Sobary (hal: 254).
Secara
structural, penduduk Suryalaya dihadapkan dengan pasar terbatas, kecenderungan
melakukan bisnis secara individu, tidak membentuk komunitas komersial yang
lebih besar serta masuknya nilai agama sebagai spirit berbisnis tidak secara
langsung menjadi prilaku keseharian, tapi melewati dulu dengan jalur budaya
penduduknya (baca: Betawi). Secara nonstruktural, penduduk Suryalaya tidak
mendapat dukungan modal yang besar, sehingga laju roda ekonominya berjalan
ter-”seok-seok”.
Hasil
temuan Kang Sobary ini manarik, yang ternyata agama sebagai etika sosial, tidak
cukup diwartakan, tapi harus dikaitkan dengan realitas-empirik dengan dimensi
sosial, budaya dan politik sekitarnya. Artinya, menjadikan agama sebagai spirit
berekonomi, berpolitik dan berbudaya menjadi penting di satu sisi dan pada sisi
yang berbeda dimensi-dimensi lain yang menghambat haruslah habis, jika tidak
dilenyapkan, demi menyatunya semangat ushalli dan usaha.
Dus,
agama memiliki nilai-nilai penting bagi kehidupan sosial. Semangat beribadah
seharusnya dipahami lebih membumi dan berharmoni dengan kebutuhan sehari-hari.
Karenanya, menjadikan agama sebagai etika sosial merupakan keniscayaan, dengan
menempatkan semangat beribadah berimbang dengan semangat berusaha (baca:
bisnis). Dan, buku ini menarik untuk dibaca, sebagai pengkayaan wacana dalam
mengait agama dan kepentingan publik (public interest). Selamat membaca.[*]
*) Penikmat buku, Koordinator Forum Komukasi Santri Surabaya/Foksa.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar