Minggu, 23 Maret 2014

London Wild Rose

Judul: London Wild Rose
Penulis: Kusuma Andrianto
Penerbit: Dastan Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2005
Tebal: 374 halaman


Kisah sedih perihal nasib mahasiswa-mahasiswa terancam drop out karena kekurangan biaya memang sudah jamak di negeri ini. Demi meraih predikat sarjana dan harapan akan masa depan yang lebih baik, mereka bergulat dengan pelbagai problem finansial yang kadang-kadang bisa berbuah putus asa. Di samping menghadapi tugas-tugas akademik yang melelahkan, mereka mesti ‘nyambi’ sebagai guru privat, penulis lepas, pemandu wisatawan asing, grafis designer amatiran, karyawan cafe internet dan sederet pekerjaan freelance lainnya.
Andaikan anda salah satu dari mereka, tapi sedang berada di luar negeri. Jumlahkan semua masalah yang dihadapi mahasiswa terancam D.O dalam negeri, atau lipatgandakan hingga sepuluh, dua puluh kali, maka demikianlah kompleksitas permasalahan yang menimpa mahasiswa-mahasiswa miskin di luar negeri. Jika anda berkuliah di Jakarta, Bandung atau Yogyakarta, anda masih bisa ‘nyambi’ sebagai pekerja freelance seperti diceritakan di atas. Tapi, tak segampang itu penyelesaiannya bila anda tercatat sebagai mahasiswa sebuah universitas di London. Tak ada izin bekerja di sektor formal (white collar). Maka, anda terpaksa melakukan pekerjaan kasar (blue collar). Itu pun diperbolehkan hanya beberapa jam dalam sehari.
Jangan heran, bila ada khabar tentang mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri, yang bekerja sebagai ‘tukang cebok’ (pencuci piring di restoran fastfood), semacam karyawan kasar di restoran masakan Padang, jika di Jakarta. Ada pula yang memilih sebagai ‘pegolf’. Tapi, jangan ditanya berapa handicap mereka. Mereka tidak paham apa itu hole in one, juga tidak kenal Tiger Woods. Sebab, yang dimaksud ‘pegolf’ itu adalah mahasiswa-mahasiswa yang setiap pagi (sebelum jam kuliah) mengusung tongkat panjang pembersih lantai, berlagak seperti pegolf kelas dunia.
Keluh kesah para ‘pegolf’ inilah yang diangkat dalam novel London Wild Rose (Dastan Books, 2005), karya Kusuma Andrianto. Adalah Donny, mahasiswa kedokteran (asal Indonesia) sebuah universitas di London yang sedang terlilit utang dan dikejar-kejar debt collector. Sekedar bertahan di negeri orang, ia bekerja di The Spears, klub malam terkenal di East End, London. Sebagai cleaning service, Donny tidak hanya merapikan ruangan yang penuh sampah bekas kemasan coffe-liquour, kacang pistacio, botol minuman, tapi juga alat-alat suntik, kondom bekas dan celana dalam robek yang berserakan di lantai dan sudut-sudut kamar.
Di sinilah Donny bertemu dengan Monique, perempuan usia dua puluhan, penari telanjang (stripper). Hubungan pertemanan Donny dan Monique yang terjalin perlahan-lahan, dimanfaatkan pengarang untuk menyingkap ‘wajah’ dunia bawah tanah kota London yang tak terlihat di permukaan. Berawal pada sebuah pagi ketika Donny dikagetkan oleh kedatangan seorang perempuan yang berteriak memanggil-manggil nama ; Monique. Wajahnya penuh luka-lebam bekas penyiksaan, dari selangkangannya mengucur darah. Bayi dalam kandungannya nyaris tak terselamatkan. Monique menangis histeris melihat kondisinya yang mengenaskan itu, dan bergegas minta pertolongan Donny. Ketika Donny bermaksud hendak menelpon ambulance untuk membawa perempuan itu ke rumah sakit, Monique bersitegang melarang. Itu sama saja dengan menyerahkan diri pada pesakitan yang lebih parah. Monique, akhirnya mengaku bahwa perempuan itu adalah Sophie, adik kandungnya. Mereka berdua imigran gelap asal Albania yang sedang diburu petugas imigrasi. Maka, membawa Sophie ke rumah sakit sama saja dengan menyerahkan diri, tertangkap dan lalu dideportasi. Pendarahan serius yang dialami Sophie, tak lain adalah akibat perlakuan suaminya, Giorgio.
Sophie dan bayinya terselamatkan berkat ‘tangan dingin’ perempuan bernama Yekaterina. Ia teman dekat Donny, bekerja sebagai operator di city council funeral and cremation, tempat penyimpanan mayat sebelum disemayamkan. Nasib dan peruntungan Yekaterina ‘setali tiga uang’ dengan kakak beradik imigran gelap: Monique dan Sophie. Yekaterina juga ‘pendatang haram’ dari di Eropa Timur. Konon, sebelum negerinya luluh-lantak akibat perang saudara, ia salah satu dokter terbaik yang pernah ada. Kekejaman perang menyebabkan Yekaterina hengkang ke luar negeri, dan berakhir sebagai pemegang paspor palsu di London. Berbekal kemampuan itu, ia berhasil melakukan operasi seadanya, menyelamatkan Sophie.
Pada bagian awal novel ini, dapat diterka bahwa pengarang hendak membangun ‘kisah anak rantau’ yang tak bernasib mujur. Dalam kegamangan dan rasa takut Donny menghadapi debt collector yang sewaktu-sewaktu bakal menemukan persembunyiannnya, pengarang menggambarkan betapa dalamnya kerinduan Donny pada tanah kelahiran. Kerap ia mengingat-ingat pemandangan indah di pinggir pantai kota tua kelahirannya. Rindu pada kue serabi yang dijual di pinggir jalan. Kangen pada wajah keponakan yang belum sempat dilihatnya, karena saat bocah itu masih dalam kandungan, Donny sudah merantau. Tapi, ada persoalan yang lebih pelik dari sekedar cerita tentang mahasiswa miskin itu, yakni pergulatan batin Donny melihat nasib ‘pendatang haram’ seperti Monique, Sophie dan Yekaterina yang sedang di ‘ujung tanduk’. Sementara ia tak mampu berbuat apa-apa. Hendak menolong, namun Donny juga dalam posisi yang harus ditolong.
Lihatlah, Monique yang diam-diam juga menari di klub malam lain, (penghasilannya tak memadai di The Spears) untuk menghidupi Sophie dan bayinya. Monique bahkan nekat ingin menjual ginjalnya pada sindikat jual beli organ tubuh, untuk memperoleh sejumlah uang yang dapat ditukar dengan selembar paspor. Inilah satu-satunya jalan untuk membebaskan Sophie dari kekejaman Giorgio. Sophie memang sudah tak berharga bagi lelaki itu, tapi bayi yang baru terlahir dari rahimnya adalah ‘barang’ berharga yang bakal mendatangkan uang. Maka, Giorgio hendak merampasnya.
Monique memang milik semua lelaki. Penari telanjang, alkoholik dan perokok berat. Tapi, cinta dan ketulusannya pada Sophie, sulit dicari tandingannya. Ia rela mati demi orang yang dicintainya. Dengan penjualan ginjal itu, Monique juga berniat membantu Donny, melunasi hutang-hutangnya. Begitu pun Yekaterina, bila ia bersedia melakukan operasi itu, Monique akan menjatahkan sebagian hasilnya untuk mengantarkan perempuan itu meraih impiannya; menjadi dokter. Yekaterina mengingatkan, bila Monique masih nekat, tak berselang lama setelah operasi itu, kondisi kesehatannya akan menurun, akibatnya bisa fatal. Alkoholik dan perokok berat sepertinya tidak akan bertahan hidup dengan satu ginjal.
Di titik inilah, Donny ingin berbuat sesuatu untuk Monique. Karena simpati? Rasa iba? Cinta? Entahlah! Donny juga tidak tahu. Tanpa sepengetahuan Monique, Donny dan Yekaterina menyusun rencana. Yekaterina akan membius Monique, menggoreskan pisau bedah di tubuhnya, lalu membalut luka itu (seolah-olah sebelah Ginjal Monique sudah terangkat). Padahal, yang sesungguhnya akan dioperasi adalah Donny. Donny menginginkan, ginjalnya lah yang dijual untuk menyelamatkan Monique, Sophie dan bayinya, Sissy.
Pada saat operasi akan dilakukan di kamar Donny (lantai atas The Spears), mereka kedatangan tamu,Giorgio.Terjadi perkelahian hebat. Donny yang melindungi Monique dan Sophie dihajar hingga babak belur. Dalam kecamuk perkelahian yang nyaris dimenangkan Giorgio itu, lagi-lagi ‘tangan dingin’ Yekaterina bekerja. Ditusukkannya pisau bedah tepat di batang leher Giorgio, hingga lelaki itu roboh tak berdaya. Baik ginjal Monique maupun ginjal Donny tetap utuh dalam tubuh masing-masing. Sebab, yang dibedah Yekaterina adalah pinggang Giorgio. Dengan ginjalnya, Giorgio telah ‘menyelamatkan’ hidup darah dagingnya, istrinya dan juga Monique.
Novel ini tidak berkhabar perihal hingar-bingar media massa London dalam menebarkan pesona ketampanan bintang sepakbola Inggris, David Beckham atau pesta pora para pendukung tim Chelsea setelah menjuarai premier league, tapi mengajak pembaca mengintip sisi lain kota London yang menyimpan aura kepedihan tak terlukiskan. Ya, nestapa para ‘pendatang haram’ yang merelakan sebelah ginjal mereka demi selembar paspor dari pasar gelap.
Some words are better unspoken. Some feelings are better remain unsaid, hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Monique sesaat sebelum Donny melangkah menuju pesawat yang akan membawanya ke Indonesia. Yekaterina berhasil mengatur kepergian Monique, Sophie dan bayi mungil Sissy keluar dari Inggris dengan selamat. Kenapa Donny berkeputusan pulang? Bukannya bertahan untuk menyelesaikan studinya di London? Kenapa pula pengarang tidak ‘membumbui’ kisahnya dengan percintaan antara Donny dengan Monique? Pengarang berdalih, Donny ingin bertemu dengan pemilik sepasang mata indah dengan tatapan yang selama ini mengisi mimpi-mimpinya, yang tak kuasa dilupakannya. Lebih indahkah sorot mata perempuan itu dari kerdipan mata Monique saat tubuh sintalnya meliuk-liuk, melenggang-lenggok dalam keadaan tak berbusana di panggung The Spears? [*]

--Damhuri Muhammad

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar