NU, Nasionalisme
dan Politik
Oleh
Abdurrahman Wahid
Kenyataan politik di bawah kolonialisme
Belanda menyadarkan aktivis gerakan Islam dan gerakan nasionalis sebelum
masa
kemerdekaan. Dari kesadaran itulah lahir berbagai gerakan Islam, seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Walaupun "berbaju" gerakan
kultural, tapi lingkup pembahasan di kalangan mereka bersifat politis.
Tidak
heran jika para tokoh mereka juga berwajah nasionalis. Dalam lingkungan
gerakan-gerakan Islam di luar Indonesia, muncul orang-orang seperti
Jamaluddin
al-Afghani, yang menyuarakan pentingnya arti kemerdekaan bagi kaum
muslimin
sendiri. Demikian juga halnya dengan berbagai gerakan Islam di negeri
kita
waktu itu. Apalagi, ketika HOS Tjokroaminoto di Surabaya mengambil
menantu
Soekarno di tahun dua puluhan.
Soekarno yang waktu itu sudah
"terbakar" melihat nasib bangsa-bangsa terjajah, mulai mencari bentuk
perjuangan politik untuk kemerdekaan bangsanya. Memang, dalam waktu
sepuluh-dua
puluh tahun baru tampak hasilnya, tetapi bagaimanapun juga kiprah para
pemuda
itu menunjukkan arah yang jelas: menolak penjajahan dan menuntut
kemerdekaan.
Kongres Pemuda 1928 nyata-nyata menunjukkan hal itu. Ini sekaligus
merupakan
pantulan hasrat kemerdekaan dari berbagai orang muda yang berasal dari
berbagai
daerah. Mereka mencita-citakan apa yang di kemudian hari dikenal sebagai
Republik Indonesia. Mereka kemudian memimpin pembentukan apa yang
kemudian hari
dikenal dengan nama bangsa Indonesia.
Dua raksasa di lingkungan
gerakan-gerakan Islam, yaitu Muhammadiyah dan NU, memimpin kesadaran
berbangsa
melalui jaringan pendidikan yang mereka buat. Walaupun Muhammadiyah
merintis
pendidikan yang "lebih banyak" mengacu kepada hal-hal duniawi,
seperti penguasaan pengetahuan umum, dan NU mengacu kepada pengetahuan
agama,
namun keduanya sangat dipengaruhi oleh apa yang berkembang di lingkungan
gerakan nasionalis. Nasionalisme dalam arti menolak penjajahan, berarti
juga
pencarian jati diri sejarah masa lampau negeri sendiri.
Para pemuda mendapati bahwa sejarah
masa lampau kawasan ini menyajikan hal-hal lain di luar ideologi
nasionalisme,
seperti pluralitas budaya dan rasa toleransi yang tinggi antara berbagai
budaya
daerah. Pada waktu bersamaan, di negeri lain muncul juga orang-orang
seperti
Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Sun Yat Sen. Sejak semula, lahir
juga di
kalangan gerakan-gerakan Islam: golongan yang tidak memedulikan
nasionalisme.
Mereka hanya mengutamakan perhatian kepada masalah-masalah keislaman
belaka.
Mereka melihat kepada hal-hal yang
penting menyangkut kehidupan kaum muslimin belaka. Cukup lama terjadi
"pemisahan" antara kedua pihak, nasionalis dan kalangan Islam.
Kedua-duanya pun mengambil sikap tidak memedulikan keadaan satu sama
lain.
Pembelaan (pleidoi) Bung Karno di muka Pengadilan Negeri Bandung pada
1931 yang
berjudul Indonesia Menggugat seperti hanya dibaca kalangan nasionalis
saja, dan
tidak oleh kalangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, rakyat kehilangan
contoh-contoh mereka yang memberikan apresiasi terhadap perjuangan yang
dilakukan. Jadilah "perjuangan Islam" seolah-olah terpisah dari
gerakan nasionalisme.
Hanya hubungan kekeluargaan antara HOS
Tjokroaminoto dan KH. M. Hasyim Asy'ari dari Tebu Ireng, Jombang, saja
yang
membuat persamaan itu hampir terlihat. Hasyim Asy'ari memang menyadari
bahwa
secara kultural, gerakan Islam dan nasionalis berbeda satu dari yang
lain,
tetapi dari sudut ideologi berupa kebutuhan akan kemerdekaan, kita
adalah satu
bangsa. Di saat-saat menentukan seperti itu, apa yang dipikirkannya itu
lalu
disebarkan kepada sanak keluarga terdekat, kemudian kepada organisasi
yang
dipimpinnya: NU. Tentu saja hal ini tidak berlangsung secara mulus.
Bagaimanapun, sikap seperti itu masih menjadi pandangan minoritas.
Tampak nyata ketika pandangan
integratif yang menyatukan agama dan cita-cita kemerdekaan itu dibawa ke
dalam
lingkungan NU. Namun, di kalangan generasi muda NU, pemikiran seperti
itu sudah
mulai dapat diterima dengan baik. Dalam tahun-tahun menjelang Perang
Dunia II,
KH Mahfudz Siddiq, umpamanya, mengemukakan prinsip perjuangan "khaira
ummah" (umat yang baik), yang diambilkan dari ayat Alquran: "Kalian
adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan antara sesama manusia karena
kalian
memerintahkan yang baik dan menolak yang tidak baik (kuntum khaira ummah
ukhrijat linnas ta'muruuna bil ma'ruuf wa tanhauna 'anil munkar)."
Pendapat ini dikemukakan ketika ia
dalam usia muda menjadi Ketua NU di tahun menjelang Perang Dunia II.
Istilah
itu ia gunakan untuk menunjukkan pentingnya memperkuat posisi
ekonomi-finansial
warga NU sebagai anggota gerakan Islam. Atau dapat dikatakan prinsip
tersebut
guna mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM), yang akhir-akhir ini
menjadi
lebih penting lagi. Jelas dari gambaran itu, bahwa kalangan muda lebih
memahami
konteks kebangsaan. Cukup menarik bukan? []
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar