Orientasi
Kehidupan Sebuah Masyarakat
Oleh
Abdurrahman Wahid
Kitab suci Al-qur'an menggunakan sebuah
rumusan yang sangat pendek mengenai orientasi kehidupan sebuah
masyarakat.
Dalam pandangan Islam, rumusan itu adalah: "berjihadlah dengan
harta-benda-mu" (jaahiduu bi amwaalikum) yang selalu didahulukan
dari kata: "dan berjihadlah dengan nyawa-mu" (wa jaahiduu bi
anfusikum) dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis. Ini menunjukkan,
bahwa
dalam pandangan sumber-sumber tertulis (adillah naqliyyah)
Islam,
orientasi kehidupan sebuah masyarakat dianggap sangat penting. Karena
akan
menentukan arah masyarakat tersebut. Segala jenis kegiatan harus
berpandu pada
orientasi itu, dan berhasil tidaknya tujuan yang terkandung dalam
orientasi
kehidupan masyarakat tersebut, akan diukur berhasil tidaknya ia diraih.
Dari orientasi yang disebut
"berjihadlah dengan harta-bendamu" itu, dapat diketahui bahwa capaian
kebendaan (materialisme) sangat diperhatikan oleh agama tersebut,
selama
tidak bertentangan dengan kepentingan orang banyak (maslahah ‘ammah),
berarti dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian, orientasi itu
ditundukkan
kepada etika tertentu, yang dirumuskan sebagai kepentingan orang banyak.
Tentu
saja, rumusan yang demikian sederhana tentang kepentingan orang banyak,
mengundang beberapa penafsiran, termasuk pengertian kapitalisme klasik
tentang
persaingan bebas.
Tapi, keseluruhan ajaran Islam
memperlihatkan apa yang dimaksudkan dengan rumusan "kepentingan orang
banyak" itu tidak lain adalah kepentingan orang kecil. Dengan kata lain,
persaingan bebas dilakukan kalau masyarakat melaksanakan ajaran-ajaran
Islam,
selama tidak bertentangan dengan orang kecil. Ini penting untuk
diketahui ,
karena ada anggapan bahwa Islam sesuai sepenuhnya dengan kapitalisme
klasik.
Padahal kenyataannya tidaklah demikian, karena adanya pembatasan arti
dari
rumusan "kepentingan orang banyak" itu. Dengan demikian, menjadi
jelaslah bahwa orientasi sebuah masyarakat yang benar menurut pandangan
Islam
terkait langsung dengan kepentingan rakyat banyak/orang kecil. Jadi
tidak
benarlah anggapan Islam sesuai sepenuhnya dengan kapitalisme klasik yang
tidak
membatasi liputan persaingan.
Ini semua, sejalan dengan filsafat
hidup masing-masing. Kapitalisme tidak pernah berpikir tentang negara,
melainkan tentang manusia secara individual. Islam, sebaliknya,
menganggap
peranan negara atau masyarakat sangat besar dalam menentukan perbuatan
atau
tindakan manusia secara kolektif. Ungkapan "tidak ada agama tanpa adanya
kelompok, tidak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan dan tidak ada
kepemimpinan tanpa adanya pemimpin" (laa diina illa bi jamaa'atin, wa
laa jamaa'ata illa bi imaamatin, wa laa imaamata illa bi imaamin).
Dengan adanya perbedaan yang demikian
mendasar, sebenarnya antara Islam dan kapitalisme tampaknya saling
bertentangan. Modifikasi atas keduanya adalah yang mendekatkan
kapitalisme
klasik kepada Islam, guna memungkinkan seorang muslim berpegang pada
kapitalisme. Kapitalisme klasik, yang menekankan kebebasan penuh untuk
bersaing, membawa akibat terlemparnya mereka yang kalah dalam
persaingan, dan
dengan demikian menjadi "tanggungan negara. Karenanya, lalu diadakan
modifikasi atasnya, hingga timbul kapitalisme-rakyat (folks
kapitalismus),
kapitalisme Keynesian dan sebagainya. Dengan demikian, dibuat pelayanan
yang
lebih manusiawi kepada semua warga negara, hingga mereka dapat menjadi
warga
negara yang berguna bagi masyarakat, sambil memenuhi kebutuhan diri
sendiri
secara finansial.
Demikian pula, sendi-sendi
kemasyarakatan yang dibawakan Islam, mengalami modifikasi yang sangat
berarti.
Persaingan usaha semakin mendapatkan tempat dalam pandangan
kemasyarakatan kaum
muslimin. Perubahan pandangan ini terjadi karena semakin tingginya
kesadaran
bahwa nilai-nilai ekonomi dari persaingan/kompetisi harus dijaga, jika
diinginkan kaum muslimin mampu bersaing dengan kelompok-kelompok
non-muslim
yang sering sudah mendahului mereka dalam mengantisipasi terhadap
kondisi
masyarakat yang berubah dengan cepat.
Di sini, dapatlah dilihat bagaimana
besarnya pengaruh perubahan keadaan atas perilaku kaum muslimin. Dalam
dasawarsa ke enam abad lalu, muncul istilah sosialisme-Islam (al-Isytirakiyyah
al-Islamiyyah) antara lain untuk membenarkan tindakan Gamal Abdel
Nasr
untuk merampas dan kemudian membagi-bagikan tanah dari tuan-tuan tanah
kepada
para petani (fellahin) yang berjumlah jutaan orang di Mesir.
Sejak
tahun-tahun 70-an, muncul istilah seperti bank Islam, asuransi syari'ah (takaful)
dan sebagainya. Yusuf Qardhawi maju dengan tesisnya tentang kebolehan
bunga
bank produktif, yang dalam pandangannya bukanlah riba. Karena Al-qur'an
hanya
melarang riba, melalui ayat "dan Allah melarang riba" (wa harrama
riba), dalam pandangannya yang diharamkan adalah bunga bank yang
digunakan
tidak untuk tujuan produktif. Dan, karena pada umumnya bunga bank
dibebankan
kepada ongkos produksi, maka bunga bank tidak termasuk yang diharamkan.
Dengan adanya perubahan-perubahan
pengertian tentang berbagai istilah, maka baik kapitalisme klasik maupun
ajaran
formal Islam mengalami modifikasi signifikan dan kedua-duanya menjadi
mudah
diterima orang di kalangan kaum muslimin. Ini berarti, dimungkinkannya
pertautan antara ajaran kapitalisme dan ajaran Islam, tanpa digunakannya
istilah resmi kapitalisme Islam (al-ra'su maaliyah al-Islamiyah),
mulailah para pengusaha muslim merasa dekat dengan kapitalisme tanpa
menghianati agama mereka. Timbul kesadaran bahwa, memiliki modal besar
bukanlah
kejahatan dalam pandangan Islam. Modal besar yang digunakan untuk
membangun
kekuatan ekonomi kaum muslimin, tidak lain adalah sesuatu yang
sebenarnya
diperlukan Islam, dan dengan demikian tidak pantas dipersoalkan.
Di sinilah perlu diingat oleh mereka,
bahwa dalam pandangan Islam modal tidak pernah berdiri sendiri. Modal,
sebagai
alat ekonomi, barulah ada artinya apabila ia digunakan untuk kepentingan
orang
banyak, sebagai bagian dari jihad dengan harta-benda. Dengan kata lain,
modal
tidaklah dipakai untuk menyejahterakan pemiliknya belaka, melainkan juga
untuk
kepentingan orang banyak. Dengan kata lain pula, modal adalah alat yang
juga
bersifat menyejahterakan masyarakat, di samping memberikan laba kepada
pemiliknya. Nah, orientasi yang benar tentang modal inilah yang
harus dimiliki,
baik oleh para penguasa muslim, rakyat kebanyakan maupun pemilik modal
itu
sendiri.
Di sinilah orientasi yang benar lalu
menjadi persyaratan utama bagi penggunaan modal yang sesuai dengan
ajaran
Islam. Dengan kata lain, Islam secara formal tidak pernah merumuskan
pandangan
resmi tentang modal, melainkan tentang orientasi penggunaan modal itu
sendiri.
Ini berarti, tidak ada ajaran formal Islam baik tentang sosialisme
maupun
kapitalisme. Jadi sikap sejumlah penulis yang menganggap Islam melarang
ataupun
mendorong -baik kapitalisme maupun sosialisme adalah pandangan yang
tidak
benar.
Pengamatan di atas, sesuai dengan
pandangan bahwa Islam tidak mementingkan formalisme. Dengan demikian,
tidak ada
konsep formal Islam tentang negara maupun idiologi. Yang ada adalah
kesadaran
bahwa Islam mengajarkan orientasi kehidupan yang mengutamakan asas
pemanfaatan.
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain"
(khairuhum anfa'uhum li an-nash), yang jelas-jelas menunjukkan
kentalnya
asas pemanfaatan itu. Bukankah ini sebuah jenis dari pendekatan
mementingkan
manusia (anthroposentrisme) yang dianut Islam? Artinya, asas
pemanfaatan
harus diwujudkan dalam kehidupan umat manusia secara kolektif, dan
bukannya
secara individual? Sungguh indah, bukan? (*)
Jakarta, 14 Agustus
2002
Sumber:
http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=33/hl=id/Orientasi_Kehidupan_Sebuah_Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar