Senin, 24 Maret 2014

Manusia Bebas

Judul: Manusia Bebas
Judul Asli: Buiten het Gareel
Penulis & Penerjemah: Suwarsih Djojopuspito
Pengantar: E. Du Perron dan Toeti Heraty
Penerbit Djambatan, Jakarta
Cetakan Kedua, Tahun 2000
(Cetakan Pertama 1975)
Tebal: xxiv + 292 halaman


Bagaimana rasanya jadi seorang idealis? Pertanyaan itu agaknya sepele, tapi sebenarnya susah dijawab. Mencita-citakan sesuatu dan bersikeras mewujudkannya ternyata tak-mudah. Seperti Sulastri dan Soedarmo dalam MANUSIA BEBAS.
Waktu itu di Bandung pada tahun 1933—1936. Pergerakan nasional mencapai puncaknya juga di sana. Soekarno, meski baru keluar dari penjara, tak surut dengan teman-teman politiknya. Karena mereka tahu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda masih tak-kurang juga menjalankan politik penindasannya. Suasana berbau diskriminasi terserak.
Sementara itu politik kaum pribumi di ambang perpecahan antara kubu Soekarno dengan kubu Hatta-Sjahrir. Adapun pemerintah tenang saja dengan politik pembuangannya.
Soedarmo termasuk di antara para aktifis itu. Sebagaimana yang lain, ia pun memiliki cita-cita yang sama. Ia kenal dekat Soekarno (hal. 58). Karena kemampuannya, ia diserahkan tugas sebagai direktur sekolah Perguruan Kebangsaan.
Sekolah ini dicap oleh pemerintah sebagai "sekolah liar". Sebab mereka mengadakan semacam tandingan bagi sekolah-sekolah pemerintah.
Dalam prakteknya, Perguruan Kebangsaan berupaya mendidik dan menanamkan paham kebangsaan di dada anak-anak pribumi. Biasanya, di sekolah-sekolah pemerintah, selain hanya diperuntukkan bagi kalangan-kalangan tertentu (yang juga mahal biayanya), anak-anak pribumi sering direndahkan. Dalam diri mereka ditanamkan anggapan bahwa orang-orang pribumi itu malas dan bodoh.
Setamat sekolah pun, perlakuan itu tak-berkurang. Misal saja, gaji seorang pribumi yang jadi pegawai pemerintah. Meski ia pangkatnya tinggi, gajinya masih kalah dengan gaji seorang pegawai Belanda dengan pangkat menengah.
Cita-cita Soedarmo dipandang mulia oleh Sulastri. Dan inilah yang membuatnya tak-ragu untuk menikah dengan Soedarmo (hal. 15). Nasihat orangtua dan saudara-saudaranya tak digubris, Sulastri kukuh dengan pilihannya.
Soedarmo sendiri dengan cita-citanya itu merasa dirinya sebagai pemimpin nasional, dan Sulastri setuju—sebuah anggapan yang sering dicemooh banyak orang di luar pergerakan.
Meski direktur sekolah, gaji Soedarmo "a la kadarnya". Sebenarnya, ia dapat saja bekerja di pemerintahan dengan gaji yang berlebih. Tapi dengan itu, berarti ia mengkhianati cita-cita pergerakan, sedang saat itu pergerakan nasional masih kuat corak non-kooperatifnya.
Mereka menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial, apapun resikonya. Sebaliknya, orang-orang yang kerja di pemerintahan sering mereka hinakan.
Semua berjalan manis pada mulanya. Pelan tapi pasti, ketidakpuasan merambat ke dalam Perguruan Kebangsaan. Banyak kebijakan-kebijakan Soedarmo dipandang merugikan sekolah. Misalnya saja, karena satu sebab, gaji dan tunjangan untuk guru-guru dikurangi.
Himpitan hidup akhirnya bicara juga. Cita-cita pergerakan sering terdesak oleh perut lapar. Mereka terancam perpecahan dari dalam (hal. 83-99).
Sulastri, sebagai istri yang baik, tahu akan keadaan yang berubah itu. Bagaimana pun ia mesti bertahan di samping suaminya. Ia sadar, cita-cita mereka akan diuji oleh keadaan itu. Sekarang kembali pada mereka, bagaimana menyikapi semua itu.
Sampai suatu saat, ketika Soedarmo dilarang mengajar oleh pemerintah (hal. 151). Sebelum itu, beberapa rekan mereka banyak yang ditangkap dan dipenjarakan. Tak-sedikit juga yang dibuang.
Maka, akankah cita-cita mereka akhirnya dipertaruhkan?
***
Terbit pertama kali dengan judul BUITEN HET GAREEL (artinya: di luar jalur) pada tahun 1940 di Belanda, buku ini dikatapengantari oleh Eddie du Perron. Dan kembali naik-cetak pada tahun 1946, juga di Belanda sana.
Sebelumnya, naskah buku ini pernah dikirim ke Balai Pustaka untuk diterbitkan. Tapi, penerbit yang berfungsi sebagai "penyebar bacaan-bacaan bermutu bagi rakyat" itu, menolaknya sebagaimana naskah BELENGGU-nya Armijn Pane.
Tahun 1975, BUITEN HET GAREEL baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul MANUSIA BEBAS setelah didesak oleh H.B. Jassin dan Prof. Sartono Kartodirdjo—begawan sejarah dari Universitas Gajah Mada. Penerjemahan itu sendiri disubsidi oleh Pemerintah Belanda.
Prof. Sartono, kata P. Swantoro dalam DARI BUKU KE BUKU (KPG, 2002, hal. 349), menilai BUITEN HET GAREEL sangat relevan sebagai sumber sejarah mentalitas.
Sebab di dalamnya dilukiskan mentalitas sekelompok nasionalis di zaman pergerakan nasional. Sementara itu, mereka harus hidup dalam depresi ekonomi 1930-an. Prof. Sartono, lanjut P. Swantoro, menunjukkan pula kepada kita bahwa karya sastra dapat jadi sumber studi sejarah.
Terlepas dari itu, Suwarsih Djojopuspito sebenarnya terbilang gagal dalam penerjemahannya. Hal ini disebabkan usaha adaptasinya terhadap perkembangan bahasa Indonesia saat penerjemahan itu. Ia memang terbiasa dengan bahasa Belanda sejak masa mudanya.
Oleh karena itu, belanya, "Ada beberapa perkataan bahasa Belanda yang tidak dapat saya terjemahkan dan sebab itu saya biarkan saja". Maka, "Jika perkataan itu nanti ternyata tidak ada EQUIVALENTnya dalam bahasa Indonesia, maka perkataan itu malahan akan memperkaya bahasa Indonesia (hal. vi)".
Akibatnya, pembaca yang terbiasa dengan karya-karya sastra saat ini dipastikan akan cepat merasa bosan. Dan pantas saja: buku ini kurang laku di pasaran.
Bagi para penggemar sejarah idealisme di Indonesia, MANUSIA BEBAS adalah sebuah pilihan yang "mau-apa-lagi". Dan bagi penggemar karya-karya sastra modern Indonesia, buku ini pun menjanjikan gambaran-tandingan atas karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka sebelum Perang Dunia II. [*]

--Rimbun Natamarga

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar