Kisah Politik Ideologi Kaum Reformis Di
Masa Kolonialisme
Oleh Nazhori Author
Judul
: Politik Kaum Modernis
Penulis : Dr. Alfian
Kata Pengantar : Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A
Tahun Terbit : April, 2010
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tebal Halaman : xvii + 448 Halaman
Penulis : Dr. Alfian
Kata Pengantar : Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A
Tahun Terbit : April, 2010
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tebal Halaman : xvii + 448 Halaman
Di usianya yang genap satu abad,
Muhammadiyah menyisakan pelajaran berharga terutama bagi bangsa Indonesia dan
umat muslim khususnya. Sebagaimana diketahui, sejak didirikan KH. Ahmad Dahlan
pada bulan November 1912, konsentrasi dan prinsip gerakannya adalah dakwah amar
ma’ruf nahi munkar. Dari situlah, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam
modern di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial.
Seperti terungkap dalam isi buku ini,
berdasarkan penelitian Alfian, Muhammadiyah pada masa kolonialisme memainkan
tiga peranan yang saling terkait yaitu, pertama, sebagai reformis keagamaan,
kedua, sebagai pelaku perubahan sosial, dan ketiga, sebagai kekuatan politik.
Tiga peranan inilah yang ke depannya nanti membawa perkembangan Muhammadiyah
menuju masa-masa formatif (1912-1923), masa-masa percobaan (1924-1933), dan
masa-masa kejayaan (1934-1942).
Dari tiga alur pemikiran yang dibangun
dalam buku setebal 448 halaman tersebut, pembaca akan terkesima melihat
Muhammadiyah dalam politik Indonesia dibalik kekuatan besarnya menyambut
modernisme Islam. Namun yang paling menarik perhatian, para pengkaji politik
Indonesia mengetahui bagaimana cara pengelolaan Muhammadiyah untuk meraih
tempat yang penting semacam itu. Dalam satu hal, tampaknya Muhammadiyah
menampilkan suatu gejala yang unik dalam politik Indonesia; katakanlah walaupun
dengan karakter non politiknya yang nyata sebagai gerakan sosio-relijius,
Muhammadiyah tampaknya tidak mampu menghindar untuk terlibat dalam politik
(hal. 4).
Secara historis, sejak gagasan “Politik
Etis” diberlakukan Belanda terhadap Indonesia melalui tangan dingin Christiaan
Snouck Hurgronje, umumnya kaum muslim secara sadar mulai terusik. Tidak heran
jika sang arsitek Snouck Hurgronje, dengan kebijakan utamanya membentuk “modus
vivendi” melemahkankan umat Islam dalam serpihan-serpihan kaca yang berserakan
setelah jatuh dari atas meja kebijakan politik etis Belanda.
Arti penting dari kebijakan Islam yang
telah digariskan oleh Snouck Hurgronje, tidak lain adalah terbatasnya pemahaman
tentang Islam. Sehingga upaya menjinakkan umat Islam diperoleh dari
kerisauannya atas semangat Pan-Islamisme yang masuk ke Indonesia. Melalui jalan
itulah, Snouck Hurgronje bersekutu dengan Belanda seraya berharap dapat
mempertahankan kekuasaannya di bumi Indonesia.
Kerisauannya tidak berhenti sampai di
situ, keinginan kuatnya melenyapkan pengaruh Islam terhadap lembaga-lembaga
sosial di bidang muamalah satu dari sekian agendanya melemahkan kegiatan
politik rakyat. Tanpa ragu-ragu ia juga mengatakan bahwa khazanah pengetahuan
Islam sama sekali tidak berguna. Oleh karena itu, pemberlakuan budaya Barat ke
Indoensia (Westernisasi) adalah jalan alternatif mempersempit ruang gerak
pengaruh umat muslim.
Meski kebijakan Belanda dan pemerintah
sebagai “Babu” – dalam analogi Furnivall - berlangsung lama, dalam
perjalanannya gagasan politik etis Belanda kian lama menunjukkan ironi yang
mendalam dalam prakteknya. Salah satu faktornya adalah pengaruh informasi
tentang perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di negara-negara
Asia lainnya. Di antaranya kemunculan Jepang dan Cina sebagai negara modern
yang memberikan pengaruh cukup besar terutama pada bangsa Indonesia tentang
panggilan nasionalisme.
Dalam perjalanannya, berangsur-angsur
Islam dan nasionalisme Indonesia menjadi benih-benih untuk menyemaikan kedaran
diri bahwa politik etis Belanda harus segera dilawan dengan semangat
nasionalisme. Di samping itu, Islam memiliki dampak khususnya sendiri terhadap
nasionalisme Indonesia sebagai penggerak nyata yang pertama dan sebagai bagian
esensialnya yang abadi (hal. 42).
Akhirnya, dengan kesadaran diri yang
kuat, rakyat Indonesia sadar dengan sungguh-sungguh bahwa untuk menciptakan
nasionalisme Indonesia yang modern adalah dengan menyiapkan pendidikan bagi
pemuda-pemuda Indonesia. Karenanya, jika pendidikan sudah diperoleh langkah
strategis berikutnya yaitu menggalang kekuatan dengan mendirikan organisasi
kepemudaan. Dari sanalah nantinya gagasan nasionalisme Indonesia dapat
disebarkan.
Maka berdirilah Boedi Oetomo (1908),
Sarikat Dagang Islam (1911) sebagai cikal bakal berdirinya organisasi pemuda
yang disusul oleh organisasi-organisasi lainnya yang memiliki dinamika dan
peran strategisnya masing-masing di saat itu. Menariknya lagi, diskursus
nasionalisme yang digelorakan saling bersautan dengan semangat penyebaran
gagasan modernisme Islam di tengah pengaruh paham komunis (marxisme) yang
datang ke Indonesia.
Bagi komunitas muslim Indonesia, modernisme
memiliki arti penting tersendiri yaitu untuk menjelaskan dan menegaskan Islam
bahwa makna Islam tidak memiliki arti sempit sebagaimana yang pernah Snouck
Hurgronje pahami. Lebih dari itu, modernisme Islam merupakan corong yang tepat
membicarakan Islam dalam konteks yang lebih luas di samping persoalan ubudiyah
dan muamalah. Itulah signifikansi modernisme Islam yang memancarkan sinarnya
dari Mesir.
Atas dasar itulah, modernisme Islam
dipahami dengan jeli dan cerdas oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan hingga akhirnya
membentuk organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah. Sebagai tokoh pragmatis (man
of action), Ahmad Dahlan tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu
dengan mengkontekstualisasikan modernisme Islam di Indonesia. Hasilnya,
Muhammadiyah berdiri sebagai bukti dari aktualisasi teologi Al-maun yang
tersebar ke penjuru Indonesia.
Sejak berdirinya pada 18 November 1912,
di Yogyakarta, Muhammadiyah menjadi salah satu unsur penting juga dalam
mempengaruhi kolonialisme Belanda. Wajar jika pada masa-masa formatif ini,
pertumbuhan Muhammadiyah di Jawa mendapat tantangan yang berat terutama dari
Belanda, secara tidak langsung menunjukkan sikapnya yang penuh kedamaian dan
toleransinya yang jujur terhadap umat Kristen.
Bahkan kritik, tuduhan dan fitnah yang
dilancarkan kepada Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dari lawan-lawannya merupakan
konsekuensi logis dalam memperkenalkan kepada calon anggota-anggotanya di masa
awal. Dari sinilah justeru kegiatan-kegiatan dakwah (tabglih) menjadi sangat
penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan dan tujuan Muhammadiyah.
Sebagai kekuatan baru yang
diperhitungkan, Muhammadiyah semakin mendapat cobaan dalam melakukan percobaan
gagasan dan gerakannya. Apalagi di Jawa, ada organisasi Islam lain yang juga
sedang berkembang yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Ditambah lagi dengan kebijakan
baru politik Belanda yang memberlakukan desentralisasi kekuasaan di wilayah
koloninya.
Tentu saja ini merupakan tantangan yang
berat. Maka perlu ada perubahan sikap dalam gerakan dakwah Muhammadiyah setelah
wafatnya KH. Ahmad Dahlan. Melalui Haji Fachruddin, dalam perkembangannya
Muhammadiyah berhasil melewati kendala-kendala utama. Tanpa meninggalkan corak
nasionalismenya Muhammadiyah terus menghadapi berbagai tantangan dan
konfrontasi yang serius dengan berbagai organisasi lintas ideologi. Walaupun
pada akhirnya, perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau mampu menerobos masuk
ke dalam kolonialisme Belanda. Sedikit banyaknya ikut memberikan angin segar
jika Muhammadiyah di kawasan Sumatera dan sekitarnya berkembang dengan cepat.
Sampai pada akhirnya, masa-masa
kejayaan Muhammadiyah, di mana Alfian mencatat dalam studinya ini, bahwa pada
1934-1942, tidak lain merupakan masa yang paling dinamis bagi Muhammaiyah.
Selain karena tantangan dan hambatan yang dihadapi kian beragam dan kompleks.
Muhammadiyah juga memainkan peran politiknya meski secara tidak signifikan di
masa pergerakan itu. Sebab organisasi Islam dan non Islam tumbuh subur sehingga
makin menambah kepercayaan diri Muhammadiyah bergaul dan berhadapan langsung
dengan organisasi lain.
Selanjutnya, di bawah kendali Kiyai
Mansur ketegangan semakin timbul saat pandangan-pandangan berlawanan dalam
gerakan itu terus mengemuka. Terutama dengan aroma politik yang kian tercium.
Hingga akhirnya pada 7 – 9 April 1939 di Kudus dalam konperensi diputuskan
bahwa setiap Pimpinan Muhammadiyah dapat ikut serta secara aktif sebagai
pimpinan partai politik atau organisasi lain selama ia tidak melemahkan kerja dan
tugasnya dalam Muhammadiyah. []
Sumber:
http://nazhoriauthor.blogspot.com/2010/01/resensi-buku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar