Agamawan
dan Pembangunan Desa
Oleh Abdurrahman
Wahid
WALAUPUN hampir semua orang mengutarakan pengakuan lahiriyah akan adanya
peranan bagi agama dalam pembangunan kita, ternyata masih cukup besar juga
keraguan yang terkandung dalam hati: apakah memang benar demikian halnya?
Skeptisisme itu muncul karena beberapa sebab. Ada yang karena sulitnya
pembuktian secara ilmiah akan peranan itu, walaupun diakui juga bahwa bagaimana
pun juga agama tentu mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk dalam
masa di mana mereka sedang membangun. Kesulitannya adalah bagaimana mengenal
agama sebagai pembentuk sikap hidup yang membangun itu sendiri. Kesulitan ini akhirnya
menumbuhkan keragu-raguan akan adanya hubungan langsung antara agama dan
pembangunan.
Adakalanya keraguan timbul dari sikap yang diperlihatkan oleh
pemuka-pemuka agama dan para pengikut mereka, yang sedikit sekali menampakkan
pemahaman yang nyata dan pengertian yang mendalam dan hakekat proses membangun.
Apa yang mereka ributkan, apa yang mereka canangkan dan apa yang menjadi
perhatian utama mereka hampir selamanya tidak memiliki kaitan dengan
persoalan-persoalan pokok pembangunan. Kalaupun ada kaitannya dengan
pembangunan, umumnya hanya dengan soal-soal sampingan, dan terutama dengan
ekses-ekses moral yang dibawakan oleh proses membangun itu sendiri.
Perlakuan Ganjil
Tidak heranlah jika dari skeptisisme yang tidak pernah terucapkan itu
lalu timbul perlakuan yang ganjil terhadap agama: diakui kehadirannya, tetapi
tidak dibutuhkan dalam kenyataannya. Dari sikap ini tersusunlah strategi ganda
untuk meminta legitimasi dari agama di mana dapat diperoleh, dan tidak
menghiraukan pendapat agama jika legitimasi itu tidak mungkin diperoleh.
Contoh paling jelas dalam hal ini adalah pelaksanaan KB. Rumusan KB
sebagai usaha penyejahteraan bangsa diminta legitimasi dari agama, tetapi
pelaksanaan bagian-bagian yang menyimpang dari ajaran agama dalam program KB
tetap berlangsung juga. Di samping firman-firman suci yang dipampangkan di
perempatan-perempatan jalan untuk menunjukkan perkenan agama kepada KB, segala
macam cara untuk memasang spiral dengan paksaan atau tidak, secara halus atau
kasar, tetap dipakai juga.
Kepada para agamawan ditunjukkan wajah ketundukan, kepada para kolega
yang meninjau dari luar negeri diperagakan angka 90% akseptor di kabupaten
Ponorogo yang telah berhasil di"spiral"kan. Si peninjau menjadi kagum
akan keberhasilan strategi berganda itu, dan terungkaplah kekaguman itu dalam
komentar: "Anda ternyata telah berhasil by passing para agamawan kolot,
sedang Indira Gandhi harus membayar mahal untuk itu di India."
Sebenarnya para agamawan sendiri dapat memperjelas arti agama bagi
pembangunan kepada rakyat, jika mereka mau memperhatikan sungguh-sungguh
persoalan-persoalan pokok yang dihadapi oleh pembangunan itu sendiri. Perhatian
itu sudah tentu harus dimulai dari pemahaman yang benar akan keadaan yang dialami
oleh mayoritas bangsa dewasa ini.
Para agamawan harus mengerti bahwa laju proses pemiskinan berlangsung,
karena kesenjangan yang semakin hari semakin kentara antara yang kaya dan yang
miskin. Kontras menyolok antara pola konsumsi mewah di tingkatan atas dan
ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok di tingkatan bawah yang luas semakin
hari semakin nyata saja.
Belum lagi perbedaan pendapat tentang strategi pemenuhannya, alokasi
anggaran yang disediakan untuk masing-masing kebutuhan dan seterusnya. Sementara
itu arus penumpukan sumber-sumber ekonomis utama di tangan sejumlah kecil orang
akan berakibat bagi kehidupan masyarakat yang semakm pincang.
Pengertian akan keadaan di atas jika dihayati dengan sebenar-benarnya
oleh para agamawan, akan membawa mereka kepada panggilan moral yang bersifat
luas dan dinamis, yang akan membawakan pula dimensi-dimensi baru ke dalam tugas
mereka dalam kehidupan masyarakat.
Untuk agamawan yang hidup di kota-kota besar, dimensi-dimensi baru itu
tidak akan disinggung, karena tidak termasuk kandungan tulisan ini. Bagi para
agamawan yang tinggal dan berkecimpung dalam kehidupan desa, dimensi-dimensi
baru itu akan berbentuk kerja-kerja berikut:
mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri apa saja yang jadi kebutuhan
pokok mereka
menyadarkan masyarakat secara keseluruhan akan bahaya latent yang
terkandung dalam proses kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk menghentikan proses
pemusatan penguasaan sumber-sumber ekonomi utama yang berupa modal, tanah dan
ketrampilan teknis di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat saja. Proses itu
justru harus dibalikkan, karena ia bertentangan dengan tujuan perataan
kemakmuran, keadilan dan perikemanusiaan. Lagi pula, proses pemusatan
sumber-sumber ekonomis utama inilah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan
dalam pola kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi penyebab pula
dari proses pemiskinan mayoritas bangsa.
Terserah kepada para agamawan, mampukah mereka merelevansikan arti agama
mereka bagi pembangunan di desa dengan cara membawa dimensi-dimensi baru di
atas? (*)
Tulisan ini pernah
dimuat di majalah TEMPO, 1 Juli 1978
Sumber:
Tebuireng.org
Selasa, 5 Februari
2013 11:37:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar