Beijing
Oleh
Azyumardi Azra
Setiap kali berkunjung ke Beijing,
Cina, setiap orang hampir pasti tidak luput mengungkapkan kekagumannya. Selalu
saja ada perubahan demi perubahan yang terjadi begitu cepat. Khususnya dalam
lingkungan fisik yang selalu berubah, seperti bertambahnya gedung pencakar
langit di Beijing. Bahkan, lanskap bangunan-bangunan tinggi di kota ini
melebihi banyak kota di Eropa dan Amerika. Bukan itu saja, arsitekturnya yang
menampilkan gaya pascamodernisme yang segera pula menjadi landmark dunia.
Beijing atau bahkan negara Cina secara
keseluruhan memang tidak lagi secara tipikal menggambarkan negeri Sosialisme
atau lebih tepat lagi Komunisme. Lanskap perkotaan Cina, seperti terlihat di
Beijing atau Shanghai dan kota-kota besar lainnya, bahkan menggambarkan dunia
kapitalistik, yang ditandai dengan gaya hidup glamor, seperti mobil-mobil baru
dan mewah yang memenuhi jalanan, mal-mal, dan superstore yang
menjual barang-barang yang sering disebut sebagai gaya hidup materialistik dan
bahkan hedonistik.
Kesan seperti itu tidak luput ketika
saya kembali ke Beijing untuk mengikuti Seminar 60 Tahun Hubungan Diplomatik
Indonesia-Cina yang diselenggarakan Chinese People's Institute of Foreign
Affairs (CPIFA, Beijing) dan Center for Strategic and International Studies
(CSIS, Jakarta) pada 22 Maret 2010 lalu. Pertama kali ke Beijing pada penutupan
Olimpiade 2009, saya juga menyaksikan kebangkitan Cina sebagai sebuah kekuatan
ekonomi dunia, yang pada gilirannya pula menampilkan kekuatan politik yang
tidak lagi bisa diabaikan, bahkan oleh negara adidaya, semacam Amerika Serikat.
Padahal, seperti diungkapkan Rana
Farquhar dan Melinda Liu dalam Newsweek pada 22 Maret 2010,
''Ketika Presiden Obama tinggal di Indonesia pada akhir 1960-an, Cina terlihat
sebagai kekuatan berbahaya dari utara, di mana para kader komunis berencana
mengekspor revolusi mereka ke bagian Asia lainnya.'' Dan, Indonesia sejak akhir
1960-an, usai G30S/PKI di bawah pemerintahan presiden Soeharto sadar betul
dengan bahaya Cina tersebut sehingga hubungan antara kedua negara ini berada
pada titik terendah. Dalam pandangan Jenderal Soeharto, komunis Cina berada di
balik usaha PKI pada 30 September 1965 untuk menguasai Indonesia.
Kini, banyak orang, seperti Farquhar
dan Liu, berbicara dan menulis tentang Cina menguasai dunia, yaitu ketika
negara ini menulis ulang berbagai ketentuan tentang mata uang; teknologi;
perdagangan; ruang angkasa; iklim; dan sebagainya. Sekarang ini, Cina misalnya
telah mengganti mata uang dolar dengan mata uang yuan dalam perdagangan dengan
banyak negara dunia. Seperti terungkap dalam Seminar Beijing CPIFA-CSIS, jika
Cina terus menggunakan dolar Amerika dan bukan yuan, Cina terus dikendalikan
pihak asing.
Tidak hanya Amerika yang merasa
kedodoran dengan bangkitnya kekuataan ekonomi Cina; lebih-lebih lagi Indonesia.
Perdagangan bebas Cina-ASEAN (CAFTA) yang mulai berlaku sejak awal tahun ini
meningkatkan ketidakseimbangan perdagangan di antara Indonesia-Cina. Berbagai
barang produk Cina yang masuk secara legal dan ilegal dijual dengan harga murah
dan kualitas cukup baik hingga produk-produk Indonesia ditinggalkan para
pembeli, yang bersikap pragmatis, tanpa ada 'nasionalisme' untuk lebih
mengutamakan barang-barang hasil anak negeri sendiri.
Pasar Indonesia tidak lagi mengenal patriotisme,
nasionalisme, dan semacamnya, yang tidak lagi dipandang relevan ketika
masyarakat kita berbelanja. Karena itu, jika ada hal yang perlu ditekankan dan
dilakukan dalam menghadapi realitas tersebut adalah perlunya peningkatan
tingkat daya saing produk-produk Indonesia. Pada saat yang sama juga
menghilangkan 'ekonomi biaya tinggi' yang terus menjadi salah satu faktor
penting yang menghalangi penguatan daya saing. []
Tulisan ini pernah
dimuat di Republika, 25 Maret 2010
Sumber:
Sumber:
Kamis, 25 Maret 2010
15:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar