Bagdad, 10 April
2003: dua lambang, dua momen, mungkin dua kekalahan.
Menjelang pukul
tiga, orang-orang bergerak ke arah Lapangan Firdaus, di tepi timur Sungai
Tigris. Marinir Amerika sudah berada di sana. Beberapa buah tank berjaga di
kedua sisi Jalan Sadoon, jalan utama wilayah itu.
Seorang Irak
mendekat. Ia menunjuk ke arah patung Saddam Hussein yang setinggi tiga meter
tegak di atas penopang. “Tembak saja, tembak!” katanya kepada seorang marinir.
Orang Amerika itu menggeleng. “Tidak, terlalu banyak orang di situ.”
Orang-orang Irak
itu kini mencoba cara lain. Seseorang kurus mencopot pelat tembaga yang
dipasang pada pedestal. Seseorang yang lebih kekar menghantamnya dengan palu.
Beberapa orang lain mendapatkan tali. Sebuah tangga dipasang. Dua orang marinir
naik. Tali dan rantai besi dikalungkan ke leher Saddam. Dalam beberapa menit,
Sersan Edward Chin, marinir AS keturunan Cina dari Myanmar, menutup wajah
patung itu dengan bendera Amerika. Tak lama—tapi ia telah telanjur masuk ke
dalam sebuah adegan yang bersejarah. Setelah Bendera Bintang-dan-Garis dicopot,
selembar bendera Irak berkibar—tapi di sana tak ada lagi tulisan tangan Saddam
yang menyebut “Allahu Akbar”.
Di momen itu, apa
yang tak ditendang: tulisan tangan Saddam, monumennya, sejarahnya, rasa takut
orang kepada pembalasannya, sisa-sisa kekuasaannya? Dengan tali dan rantai
patung itu pun dibetot. Sebuah mobil peralatan marinir Amerika membantu. Tak
mudah. Agak alot. Beberapa belas menit lamanya berhala itu bertahan; tangannya
masih terangkat menunjuk ke kaki langit. Akhirnya roboh.
Rakyat Irak pun
bersorak.
Dengan rasa
campur aduk saya menyaksikan semua itu di layar TV: di Lapangan Firdaus, saat
bersejarah kemenangan Amerika bertaut dengan saat bersejarah kegembiraan rakyat
Bagdad.
Monumen Saddam
yang ditumbangkan itu punya cerita yang berbeda dari patung yang runtuh di
Taman Zarwa tiga hari sebelumnya. Di taman pahlawan tak dikenal ini, patung
Saddam Berkuda dijungkirkan oleh peluru tank Amerika; bagian kepalanya yang
lepas dibuat suvenir oleh pasukan Charlie Company Task Force dari Divisi
Infanteri ke-3. Di Lapangan Firdaus, amarah penduduk Bagdadlah yang menjalankan
eksekusi. Kini dunia tahu bahwa Saddam Hussein hanya menimbulkan benci.
Begitulah akhir
seorang tiran. Ia ditinggalkan siapa saja, juga oleh prajuritnya. Bagdad tak
dipertahankan sampai titik darah terakhir. Orang tak bertempur untuk membela
sebuah tanah air. Saddam telah menelan Irak ke dalam perutnya dan mengubah
patriotisme menjadi penghambaan. Memang ada yang menyedihkan di hari itu: kita
menyaksikan sebuah bangsa yang tak merasa perlu, juga tak mampu lagi, untuk
gagah berani.
Dan kita pun
mendengar suara orang-orang Irak bersemangat, “Bush! Bush! Bush! Terima kasih!”
Kita bisa melihat seorang ayah membopong anaknya untuk mencium pipi seorang
marinir. Apa yang dulu diperhitungkan orang di Pentagon ternyata benar: para
penyerbu itu, para agresor itu, disambut sebagai sang pembebas….
Saya terhenyak.
Saya kira tiap orang yang menentang perang Bush atas Irak patut terhenyak.
Kegembiraan di Bagdad hari itu memergoki kita dengan pertanyaan: akan adakah
suka cita semeriah itu, seandainya perang ini tak dilancarkan, seandainya Bush
mendengarkan seruan kita? Tidakkah kita yang menentang perang berdosa, karena
kita tidak melakukan sesuatu untuk mengakhiri penindasan?
Saya terdiam. Dua
momen itu—bendera Amerika berkibar di patung Saddam, dan berhala Sang Pemimpin
yang dijungkirkan—tampil seakan-akan tanda dua kekalahan. Yang pertama
kekalahan rezim Partai Baath Irak. Yang kedua adalah kekalahan sebuah argumen
bahwa perang ini tak bisa dibenarkan. Dengan kata lain, kita kalah.
Dan bila kitalah
yang kalah, apa yang akan dapat kita katakan melihat orang-orang congkak di
Pentagon merasa lebih berhak untuk terus congkak? Kita akan mengunci mulut bila
Sang Super-Kuat seterusnya merasa beralasan jika mengabaikan semua ikhtiar
multilateral. Dan kita akan terpaksa membisu ketika si lemah disisihkan sebagai
pigmi yang tak berarti.
Ada seorang
pengarang yang pernah menulis bahwa politik internasional mau tak mau tumbuh
dari Realpolitik: bahwa “tata” yang berlaku adalah sebuah “tata” yang
dibentuk secara brutal oleh yang kuat. Jangan disamakan, katanya, nilai-nilai
itu dengan nilai-nilai dalam kehidupan antarmanusia di sebuah civil society.
Keadilan tak boleh berlaku dalam percaturan antarbangsa.
Tapi, jika
begitulah seharusnya, kita akan hidup di dalam dua jenis ethos. Yang satu
datang dari Sun Tzu, yang berarti perang dan penaklukan. Yang lain Gandhi, yang
berarti satyagraha dan kebersamaan.
Saya ragu,
bagaimana ukuran ganda itu akan bisa bertahan. Mungkin Sun Tzu pada akhirnya
akan mendesak dan menyingkirkan Gandhi dari kesadaran kita—dan kita akhirnya
setuju bahwa hasil yang baik akan menghalalkan cara apa pun, termasuk cara yang
merusak dan tak adil. Kita akan semakin bersedia untuk mengakui bahwa sebuah
niat yang culas akan disucikan oleh sebuah akhir yang bahagia. Di Bagdad, di
Irak, kita telah diberi tauladan: di dunia nyata, orang-orang yang tertindas
membutuhkan kekuatan dari mana saja—bahkan dari Neraka sekalipun—agar bisa tak
tertindas.
Tapi begitukah
seharusnya? Saya terdiam. Saya jeri. Saya melihat ke luar jendela: ada sebuah
kebun, dan di sana anak muda saling menyapa di bawah pohon-pohon. Apa yang akan
terjadi pada mereka, jika pada akhirnya kita hidup seraya berkata, seraya
percaya, bahwa semuanya adalah teror, dan itulah jalan yang benar? (*) [April 14, 2003]
~Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXII/14 –
20 April 2003~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2003/04/14/bush-bagdad/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar