Delapan
Tahun Pasca 9/11 dan Indonesia
Oleh
Azyumardi Azra
Delapan tahun setelah peristiwa 11
September 2001 di Amerika Serikat, tetap saja Indonesia yang terlihat paling
menderita dilanda teror yang terus datang dalam kurun waktu tersebut. Sejak
peristiwa itu, Indonesia mengalami aksi-aksi teror sejak dari bom Bali I, bom
Kuningan, bom Marriot (I), bom Bali II, dan terakhir bom Marriot (II) dan Ritz
Carlton sekitar 2 bulan silam.
Meski dalam peristiwa 9/11 itu AS
terlanda teror yang sangat dahsyat, sehingga sempat menimbulkan gangguan dalam
berbagai kehidupan masyarakat, perlahan tapi pasti, kehidupan kembali normal di
negara tersebut. Memang terjadi peningkatan sekuriti yang menimbulkan berbagai
ekses khususnya bagi para pendatang dengan nama Muslim atau berwajah Timur
Tengah yang mengalami profiling namun tidak ada lagi aksi teror terjadi di AS.
Perubahan politik luar negeri lebih rekonsiliatif yang diperkenalkan Presiden
Obama turut memberikan kontribusi bagi penciptaan situasi lebih kondusif.
Begitu juga di negara-negara Barat
lain, yang juga pernah mengalami teror bom bunuh diri seperti London dan
Madrid. Kedua kota di dua negara ini juga berhasil mencegah kembalinya tindakan
dan aksi teror selanjutnya sehingga peningkatan sekuriti di kedua negara ini
tidak menimbulkan ekses-ekses yang terlalu banyak seperti terjadi di AS. Ada
faktor-faktor tertentu yang membuat aksi teror tidak lagi terjadi di AS,
Inggris, Spanyol, dan juga di negara-negara lain.
Tapi, negara kita Indonesia tidak
seberuntung negara-negara tersebut. Sepanjang bulan Ramadhan ini saja, aparat
Kepolisian RI masih terus memburu dan menahan orang-orang yang terduga atau
disangka terlibat dalam jaringan teror yang meledakkan bom bunuh diri di Hotel
Marriot dan Ritz Carlton, Grand Kuningan, Jakarta, pada 17 Juli 2009 lalu.
Meski Polri berhasil mengungkapkan sejumlah nama dan orang, baik yang sudah
tewas maupun masih buron, yang terlibat dalam aksi bom bunuh diri tersebut,
tetapi pengejaran kepolisian yang terus berlanjut menunjukkan jaringan-jaringan
dan sel-sel terorisme masih bergentayangan di tanah air kita.
Jika Polri tidak berhasil mengungkapkan
dan menuntaskan sel-sel dan jaringan teror tersebut, bukan tidak mungkin
aksi-aksi teror kembali terjadi di tanah air. Dan, aksi-aksi seperti itu bukan
hanya sekadar aksi bom bunuh diri yang terlarang dalam Islam, tetapi sekaligus
dapat 'menghancurkan' kehidupan ekonomi, sosial, dan bahkan politik Indonesia.
Memang pasca bom Marriot dan Ritz Carlton terakhir ini, dampak sosial, ekonomi,
dan politik pengeboman itu tidak signifikan sama sekali dan keadaan dengan
cepat kembali normal di Jakarta khususnya.
Secara retrospektif, saya sering
ditanya, mengapa masih saja ada orang-orang bahkan dalam usia masih muda yang
bersedia membunuh dirinya sendiri dan orang-orang lain yang tidak ada urusan
dengan agenda-agenda politik-keagamaan mereka. Mengapa mereka bisa menjadi
radikal dan siap meledakkan diri sendiri dan orang-orang lain. Atau, mengapa
masih ada saja kalangan masyarakat Indonesia yang mau melindungi dan membantu
sel-sel teroris tersebut.
Tidak ada jawaban tunggal bagi semua
pertanyaan tersebut. Jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan
pendekatan multiperspektif, baik dari faktor politik khususnya politik
internasional pendidikan, sosial, paham, dan ideologi keagamaan tertentu, dan
bahkan bagi sebagian orang juga terkait dengan faktor ekonomi.
Seperti disimpulkan John Esposito dan
Dalia Mogahed dalam Who Speaks for Islam: What a Billion Muslims Really Think
(2007), selama beberapa dasawarsa para ahli telah berdebat tentang bagaimana
ekstremis dan teroris tercipta. Akar-akar terorisme disebut bisa bersifat
psikologis-teroris adalah orang abnormal, gila, dan tidak rasional;
sosiologis-teroris kurang pendidikan, terasing dari lingkungan; ekonomis-mereka
miskin, menganggur, putus harapan; politik-mereka menolak demokrasi, kebebasan
dan HAM; dan keagamaan-mereka memegang penafsiran ekstrem terhadap agama, atau
paham keagamaan yang menolak modernitas, dan seterusnya.
Jelas, tidak semua kerangka ini bisa
menjelaskan mengapa para pelaku menjalankan aksi-aksi teror mereka. Para pelaku
9/11 dan banyak teroris lain adalah mereka yang berpendidikan dan keadaan
ekonomi cukup baik. Banyak orang lain yang lebih rendah pendidikan dan lebih
miskin, toh tidak melakukan aksi teror. Esposito dan Mogahed bahkan menyatakan,
cikal bakal para militan dan teroris sejak dari 9/11 sampai pembom London 7/7
adalah orang-orang terdidik yang memiliki latar belakang kelas menengah dan
pekerja; sebagian adalah orang alim, sebagian lagi tidak; sebagian mereka
lulusan madrasah atau 'seminaries', tetapi juga ada dari sekolah dan
universitas umum.
Tetapi, mungkin juga tidak perlu lagi
diskusi dan perdebatan panjang tentang akar-akar terorisme. Karena sekali lagi
perlu pendekatan multiperspektif untuk menjelaskannya. Dengan pemahaman
multiperspektif ini, menjadi mungkin untuk mencegah munculnya para pelaku
terorisme secara komprehensif. Pendekatan-pendekatan yang hanya parsial dan ad
hoc boleh jadi cukup membantu; tetapi untuk penyelesaian secara menyeluruh,
jelas memerlukan pemecahan masalah yang komprehensif pula. Hanya dengan cara
itu, kita dapat mencegah terjadinya aksi-aksi teror yang memilukan hati karena
jelas merupakan nestapa kemanusiaan.[]
Sumber:
Kamis, 10 September
2009 08:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar