Islam:
Apakah Bentuk Perlawanannya?
Oleh Abdurrahman
Wahid
Pada pertengahan bulan Mei 2002,
penulis menyampaikan penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah
seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hidayatullah, Ciputat.
Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk menyambut terbitnya sebuah buku
tentang diri beliau, yang memang benar-benar merupakan karya berbobot ilmiah
dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek
epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut memerlukan
sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis mengemukakan
sebuah sudut pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KH.
A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen,
Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Diantara keturunannya yang masih aktif dalam
kehidupan masyarakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal
Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan keturunan
beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidupnya adalah KH. Abdullah Salam
yang meninggal dunia tahun lalu (2001) dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai
penghafal al-Qur'an beliau memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan
mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren dikenal
dengan istilah akhlakul karimah.
Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakkin
itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat
IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi;
juga ceritera ketoprak dan ceritera-ceritera lain, di samping berbagai tulisan
kaum pesantren tentang beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang
tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas
Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa'i, Batang yang menggunakan referensi Serat
Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di
Yogyakarta, tulisan Dr. Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo di Semarang.
Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin
telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan
kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan penelitian mendalam,
agar kita menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18
Masehi itu, pada intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan
sikap menentangnya. Kaum syari'ah/fiqh (hukum Islam) pada umumnya bersikap
mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: "Enam puluh
tahun dalam pemerintahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anarki
semalam (sittuna sanatan min imamin fajirin ashlahu min lailatin bila
sulthan)." Sikap ini merupakan sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas
jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para
pelanggar hukum, termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak
secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KH.
A. Mutamakin telah melanggar syari'ah karena memasang lukisan binatang secara
utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab
itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.
Sebaliknya para pemimpin tarekat dan
tassawuf bersikap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu
pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum
tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu
haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat
politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja,
jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang
membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin
gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah
sesuatu yang memilukan di waktu itu.
Di sini, KH. A. Mutamakin
memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan
alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perlawanan
secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh
bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan menampilkan para
ulama sebagai kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan
inilah yang di kumudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan
rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh
pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.
Pendekatan kultural ini, tidak pernah
jelas-jelas menentang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa.
Di masa itu, kaum syari'ah memberikan dukungan kepada penguasa sedangkan pihak
tarekat bersikap menentang. KH. A. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di
atas, yakni pilihan alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru,
keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru penunjang dan mendukung
kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemimpin tarekat pada masa itu.
Sedangkan kaum syari'at, seperti yang tergabung dalam kalangan NU dalam PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) masa itu menampilkan perlawanan kultural
terhadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok adalah,
haruskah perlawanan kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru
dimatikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis
saja. Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi
organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah
pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif-alernatif yang
mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi
organisasi-organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tekanan
harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga
bidang eksekutif-legislatif-yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan
kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita.
Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan
berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga
negara di muka Undang-Undang.
Bukankah dengan demikian, menjadi
relevan bagi kita di saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu
dirintis KH. A. Mutamakin? (*)
Tulisan
ini pernah dimuat di Harian Kompas, 16 Mei 2002.
Sumber:
Tebuireng.org
Kamis, 13 September 2012 17:38:01 -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar