Di bandara
Meulaboh yang sepi dan tak punya apa-apa lagi, kami menunggu sebuah pesawat
datang di sebuah kedai agak di depan landasan. Gubuk itu setengah berdinding
dengan kayu yang lusuh. Besarnya hanya 3 x 4 meter persegi. Saya dan Sandra,
dua orang dari Jakarta, duduk di bangku di luarnya, di bawah pohon, memesan
kopi dan nasi bungkus. Pada pagi yang lambat itu, hanya ada empat orang pembeli
datang silih berganti.
Tujuh meter dari
sana, sebuah pos militer yang belum lama didirikan tampak habis bangun tidur:
beberapa prajurit baru saja mandi, seorang tentara muda memberi makan dan
mengajak omong burung, hanya beberapa orang yang sudah siap berseragam. Mereka
empat peleton pasukan khusus Angkatan Udara yang dipasang untuk menjaga bandara
kecil itu, yang sejak tsunami menghantam Meulaboh jadi ramai kapal terbang,
membawa pelbagai macam bantuan, pelbagai macam orang.
Dua helikopter
PBB tampak diparkir di landasan. Di sekitar itu, ribuan pohon nyiur, damar, dan
angsana mengepung, sebagian masih tampak hitam seakan-akan hangus, bekas air
laut yang naik pada akhir Desember 2004 itu—setelah gempa dan ombak gergasi
yang membuat sebagian kota pesisir itu luluh-lantak, puluhan ribu orang tewas,
hilang, atau hidup tak bertempat tinggal.
“Kami tinggal di
kemah,” perempuan muda pemilik warung itu bercerita. Rumahnya lenyap, tapi tak
ada keluarganya yang tewas. Ia berpakaian rapi, dengan perhiasan sekadarnya, menandai
bahwa ia bukan bagian dari mereka yang hancur total. Tapi ia bisa mengisahkan
penderitaan tetangga dan keluarga yang kematian.
Dengan budi
bahasa yang halus, ia mengatakan bahwa mereka yang jadi korban memang
menderita, tapi tabah, karena mereka tak menderita sendirian. Begitu banyak
orang mati. Ia bercerita tentang camat kotanya yang terus-menerus menemani
pengungsi, bahkan ikut tidur dan makan bersama di kemah. Ia menyebut tentang
begitu banyaknya bantuan yang datang dari pelbagai tempat lain di Indonesia,
dari banyak penjuru dunia. Semua itu sampai ke kami, katanya. Bahkan
berlebihan, sehingga bantuan pakaian yang sudah rusak terpaksa kami bakar. Kami
bakar diam-diam, agar mereka yang sudah mengirim dan membawanya kemari tak
tersinggung.
Sandra terdiam
dan berbisik, mungkin terkesima: “Dalam keadaan yang berat, ia masih memikirkan
perasaan orang lain….” Saya memandang ke jalanan. Apa arti “orang lain”, pada
saat seperti ini? Sebuah sepeda motor gandeng yang sudah tua bercat putih
dengan huruf UN datang tersengal-sengal masuk ke landasan. Sebuah mobil pick-up
dengan logo sebuah organisasi dari Republik Czech menyusul.
Apa arti orang
lain itu, apa gerangan Aceh bagi mereka, dan apa arti mereka bagi Aceh? Apa
arti geografi dan sejarah, juga makna tapal batas—sesuatu rekaan yang begitu
sering diperebutkan dan dibanggakan? Saya mendengarkan tutur pemilik warung itu
dan tiba-tiba merasa: hidup bisa sangat berbeda, jika pusat dunia tidak ada
lagi. Kita tahu “pusat” itu biasanya dilekatkan dengan tapal batas yang sempit
di dekat diri sendiri. Dan saat itu rasanya tapal batas dan pusat raib, dan
ruang yang “soliter” pun digantikan oleh yang “solider”. Dunia jadi ramah.
Bahkan yang menderita ingin menjaga perasaan orang yang tak menderita,
sebagaimana juga sebaliknya. Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa
saat lamanya di Aceh, ekonomi bisa berhenti.
Ekonomi: sebuah
proses yang bertolak bukan saja dari kelangkaan, tapi juga dari pertukaran,
daur “mengambil-menerima”. Pasar membuat prosedurnya. Di sana pusat hadir dalam
bentuk pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hubungan berlangsung seperti
kontrak. Tapi mungkinkah itu segala-galanya? Kontrak mengandung asumsi bahwa
yang-lain akan menerima yang-seimbang. Tapi hal itu tak akan pernah terjadi.
Sebab akan selalu ada benda-benda yang tak bisa dipindahtangankan—jimat,
pusaka, kenangan, harapan, yang terkadang tersemat dalam benda-benda. Marx
mungkin akan menyebutnya lebih mendasar: tiap benda tak hanya punya
nilai-tukar.
Pernah ada
cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar manusia bisa kembali menikmati
hidup bukan sebagai komoditas belaka. Tapi kini pasar menang, dan cita-cita
untuk menggantikan ruang yang “soliter” dengan yang “solider” disisihkan
bagaikan barang yang apak dan lapuk. Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang
lama. Berabad-abad manusia telah mendengar petuah kebajikan ini: “jika tangan
kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu mengetahuinya”. Lebih tua lagi
Jainisme dan cerita tentang sang rahib yang menghilang begitu ia menerima amal
(atau “dan”) di depan pendermanya. Sebab amal akan hilang maknanya sebagai amal
bila hal itu membuat si pemberi tergoda oleh perasaan mulia. Derma juga akan
hilang maknanya sebagai keikhlasan bila si penerima dibebani utang budi. Tak
ada resiprositas yang harus kelak dilakukan.
Waktu harus
seakan-akan tak ada. Tapi betapa penuh paradoks semua itu: si pemberi harus
merasa mampu melepaskan sesuatu dari dirinya, tapi pada saat yang sama ia harus
memandang “sesuatu dari dirinya” itu bagian sebuah konsep yang tak ada
artinya—konsep “mi-lik”. Ia juga harus ikhlas untuk tak menerima balasan, tapi
agar tak direndahkan, si penerima harus punya kesempatan untuk membalas dengan
sesuatu yang baginya bernilai. “Memberi” akhirnya berlangsung sebagai sebuah
enigma. Ia seperti sesuatu yang mustahil, tapi betapa besar artinya. Setidaknya
di kedai itu saya tahu, bahwa dunia bisa tetap ramah, dalam kesedihan, dengan
kesedihan. Memberi berarti saling memberi, menerima berarti saling menerima,
dan tolong-menolong adalah sebuah parodi bagi proses yang digerakkan oleh
pasar.
Parodi—sebuah
selingan yang sehat, bukan? Tak jauh dari kedai itu ada sebuah kedai kopi lain,
lebih sederhana, setengah ditutup oleh robekan tenda Unicef. Seseorang telah
menggantungkan sebuah papan nama di salah satu tiang bambunya: “Warkop
Starbucks”. (*) [Maret 27, 2005]
~Majalah Tempo, No. 04, 21 – 27
Maret 2005~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2005/03/27/memberi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar