NU, Muktamar XXXI
dan Demokratisasi
Oleh
Abdurrahman Wahid
Muktamar NU 31 telah berakhir pada tanggal 2 Desember 2004, di asrama haji Donohudan, Boyolali. Penulis dan banyak tokoh-tokoh NU lain “bernasib baik” mendapatkan tempat pada hotel-hotel yang ada di kota Solo. Dua kali penulis mendapatkan panggilan, untuk bertemu dengan para sesepuh di hotel Novotel, yang terletak di jalan Slamet Riyadi. Peristiwa akbar itu, didahului oleh jatuhnya pesawat terbang Lion Air di lapangan terbang Adi Sumarno, yang antara lain menelan korban jiwa KH. Yusuf Muhammad dari DPP PKB dan dua orang tokoh NU lagi, seorang dari Jakarta Timur, dan seorang dari Lampung. Ternyata, kecelakaan pesawat terbang itu terjadi, karena licinnya landasan terkena air hujan rintik-rintik waktu itu, sehingga alat-alat penahan lajunya pesawat terbang, tidak bekerja sebagaimana seharusnya, sedangkan pesawat terbang mendaratnya juga tidak pada permulaan landasan, melainkan sudah berada di tengah-tengah. Sebagai akibat, pesawat terbang melampaui landasan pacu, dan menuju ke sebuah kuburan di tepian lapangan terbang tersebut.
Yang menarik bagi penulis, adalah
jalannya forum muktamar itu sendiri. Ternyata, Drs. Hasjim Muzadi telah
lama
mempersiapkan untuk kembali menjadi Ketua Umum Tanfidziyyah PBNU. Untuk
ini ia
menggunakan cara-cara tidak terpuji, dan melupakan semua tradisi NU,
serta
melanggar peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri. Secara main-main,
penulis
berkelakar dengan beberapa orang teman: karena muktamar di lakukan di
asrama
haji Donohudan, maka ia penuh dengan isu-isu keuangan. Bukankah ini
menyangkut
dana, yang belum tentu halal-haramnya? Belum lagi kalau anak kata
“hudan”
dibicarakan. Bukankah ia dapat berarti “Orang Yahudi yang kikir”?
Salah satu contoh penyimpangan dari
kebiasaan, terjadi ketika panitia pusat menunjuk restoran ayam bakar
Wong Solo
sebagai penyedia makanan (catering) bagi forum tersebut. Sesuatu yang
baru
terjadi dalam sejarah NU yang panjang. Bukankah selama ini kaum Ibu NU
setempat, melakukan hal itu, guna memungkinkan partisipasi masyarakat
dalam
penyelenggaraan forum Akbar itu? Penulis melihat sendiri, dalam muktamar
NU
XXVIII di Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta), bagaimana masyarakat
menyerahkan lebih dari satu ton ikan lele kepada almarhum KH. Ali
Maksum.
Panitia pusat muktamar, menyebutkan
bahwa muktamar tidak diselenggarakan di pondok pesantren, karena yang
ditempati
akan meminta dibuatkan gedung. Tetapi diajukan anggaran dua puluh milyar
rupiah
untuk forum tersebut. Namun, menurut penulis, jika dilakukan di pondok
pesantren, paling banyak hanya menelan biaya dua milyar rupiah, alias
sepersepuluhnya saja. Entah berapa jumlah uang yang dikeluarkan panitia
muktamar,
kita juga tidak tahu, karena segala-galanya tidak transparan. Hal itu
dikemukakan di sini, agar secara tertulis hal itu dapat direkam sebagai
informasi yang berguna bagi NU sendiri di masa depan. Dengan demikian,
perbaikan-perbaikan di masa depan, dapat dilakukan dengan tuntas, demi
kelangsungan hidup NU sendiri di masa-masa yang akan datang. Tugas dan
peranan
positif NU di masa depan, adalah memimpin bangsa ini ke arah kejayaaan
dan
kebesaran, bukannya sekedar menonton saja segala perkembangan yang
terjadi.
Penulis melihat peranan demokratisasi, yang seharusnya ditunjukkan
muktamar
itu, sebagai “contoh konstruktif” yang harus diperlihatkan NU. Namun,
karena
egoisme dan ambisi pribadi jauh lebih besar dari pengertian memimpin
bangsa,
lalu forum itu gagal berperan demikian.
Yang ada kemudian, adalah pertunjukkan
komedi tidak lucu yang memperlihatkan kesenjangan segitiga sangat besar,
dalam
kehidupan NU di satu sisi, ada pihak-pihak yang berambisi pribadi untuk
mempertahankan peranan dalam kehidupan NU. Di sisi kedua, para ulama
sesepuh
yang merasa “nilai-nilai NU lama” dengan sengaja akan dihilangkan oleh
pihak
pertama itu, dan rakyat NU kebanyakan yang sangat sedih dan bingung
menyaksikan
kesemua itu. Puncaknya, terdapat dalam dua hal. Pertama, ketika penulis
menghadap KH.AM. Sahal Mahfudz, untuk menanyakan bersediakah beliau
melarang
Drs. Hasjim Muzadi dari pencalonan Ketua Umum PBNU, sebuah hak yang
beliau
miliki jika terpilih menjadi Rais Aam Syuriah PBNU, sesuai dengan tata
tertib
forum itu sendiri. Dengan cucuran air mata, beliau menyatakan pada
penulis,
tidak sanggup melakukan hal itu.
Terus terang, penulis kembali ke hotel
dengan niatan tidak akan peduli lagi dengan dunia NU, karena ia hanyalah
perjuangan selama di dunia ini saja. Tetapi, ia harus mengurungkan niat
itu,
yang tentunya harus diiringi konsentrasi pada suksesnya PKB saja.
Keesokan malamnya, penulis dipanggil
lagi ke Novotel, dan di sana para ulama sesepuh mengeluarkan perintah
tertulis
agar didirikan organisasi baru, yang berpegang pada nilai-nilai ke-NU-an
yang
beliau yakini. Pada waktu perintah tertulis itu di bacakan, dengan tanda
tangan
puluhan orang ulama, hati penulis seperti diiris-iris tanpa disadari, di
matanya terbayang para pendiri dan pejuang NU, yang dengan ikhlas dan
tekun memperjuangkan
masa depan bangsa dan negara ini. Apa bedanya, dengan pengorbanan
penulis
selama puluhan tahun ini bagi demokrasi, peri-kemanusiaan dan kebesaran
Islam
sendiri? Kebesaran karena Islam turut “mengangkat derajat” agama-agama
lain
(termasuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa)? Dengan
segala
kemampuan, penulis memilih perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam
bentuk
perlindungan hak-hak kaum minoritas dan dialog antar agama.
*****
Penulis menyatakan akan melaksanakan
tugas tersebut, dan untuk itu beberapa hari kemudian ia dan sejumlah
kawan
terbang ke Cirebon, untuk menemui sejumlah sesepuh (seperti KH. Abdullah
Abbas,
Syekh Muhtar Muda Nasution dari Sibuhuan/Sumatera Utara, para utusan KH.
Abdullah Faqih Langitan dan KH. Sofyan Miftah/Situbondo). Di ponpes
Buntet
Astanajapura, penulis mengemukakan perlunya dikembangkan sikap
akomodatif dan
tidak konfrontatif terhadap PBNU baru. Bentuknya, antara lain berupa
kesediaan
menggunakan bersama kantor PBNU berlantai sembilan itu. Sebagai pendiri
gedung
itu, dan hingga saat ini masih melihat ada hutang-hutang yang belum
dibayar
bagi kerja tersebut, sedangkan PBNU melaporkan adanya saldo keuangan
sebesar
5,5 milyar rupiah, jelas masalahnya cukup rumit. Diharapkan, dengan
adanya
sikap rekonsiliatoris, dalam beberapa tahun lagi NU akan bersatu kembali
secara
organisatoris, walaupun tidak dapat mengambil bentuk semula yang sudah
dikacaukan orang itu.
Impian penulis itu, antara lain
didasarkan atas perintah para sesepuh NU, agar organisasi baru yang
didirikan
tersebut, dideklarasikan dalam muktamar luar biasa (yang penulis tidak
tahu
forum NU atau bukan) bulan Juni yang akan datang. Dengan demikian,
beliau-beliau melarang adanya pengurus organisasi baru itu, saat ini,
dan hanya
memperkenankan adanya sejumlah orang koordinator, baik di tingkat pusat
maupun
daerah. Jelas dengan demikian, bahwa pertarungan antara NU struktural
dan
non-struktural itu akan berlangsung secara apik, dan tidak berniat
melukai
siapapun. Penulis sendiri ingin agar perselisihan itu segera disudahi,
karena
ia sendiri mempunyai agenda besar, untuk menegakkan demokrasi bagi
bangsa dan
negara, serta kerja-kerja membuat bangsa yang kuat dan negara besar,
yang
bersandar pada jumlah penduduk (205 sampai 208 juta jiwa, yang besar,
letak geografis
yang sangat strategis dan sumber-sumber alam sangat kaya. Tantangan
itulah yang
menarik hati penulis, bukannya segala urusan “tetek bengek”
masalah-masalah
organisasi kemasyarakatan itu.
*****
Orang sering menyatakan, mengapakah
penulis masih mementingkan NU? Bukankah penulis sendiri (menurut bahasa
mereka), jauh lebih besar dari organisasi tersebut? Jawabnya, sebenarnya
sederhana saja: tanpa NU, perjuangan menegakkan demokrasi, upaya membuat
bangsa
kuat dan menciptakan kehidupan penuh keadilan dan kemakmuran, juga tidak
akan
menghasilkan apa-apa. “Kesadaran” tersebutlah yang akhirnya membuat
penulis
menerima perintah para sesepuh NU itu. Jelas, itu merupakan apa yang
dirumuskan
al-Qur’an “negeri yang baik dan penuh pengampunan Tuhan” (baldatun
tayyibatun
wa rabbun ghafur). Sebagai pengejawantahan upaya melaksanakan apa yang
menjadi
tujuan NU, “meluhurkan asma Allah yang sangat tinggi” (I’la-I
kalimatullah
al-lati hiya al-‘ulya), maka bentuk-bentuk kegiatan itulah yang penulis
pilih.
Saat ini, penulis sedang asyik membuat jaringan para pemimpin-pemikir
Islam,
yang berkewajiban menyatakan “suara moderat Islam” di lingkungan dunia
internasional, sebagai sebuah bentuk kegiatan rangkaian di atas. Inilah
yang
membuat penulis ke New Delhi baru-baru ini, disusul dengan kepergian ke
Australia untuk enam hari saat tulisan ini didektekan.
Untuk mempersiapkan muktamar luar
biasa, berbagai naskah yang diperlukan dan mencari personalia yang
dibutuhkan,
penulis menunjuk sebuah team yang terdiri dari sejumlah orang aktifis NU
di
tingkat pusat. Ini berangsur-angsur akan dilengkapi dengan dengan
menunjuk
team-team daerah tingkat satu dan dua untukk keperluan tersebut. Berarti
di
mulainya kembali upaya keempat kali untuk melakukan konsolidasi di
lingkungan
NU. Mula-mula, KH.A Wahab Chasbullah, Hasan Gipo dan sejumlah orang
lain, untuk
menyusun gerak-langkah NU pada saat baru berdiri, kemudian ketika NU
harus
menjadi parpol sebagai keputusan muktamar Palembang 1952, ketika NU
kembali
kepada khittah NU 1926 dalam muktamar Asembagus tahun 1984, dan kini
seusai
muktamar Boyolali yang diuraikan di atas. Penulis “terlibat” dalam
kerja-kerja
berat setelah muktamar Asembagus dan Boyolali, tetapi memang demikianlah
yang
harus dilakukan, jika kita benar-benar mencintai NU. Selebihnya, adalah
proses
melestarikan dan membuang, yang umum terjadi dalam sejarah manusia,
bukan? (*)
Melbourne, 10 Desember 2004
Sumber:
Minggu,
12 Desember 2004 00:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar