Judul Buku: Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional
Penulis: Y. Dedi Pradipto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 253 halaman
|
Setiap
kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei,
kita selalu diajak merenung dan berhenti pada satu pertanyaan sudah seberapa
jauh kemajuan dunia pendidikan di negeri ini?
Semua
Warga Negara Indonesia,mulai dari pejabat hingga orangtua kalangan berpunya
sampai si miskin papa selalu menjawab serupa bahwa pendidikan sangat dibutuhkan,
terutama untuk mengangkat harkat dan martabat serta kemajuan negara.
Anehnya
meskipun semua orang sudah berpikir sama tentang makna pendidikan dan
pentingnya ilmu bagi kalangan generasi bangsa untuk membangun masa depan
Indonesia, tapi tetap saja negeri ini bagai tak perduli terhadap peningkatan
peranan pendidikan di dalam negeri.
Toh
negara masih belum mampu memberikan apresiasinya sebagaimana perintah GBHN
untuk memberikan porsi 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) untuk anggaran pendidikan.
Meski
pemerintah melalui Mendiknas pada saat memperingati Hardiknas menyatakan untuk
memajukan dunia pendidikan di tanah air telah berjuang dan bekerja keras untuk
mengatasi berbagai persoalan, namun kenyataan hingga hari ini kualitas
pendidikan kita masih sangat jauh tertinggal dibandingkan negara-negara yang
sedang berkembang, terutama di lingkup negara-negara ASEAN.
Berdasarkan
survey Political and Economic Risk (PERC) kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Menyedihkan lagi ternyata
posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Memprihatinkan lagi, hasil survey
tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan
kita dari 55 negara yang disurvey Indonesia berada pada urutan 53.
Dampak
rendahnya mutu pendidikan Indonesia itu secara tidak langsung ternyata ikut
mempengaruhi berbagai sisi kehidupan di negeri ini. Misalnya terhadap sumber
daya manusia Indonesia sangat jelas jauh tertinggal.Hal ini dapat dilihat dari
hasil reset Ciputra yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai 0,18 persen
pengusaha dari jumlah penduduk.
Padahal
sesuai syarat untuk menjadi negara maju minimal 2 persen dari jumlah penduduk
harus ada pengusaha. Sebagaimana Singapura yang kini memiliki 7 persen dan AS 5
persen dari jumlah penduduknya adalah pengusaha.
Dampak
lain akibat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dapat dilihat dari Human
Development Indeks (HDI) Indonesia sebagaimana laporan UNDP, HDI pada 2007 dari
177 negara yang dipublikasikan HDI, Indonesia berada pada urutan ke-107 dengan
indeks 0,728, hingga menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN di bawah
Vietnam dan di atas Kamboja dan Myanmar.
Berdasarkan
data yang ada terbukti bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada pada titik
terendah. Rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain tidak terlepas
dari rendahnya kualitas sarana fisik. Banyak gedung-gedung sekolah rusak,
penggunaan media belajar yang rendah, buku perpustakaan tidak lengkap,
laboratorium tidak standar serta pemakaian teknologi informasi yang tidak
memadai.
Demikian
pula kualitas guru rendah yang ditandai belum memiliki profesionalisme memadai.
Rendahnya kesejahteraan guru juga ikut memacu rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Idealnya seorang guru sebagaimana hasil penelitian federasi guru
independen bergaji tiap bulan Rp3 juta, tapi nyatanya rata-rata bergaji Rp1,5
juta, guru bantu Rp460 ribu dan honorer Rp10 ribu per jam. Akibatnya dengan
gaji yang rendah banyak guru bekerja sampingan.
***
Selain
itu biaya pendidikan yang mahal juga ikut menurunkan kualitas pendidikan.
Padahal di negara-negara maju banyak sekolah-sekolah bermutu namun biaya
pendidikan rendah. Bahkan di beberapa negara pendidikan digratiskan, karena
menjadi tanggungjawab negara. Di Indonesia, pemerintah berkilah akibat
keterbatasan dana. Padahal Malaysia tak gentar menganggarkan 35 persen dari
APBNnya untuk biaya pendidikan. Bagaimana Indonesia?! [*]
*) Miftahul Jannah el-Ma'un, Peresensi adalah bergiat di Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT) poros Jabodetabek.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar