Judul:
Humanisme Gus Dur,
Pergumulan Islam dan Kemanusiaan
Penulis:
Syaiful Arif
Penerbit:
Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Tahun:
Cetakan I, Oktober 2013
Tebal:
342 hlm
Peresensi:
A Musthofa Asrori*)
|
KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) pernah berpesan agar di pusaranya dipahat sebuah tulisan, “Di
Sini Dimakamkan seorang Humanis”. Artinya, dia ingin dikenang sebagai pejuang
kemanusiaan. Dus, gelar tokoh humanis agaknya lebih tepat disematkan kepadanya.
Sebab, humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam paling
dalam, yang melampaui etnis, teritorial, hingga batas kenegaraan.
Sayangnya, hingga
kini masih banyak pihak yang tak memahami Gus Dur dari sisi kemanusiaannya
sehingga pemikirannya sering disalahtafsirkan. Buku berjudul “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam
dan Kemanusiaan” karya Syaiful Arif hendak memotret sisi paling
subtil dari Gus Dur, yakni kemanusiaan.
Menurut Arif, buku
ini memuat setidaknya tiga hal. Pertama,
produk pemikiran Gus Dur. Berisi pemikiran lslam, meliputi pribumisasi lslam,
lslam sebagai etika sosial, hubungan Islam dan negara, hubungan antar-agama,
dan “negara kesejahteraan” lslam. Serta pemikiran demokrasi, kebudayaan, dan
ke-NU-an.
Kedua, jalinan
struktural pemikiran Gus Dur. Jalinan ini kemudian membentuk sistem pemikiran
tersendiri. Nah, jalinan yang berisi prinsip dan tujuan itu secara mendasar
mengacu pada pembelaan Gus Dur terhadap harkat tinggi kemanusiaan, yang pada
satu titik ia dasarkan pada tradisi keislaman yang mendalam. Jadi, jika
dirumuskan, corak atau “jenis kelamin” pemikiran Gus Dur ialah pertemuan antara
keislaman dan kemanusiaan. (hlm. 61).
Dalam hal ini, Gus
Dur berangkat dari tradisi maqashid
as-syari'ah (tujuan utama syariat) yang menetapkan perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Pemuliaan kemanusiaan dalam bentuk perlindungan
terhadap HAM inilah yang Gus Dur sebut sebagai nilai-nilai universal lslam.
Demi penegakan nilai-nilai universal tersebut, Gus Dur mensyaratkan sikap
kosmopolitan, yakni keterbukaan pandangan lslam kepada peradaban lain. Artinya,
untuk menegakkan universalisme lslam, dibutuhkan keberislaman yang modern.
Sebab, persoalan kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh sarana dan
sistem sosial-politik modern.
Ketiga, tujuan utama dari
semua pemikiran Gus Dur, yakni humanisme lslam. Jika ditelusuri lebih mendalam,
humanisme Islam Gus Dur merujuk pada humanisme komunitarian yang mengarah pada
pembentukan struktur masyarakat yang adil. Setidaknya ada tiga pilar yang
membentuk struktur tersebut: 1) demokrasi (syura);
2) keadilan (‘adalah);
dan 3) persamaan di depan hukum (musawah).
Gus Dur menyebut ini sebagai Weltanschauung
(pandangan-dunia) Islam.
Apa yang telah
dilakukan Gus Dur untuk memperjuangkan humanisme komunitarian ini? Pada ranah
historis, Gus Dur sejak pertengahan tahun 1970-an hingga akhir 1980-an
mengupayakan keadilan sosial vis-a-vis developmentalisme Orde Baru. Gus Dur
bahkan sempat menjadi pemimpin redaksi jurnal Wawasan yang memuat pemikiran
pembangunan alternatif sebagai counter
discourse atas pembangunanisme negara. (hlm. 68). Salah satu hasil
rumusan Gus Dur adalah sebuah makalah bertajuk Development by Developing Ourselves (makalah
seminar The Study Days on ASEAN Development, Malaysia, 1979) yang menetapkan
garis-garis pembebasan sosial-politik dari lslam. (hlm. 28)
Selain itu,
menciptakan pemberdayaan masyarakat untuk mengimbangi top down development dari
negara melalui LSM nirlaba dan nonpemerintah yang disebut Gus Dur sebagai
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Salah satu hasil konkrit
usaha Gus Dur tersebut adalah lahirnya ribuan Bank Perkreditan Rakyat hasil
kerjasama antara PBNU dengan Bank Summa, bernama BPR Nusumma. Sampai di sini,
tak berlebihan jika penulis buku ini menahbiskan Gus Dur sebagai “pemimpin
besar masyarakat sipil Islam” di Indonesia.
Dalam wilayah
politik, Gus Dur mengkritik demokrasi negara. Gus Dur dalam sebuah wawancara di
koran menyebut demokrasi negeri ini sebagai "Demokrasi Seolah-olah",
yakni seolah-olah demokrasi, padahal tidak demokratis. Gus Dur juga menyebutnya
sebagai “demokrasi institusional” yang terbatas pada instutusi negara. Negara
melarang kegiatan demokrasi berbasis sipil dengan alasan telah ada
lembaga-lembaga demokrasi, semacam DPR, MPR, dan pemerintah.
Bagi Gus Dur,
demokrasi harus menjadi kualitas kehidupan politik. Pada tahun 1992, Gus Dur
bahkan telah menggagas lahirnya Mahkamah Konstitusi yang menjadi jembatan
antara masyarakat dengan negara. Tugasnya antara lain melakukan judicial review atas UU
yang menindas rakyat. Pasalnya, negara seringkali menggunakan tafsir tunggal
atas konstitusi. Hebatnya, ide brilian ini lahir di saat banyak kalangan belum
memikirkannya sama sekali.
Dalam hal persamaan
di hadapan hukum (musawah),
ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur lebih banyak tergerak dalam proyek
membela minoritas. Sebut saja misalnya, memulihkan hak politik anak cucu PKI
yang diberangus rezim Orba. Selain itu, Gus Dur juga memberikan suaka budaya
kepada minoritas Tionghoa yang selama ini tidak diakui negara. Dibukanya kran
kebebasan melaksanakan perayaan Imlek (tahun baru China) tak ayal membuat warga
keturunan Tiongkok menyematkan gelar Bapak Tionghoa kepada Gus Dur.
Pada titik ini,
Arif menolak gelar Bapak Pluralisme yang disematkan kepada Gus Dur oleh
Presiden Yudhoyono. Pasalnya, pluralisme hanya merupakan salah satu “program”
di bawah “bidang” persamaan hukum (al-musawah).
Padahal selain “bidang persamaan hukum”, Gus Dur juga telah berjuang di
“bidang” demokrasi politik dan keadilan sosial. Sementara itu, tiga “bidang
perjuangan” ini berakar pada perjuangan kemanusiaan berbasis nilai-nilai lslam.
Oleh karenanya, Gus Dur lebib tepat digelari “Bapak Kemanusiaan”, sebab gelar
ini lebih luas dan mampu mewakili semua pemikiran dan perjuangan beliau.
Pertanyaannya
kemudian, apa makna humanisme Islam menurut Gus Dur? Yakni nilai-nilai
kemanusiaan yang berpijak dari nilai Islam. Setidaknya ada dua hal. Pertama,
kemanusiaan yang ditetapkan oleh Allah (human
dignity). Cara tuhan memuliakan manusia: 1) menjadikannya dalam
bentuk yang paling sempurna, tidak terbatas fisik, namun juga psikis dan
rohani; 2) mengangkat manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi sesama.
Perlindungan atas
lima hak dasar manusia (ushul
al-khamsah): 1) hak hidup (hifdz
al-nafs); 2) hak beragama (hifdz
al-din); 3) hak berpikir (hifdz
al-aql); 4) hak kepemilikan (hifdz
al-mal); dan 5) hak berkeluarga (hifdzu
al-nasl). (hlm. 65). Dari sinilah dibutuhkan pendirian “negara
kesejahteraan” lslam, bukan negara lslam. Jika yang terakhir merujuk pada pendirian
negara berdasarkan formalisme syariat lslam, maka yang pertama merujuk pada
negara yang bertujuan menegakkan tujuan utama syariat, yang bermuara pada
kesejahteraan rakyat. “Negara kesejahteraan” lslam ini bisa berbentuk
negara-bangsa modern, yang diterangi oleh nilai-nilai etis lslam. Pada titik
ini, dibutuhkanlah struktur masyarakat yang demokratis, adil, yang menganut equality before the law.
Karya kedua Arif
tentang Gus Dur ini (pada tahun 2009 dia menelorkan buku Gus Dur dan llmu Sosial Transformatif,
Sebuah Biografi lntelektual) didedikasikan untuk mengabdi kepada
Gus Dur, guru sejatinya yang ia tahbiskan sebagai inspirator utama. Semula,
buku ini merupakan elaborasi dari makalah-makalah untuk bahan ajar di Kelas
Pemikiran Gus Dur yang dihelat di The WAHID Institute. Ke depan, kata Arif,
buku tersebut akan dijadikan sebagai referensi utama mata kuliah Pemikiran Gus
Dur di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta yang membuka
program pascasarjana konsentrasi Islam Nusantara. [*]
*) Peneliti
Ciganjur Centre Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar