|
Judul buku: Al-Quran, Kitab Toleransi;
Inklusivisme,
Pluralisme, dan Multikulturalisme
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: Abdurrahman Wahid & A. Syafi'i Ma'arif
Penerbit: Fitrah Jakarta
Cetakan: 1, 2008
Tebal: xxxiii + 526 halaman
Peresensi: Muhammadun A.S.
|
Hubungan
antaragama dalam dua dekade tarakhir, khususnya pasca Tragedi 11 September
2001, masih dicekam berbagai tragedi berdarah yang terus melayangkan nyawa
manusia tak berdosa. Tragedi demi tragedi terus menyeruak di belahan dunia.
Timur Tengah menjadi saksi bisu betapa darah terus mengalir di tengah konflik
horisontal antarsaudara sendiri. Eropa juga ketir-ketir dengan hantu tragedi
bom bunuh diri yang bisa datang sewaku-waktu. Sementara, di Asia, konflik
berdarah juga tak kunjung berakhir. Indonesia juga tak lepas. Tragedi
Situbondo, Poso, Maluku, dan kerusuhan medio Mei 1998 adalah saksi bahwa
persaudaraan sejati hanya isapan jempol.
Seorang
pemikir muda galau dan risau dengan kondisi tersebut. Karena bekal pengalaman
berinteraksi dengan berbagai kelompok, ragam golongan, dan lintas agama,
Zuhairi menarik napas kegalauan dan memuntahkannya dalam sebuah karya brilian,
Al-Quran, Kitab Toleransi. Zuhairi yang dilahirkan dari rahim kaum
tradisionalis (baca: Nahdlatul Ulama/NU), mampu melakukan terobosan pemikiran
yang melampaui khazanah tradisionalismenya. Buku ini menjadi bukti otoritas
keilmuannya dalam membedah diskursus toleransi yang tertancap dalam kitab suci
Al-Quran.
Zuhairi
melakukan penjelajahan khazanah keilmuan Al-Quran, sehingga menghasilkan
sintesis pemikiran yang memukau: Al-Quran sebagai kitab toleransi.
Penjelajahannya dalam samudera keilmuan Al-Quran bisa terlihat dari pembacaan
kritisnya atas Jami'ul ahkam karya Al-Qurtubi, al-Tafsir al-Kabir wa
al-Mafatih al-Gaib karya al-Razi, Tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamakhsari, juga Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi.
Bagi
Zuhairi, Al-Quran itu menghadirkan mutiara yang berisi nilai-nilai kemanusiaan
universal. Menyitir pemikiran al-Ghazali, al-Syatibi, al-Thufi, al-Syaukani,
dan lainnya, ia melihat bahwa paradigma substansi dan tujuan diturunkannya
Al-Quran sebagai sumber syariat adalah kesadaran sosial, kesadaran
antroposentris, dan kesadaran humanis. Bahkan, al-Syatibi, lanjut penulis,
substansi yang dituturkan Al-Quran bukan hanya menjaga jiwa, agama, harta,
akal, dan keturunan, tetapi juga menjungjung tinggi agama-agama dan kepercayaan
lain.
Dari
sinilah penulis melakukan penjelajahan dalam lintasan diskursus Al-Quran
mengenai toleransi. Satu per satu ayat dalam Al-Quran kemudian dianalisis
penulis untuk membuktikan komitmen Al-Quran mengawal toleransi. Ayat-ayat itu,
antara lain, tentang tidak ada paksaan dalam agama (adamul ikroh fi al-din),
satu umat, beragam nabi, kitab Taurat dan kitab Injil sebagai pentunjuk dan
cahaya, kesetaraan umat beragama, kebebasan beragama, larangan menebar
kebencian dan kekerasan, penghargaan Islam atas pemuka agama Kristen, anjuran
mengucapkan selamat Natal, ahlu al-kitab sebagai orang-orang saleh,
mengutamakan jalan damai, Nabi Muhammad sebagai teada praksis kasih sayang, dan
Tuhan sebagai sumber kasih sayang.
Tema-tema
ayat toleransi itu diblejeti dengan pendekatan multidisipliner, tidak hanya
aspek normatif-teologis, tetapi juga dengan pendekatan
sosiologis-antropologis-historisnya. Inilah yang bisa membuat pembaca kaya akan
khazanah pemikiran yang multiperspektif. Semua tema ihwal ayat toleransi
tersebut dibungkai dalam landasan tiga paradigma; inklusivisme, pluralisme, dan
multikulturalisme. Inklusivisme mendasarkan pemikiran pada keterbukaan, pluralisme
mengandaikan keragaman sebagai sunnatullah, sesuatu yang secara alamiah
harus terjadi, dan multikulturalisme mendedahkan bahwa berbagai kebudayaan
masyarakat hadir saling melengkapi, menyapa, dan berdialog.
Tiga
landasan paradigmatik inilah yang digunakannya memotret ayat toleransi
tersebut. Tiga landasan yang digunakan penulis, sepertinya merupakan hasil
pergulatannya dengan berbagai kalangan lintas agama dan lintas golongan.
Khususnya pergaulannya dengan Dr Milad Hanna, Dr Yohanna Qoltah, Franz
Magnis-Seseno, dan Pendeta Martin Lukito Sinaga. Dengan Milad Hanna, ia
mencerap berbagai pemikiran toleransi di Mesir, sekaligus belajar ragam
kebudayaan yang telah membentuk struktur kehidupan Mesir.
Dan,
di negeri Piramid yang plural itulah sebenarnya ia memulai petualangan
intelektualnya dalam membingkai pemikiran bahwa Al-Quran sebagai basis landasan
toleransi. Gagasannya juga diamini Buya Syafi'i Ma'arif dalam pengantarnya
bahwa Al-Quran merupkan fundamen toleransi yang sangat kaya dan luar biasa. Oleh
Buya Syafi'i, Zuhairi dilihat telah mengkristalisasikan sebuah hadits bahwa
Al-Quran adalah hidangan Tuhan di muka bumi. Zuhairi menjadikan Al-Quran
sebagai hidangan toleransi yang kaya dengan percikan pemikiran ulama klasik dan
kaya dengan getar-getar problematika kontemporer. Sebuah gagasan dialektik
mengusung toleransi dalam kitab suci.
Berlandaskan
spirit toleransi yang begitu paradigmatik, Zuhairi ingin merajut kembali
persadaraan kemanusiaan yang selama ini terkoyak oleh konflik berdarah.
Khususnya relasi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, yang dalam berbagai belahan
dunia terus menyimpan "dendam sejarah" yang terus membara. Padahal,
ketiga agama tersebut mewarisi nilai-nilai agung yang sangat mulia. Sangat
ironis, bagi Zuhairi, kalau nilai agung justru dicampakkan, bahkan dijadikan
tameng untuk melakukan penindasan, pembunuhan, dan penistaan dengan sesama.
Umat Islam, Kristen, Yahudi, dan seluruh agama di dunia harus kembali
menebarkan panji-panji toleransi, sehingga kekerasan atas nama agama bisa terkikis,
pembunuhan atas nama agama terhapus, dan berbagai konflik horisontal berbau
agama bisa berakhir. [*]
*) Peresensi adalah Pengelola Perpustakaan Al-Hikmah, Pati, Jawa Tengah
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar