Judul: Manusia Bebas
Judul Asli: Buiten het Gareel Penulis & Penerjemah: Suwarsih Djojopuspito Pengantar: E. Du Perron dan Toeti Heraty Penerbit Djambatan, Jakarta Cetakan Kedua, Tahun 2000 (Cetakan Pertama 1975) Tebal: xxiv + 292 halaman |
Bagaimana
rasanya jadi seorang idealis? Pertanyaan itu agaknya sepele, tapi sebenarnya
susah dijawab. Mencita-citakan sesuatu dan bersikeras mewujudkannya ternyata
tak-mudah. Seperti Sulastri dan Soedarmo dalam MANUSIA BEBAS.
Waktu
itu di Bandung pada tahun 1933—1936. Pergerakan nasional mencapai puncaknya
juga di sana. Soekarno, meski baru keluar dari penjara, tak surut dengan
teman-teman politiknya. Karena mereka tahu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
masih tak-kurang juga menjalankan politik penindasannya. Suasana berbau
diskriminasi terserak.
Sementara
itu politik kaum pribumi di ambang perpecahan antara kubu Soekarno dengan kubu
Hatta-Sjahrir. Adapun pemerintah tenang saja dengan politik pembuangannya.
Soedarmo
termasuk di antara para aktifis itu. Sebagaimana yang lain, ia pun memiliki
cita-cita yang sama. Ia kenal dekat Soekarno (hal. 58). Karena kemampuannya, ia
diserahkan tugas sebagai direktur sekolah Perguruan Kebangsaan.
Sekolah
ini dicap oleh pemerintah sebagai "sekolah liar". Sebab mereka
mengadakan semacam tandingan bagi sekolah-sekolah pemerintah.
Dalam
prakteknya, Perguruan Kebangsaan berupaya mendidik dan menanamkan paham
kebangsaan di dada anak-anak pribumi. Biasanya, di sekolah-sekolah pemerintah,
selain hanya diperuntukkan bagi kalangan-kalangan tertentu (yang juga mahal
biayanya), anak-anak pribumi sering direndahkan. Dalam diri mereka ditanamkan
anggapan bahwa orang-orang pribumi itu malas dan bodoh.
Setamat
sekolah pun, perlakuan itu tak-berkurang. Misal saja, gaji seorang pribumi yang
jadi pegawai pemerintah. Meski ia pangkatnya tinggi, gajinya masih kalah dengan
gaji seorang pegawai Belanda dengan pangkat menengah.
Cita-cita
Soedarmo dipandang mulia oleh Sulastri. Dan inilah yang membuatnya tak-ragu
untuk menikah dengan Soedarmo (hal. 15). Nasihat orangtua dan
saudara-saudaranya tak digubris, Sulastri kukuh dengan pilihannya.
Soedarmo
sendiri dengan cita-citanya itu merasa dirinya sebagai pemimpin nasional, dan
Sulastri setuju—sebuah anggapan yang sering dicemooh banyak orang di luar
pergerakan.
Meski
direktur sekolah, gaji Soedarmo "a la kadarnya". Sebenarnya, ia dapat
saja bekerja di pemerintahan dengan gaji yang berlebih. Tapi dengan itu,
berarti ia mengkhianati cita-cita pergerakan, sedang saat itu pergerakan
nasional masih kuat corak non-kooperatifnya.
Mereka
menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial, apapun resikonya. Sebaliknya,
orang-orang yang kerja di pemerintahan sering mereka hinakan.
Semua
berjalan manis pada mulanya. Pelan tapi pasti, ketidakpuasan merambat ke dalam
Perguruan Kebangsaan. Banyak kebijakan-kebijakan Soedarmo dipandang merugikan
sekolah. Misalnya saja, karena satu sebab, gaji dan tunjangan untuk guru-guru
dikurangi.
Himpitan
hidup akhirnya bicara juga. Cita-cita pergerakan sering terdesak oleh perut
lapar. Mereka terancam perpecahan dari dalam (hal. 83-99).
Sulastri,
sebagai istri yang baik, tahu akan keadaan yang berubah itu. Bagaimana pun ia
mesti bertahan di samping suaminya. Ia sadar, cita-cita mereka akan diuji oleh
keadaan itu. Sekarang kembali pada mereka, bagaimana menyikapi semua itu.
Sampai
suatu saat, ketika Soedarmo dilarang mengajar oleh pemerintah (hal. 151).
Sebelum itu, beberapa rekan mereka banyak yang ditangkap dan dipenjarakan.
Tak-sedikit juga yang dibuang.
Maka,
akankah cita-cita mereka akhirnya dipertaruhkan?
***
Terbit
pertama kali dengan judul BUITEN HET GAREEL (artinya: di luar jalur) pada tahun
1940 di Belanda, buku ini dikatapengantari oleh Eddie du Perron. Dan kembali
naik-cetak pada tahun 1946, juga di Belanda sana.
Sebelumnya,
naskah buku ini pernah dikirim ke Balai Pustaka untuk diterbitkan. Tapi,
penerbit yang berfungsi sebagai "penyebar bacaan-bacaan bermutu bagi
rakyat" itu, menolaknya sebagaimana naskah BELENGGU-nya Armijn Pane.
Tahun
1975, BUITEN HET GAREEL baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul
MANUSIA BEBAS setelah didesak oleh H.B. Jassin dan Prof. Sartono
Kartodirdjo—begawan sejarah dari Universitas Gajah Mada. Penerjemahan itu
sendiri disubsidi oleh Pemerintah Belanda.
Prof.
Sartono, kata P. Swantoro dalam DARI BUKU KE BUKU (KPG, 2002, hal. 349),
menilai BUITEN HET GAREEL sangat relevan sebagai sumber sejarah mentalitas.
Sebab
di dalamnya dilukiskan mentalitas sekelompok nasionalis di zaman pergerakan
nasional. Sementara itu, mereka harus hidup dalam depresi ekonomi 1930-an.
Prof. Sartono, lanjut P. Swantoro, menunjukkan pula kepada kita bahwa karya
sastra dapat jadi sumber studi sejarah.
Terlepas
dari itu, Suwarsih Djojopuspito sebenarnya terbilang gagal dalam
penerjemahannya. Hal ini disebabkan usaha adaptasinya terhadap perkembangan
bahasa Indonesia saat penerjemahan itu. Ia memang terbiasa dengan bahasa
Belanda sejak masa mudanya.
Oleh
karena itu, belanya, "Ada beberapa perkataan bahasa Belanda yang tidak
dapat saya terjemahkan dan sebab itu saya biarkan saja". Maka, "Jika
perkataan itu nanti ternyata tidak ada EQUIVALENTnya dalam bahasa Indonesia,
maka perkataan itu malahan akan memperkaya bahasa Indonesia (hal. vi)".
Akibatnya,
pembaca yang terbiasa dengan karya-karya sastra saat ini dipastikan akan cepat
merasa bosan. Dan pantas saja: buku ini kurang laku di pasaran.
Bagi
para penggemar sejarah idealisme di Indonesia, MANUSIA BEBAS adalah sebuah
pilihan yang "mau-apa-lagi". Dan bagi penggemar karya-karya sastra
modern Indonesia, buku ini pun menjanjikan gambaran-tandingan atas karya-karya
sastra terbitan Balai Pustaka sebelum Perang Dunia II. [*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar