Judul:
Maqoshid Syariah dalam Pergumulan Politik;
Berfilsafat Hukum Islam dari
Harvard ke Sunan Kalijaga
Penulis:
Yudian Wahyudi
Penerbit:
Nawesea Yogyakarta
Cetakan:
1, Januari 2007
Tebal:
108 halaman
Peresensi:
Muhammadun AS*)
|
Dalam studi keislaman
(islamic studies) kontemporer,
agama (Islam) bukan sekedar menjadi dilihat pada normativitas ajarannya, tetapi
juga dilihat pada spirit historisitas keilmuannya. Agama, secara normatif,
hanya menjadi doktrin yang membelenggu nalar kritis pemeluknya. Sementara dalam
spirit historisitasnya, agama tidak lagi taken
for granted, tetapi mampu tampil sebagai sumber inspirasi
kehidupan, sumber spirit kritik sosial, dan sumber membangun kebudayaan dan
peradaban. Untuk itu, nalar keberagamaan dalam islamic studies selalu menempatkan agama
dalam normativitas dan historisitas sekaligus. Sehingga, agama selain menjadi
basis ritualitas pemeluknya, juga menjadi pijakan dalam melakukan revolusi
kebudayaan dan peradaban.
Salah satu
perangkat untuk mensukseskan agenda islamic
studies kontemporer tersebut adalah melakukan tafsir ulang terhadap
nalar syariah Islam. Dalam buku terbarunya ini, Yudian Wahyudi secara simbolis
membuka kerangka berfikir kita lewat refleksi berfilsafat hukum Islam dari
Harvard ke Sunan Kalijaga. Simbol Harvard menunjukkan bahwa hukum Islam
berkembang bukan hanya di Timur Tengah saja, justru di Barat, khususnya di
Harvard, studi hukum Islam mengalami perkembangan pesat. Di Harvard, hukum
Islam ditelaah secara kritis dengan perangkat berbagai ilmu filsafat dan sosial
humaniora. Begitu gemuruhnya Islamic studies di Barat, tidak salah kemudian
kalau Muhammad Abduh justru melihat Islam di Barat, walaupun tidak ada
Muslimnya.
Sementara simbol
Sunan Kalijaga membuktikan bahwa hukum Islam yang hadir di Jawa, khususnya yang
diimplementasikan Sunan Kalijaga, terbukti mampu mengisi ruang kebudayaan dan
peradaban secara sinergis. Sunan Kalijaga melihat syariah (hukum Islam)
merupakan spirit keberagamaan, bukan ajaran yang taken for granted. Sunan Kalijaga, walaupun
waktu itu memegang kuasa di Demak, tidak memaksakan ajaran agama secara formal
kepada masyarakat, tetapi ajaran agama disinergikan dengan kebudayaan lokal.
Sehingga agama mudah diterima masyarakat, dan masyarakatpun kemudian mempunyai
rasa kepemilikan kuat terhadap agamanya.
Dengan kedua simbol
tersebut, Yudian yang sekarang menjadi dosen filsafat hukum Islam di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, kemudian menampilkan maqoshid
syariah sebagai metode berfikir di era kontemporer. Maqoshid syariah merupakan
teori berfikir yang menempatkan kemaslahatan publik sebagai esensi syariah
agama. Dalam maqoshid syariah, hukum Islam harus menjaga agama, akal, harta,
jiwa, keturunan dan harga diri. Kelima hal ini menjadi prioritas
diimplementasikannya syariah Islam dalam segala waktu dan tempat. Makanya,
dengan maqoshid syariah, kita akan mempu menggabungkan spirit islamic studies yang
dilakukan Sunan Kalijaga dan Harvard. Terlebih diera kontemporer yang begitu
bergemuruh dengan tantangan di Indonesia, maqoshid
syariah bisa dijadikan alternatif paling strategis untuk
membangunkan pola berfikir dan beragama (Islam) di Indonesia. Karena kita tahu,
masyarakat (Islam) Indonesia yang religius lebih mudah membuka perubahan lewat
jalur agama, bukan filsafat dan ilmu sosial humaniora.
Maqoshid syariah sendiri merupakan
teori yang pertama kali dikemukakan oleh Umar bin Khattab. Al-Ghazali, melalui
bimbingan l-Juwaini, mengembangkan teori ini.Di tangan al-Syatibi, teori ini
terkenal di seluruh dunia Islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridho di Mesir, juga al-Maududi di India (kemdian Pakistan), mendorong agar
umat Islam mengkaji al-Muwafaqot al-Syatibi, yang mengulas konsep maqoshid syariah agak
mendalam. Sejumlah pembaharu Islam Indonesia, melalui Abduh dan Ridho,
memperkenalkan teori ini. Sayangnya, usaha mereka tidak lebih dari sekedar
mengulang-ulang pendapat al-Syatibi. Mereka memahami maqoshid syariah lebih
sebagai doktrin dengan contoh-contoh lama. Menjadikan maqoshid syariah sebagai
metode sama sekali tidak terbayang dalam pikiran mereka. Jadi, bisa dimengerti
ketika usul fiqh, khususnya konsep maqoshid
syariah, tidak pernah dibawa-bawa dalam pembangunan kurikulum
pendidikan agama (hal. 26-27).
Dalam wacana
implementatif, maqoshid
syariah merupakan dasar berfikir umat Islam menggapi kemajuan
peradaban. Pertanyaan yang terus mengemuka dewasa ini, mengapa umat Islam
mundur sedangkan orang lain maju? Dapat dijawab dengan singkat. Umat Islam
mundur karena dan muslim pada tingkat akidah, tetapi hampir “kafir alamiah”,
hampir tidak pernah menjadikan hukum alam sebagai bagian keimanan dan keislaman
mereka. Orang lain, katakanlah Amerika Serikat, maju karena mukmin dan muslim
alamiah dan insaniah. Mereka melaksanakan bagian terbesar hukum Allah,
sedangkan kita hanya melaksanakan sebagian kecil saja (hal. 24).
Dalam konsep maqoshid syariah, hukum
Islam bersifat ilahi tetapi sekaligus wad’i
(manusiawi; “positif”; sekuler). Pelibatan manusia kedalam hukum Islam
disimbolkan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah (wakil Allah) dimuka
bumi. Setiap upaya penafsiran dan pemahaman al-Quran sebagai sumber utama hukum
Islam selalu melibatkan unsur kemanusiaan. Umat Islam tidak akan maju kalau
tafsirnya atas kehidupan hanya berdasarkan ajaran agama yang telah ada selama
ini, tanpa melibatkan aspek hokum kemanusiaan dan kealaman. Dan Barat (AS),
mampu tampil digarda depan era kontemporer, karena mereka menguasai secara
kritis berbagai hukum manusiawi dan alami.
Buku ini
merekomendasikan agar nalar syariah Islam era kontemporer terus menggali
kerangka berfikir para ulama dari pada doktrin pemikiran yang dihasilkan. Kalau
masih terkungkung doktrin pemikiran, apalagi jika terkungkung dengan pola
ritualitas agama yang beku, maka umat Islam akan kehilangan elan vitalnya
sebagai agen revolusi peradaban sebagaimana yang dijalankan para pendahulu.
Untuk itu, Indonesia yang oleh almarhum Fazrul Rahman memiliki potensi besar
bangkitnya pemikiran keislaman, sangat tepat dijadikan locus penelitian dan
pengkajian hukum Islam kontemporer. Dengan nalar syariah Islam yang kritis kita
bisa meneropong Indonesia. Dan dari Indonesia kita bisa meneropong dunia Islam
secara komprehensif.[*]
*) Staf Pengajar
Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar