Judul:
Sama Tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar
KH A
Wahid Hasyim
Penulis: Ali Yahya Penerbit: Yayasan KH A Wahid Hasyim Jombang Cetakan: I, Mei 2007 Tebal: xxxviii + 411 halaman
Peresensi: M. Husnaini*)
|
Siapa yang tak
kenal KH A Wahid Hasyim. Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah
putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidupnya
singkat, karena Allah telah memanggilnya ketika usianya belum lagi genap 39
tahun. Meski di usianya yang relatif muda, ia telah menjadi figur penting dan
memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh
“mencengangkan”.
Menariknya, enam
putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno ini memiliki sifat,
profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tak terlepas dari
sikap sang ayah yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga.
Setiap perbedaan yang ada tidak pernah menjadi momok yang mematikan. Namun
justru menghasilkan variasi yang unik dalam keluarga yang penuh warna ini.
“Gajah mati
meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Salah seorang pendiri
negara Republik Indonesia ini meninggalkan lima putra-putri—yang ketika itu
masih kecil-kecil—dan jabang bayi yang masih di dalam kandungan ibunya. Dia adalah
Solichah Wahid Hasyim.
Putra-putri KH A
Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan panutan pada
waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda-beda. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4. Sosoknya penuh kontrovesi.
Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar, Salahuddin Wahid (Gus
Solah) penjelajah lintas disiplin ilmu, Dr Umar Wahid seorang profesional
murni, Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat, serta Hasyim Wahid (Gus Im)
dikenal sebagai pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi cucu, setidaknya
telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang
Wahid (putra Gus Solah).
Potret keluarga
besar KH A Wahid Hasyim ini diuraikan secara gamblang dalam buku ini. “Sama
Tapi Berbeda” karya Ali Yahya, alumnus Psikologi Universitas Indonesia ini
mengupas lebih mendalam sisi-sisi lain keluarga besar KH A Wahid Hasyim mulai A
sampai Z. Gaya bahasanya pun renyah, lugas dan mudah dicerna. Ahmad Syafi’i
Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)—dalam pengantarnya—mengatakan, gaya
penulisan buku ini adalah tuturan yang mengalir.
Meski demikian, Ali
Yahya tidak larut dalam nuansa kekagumannya terhadap sang tokoh. Meski
kekagumannya terhadap keluarga ini sungguh luar biasa, namun dirinya tetap
berusaha obyektif dalam memotret keluarga besar KH A Wahid Hasyim yang cukup
fenomenal, tidak hanya di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat
umum di seluruh Indonesia.
KH A Wahid Hasyim
dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering jadi
perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk riset
mengenai masalah-masalah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Dalam konteks ini,
apa yang telah diwariskan KH A Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya
penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat memicu radikalisme dan konflik
kekerasan. Aspek pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan
demokratisasi ini kiranya yang menjadi landasan perjuangan sang putra, KH
Abdurrahman Wahid. Adanya berbagai macam golongan dan kelompok; besar dan
kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta
pengelompokan dengan dasar lainnya, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya
dalam mengambil keputusan politik.
Sikap inilah yang
menjadi ciri khas Gus Dur. Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme dan
kesetaraan ini adalah penolakannya terhadap ide pembentukan negara Islam
sebagai tujuan politik umat Islam di Indonesia. Menurutnya, Islam harus
difungsikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan kesejahteran masyarakat,
apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat tersebut.
Tak ada yang
membantah, memang, di antara putra-putri KH A Wahid Hasyim yang paling menonjol
adalah Gus Dur. Sekitar dua dekade terakhir, dia adalah tokoh NU—bahkan Islam
secara umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan.
Ketokohannya pun banyak mendapat sorotan. Mulai pengamat nasional hingga
internasional.
Ternyata
popularitas generasi ini tak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti,
sosok Salahuddin Wahid merangkak naik ke permukaan. Tokoh ini mulai mendapat
perhatian publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun
1999. Ia makin ‘naik daun’ ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Dan puncaknya,
pada pemilu 2004, ia tampil sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto.
Popularitasnya pun semakin berkibar. Jika sebelumnya orang lebih mengenalnya
sebagai adik Gus Dur, kini ia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari
bayang-bayang siapa pun, termasuk sang kakak.
Di luar itu, kita
juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH A Wahid Hasyim yang aktif
di percaturan politik nasional. Hingga kini, ia telah tiga periode menjadi
anggota DPR. Uniknya, ia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin”
ketimbang masuk ke “kandang-kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini
cukup mengherankan. Tetapi, bagi mereka yang mengenal serta cukup tahu
bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun di lingkungan
keluarga, kenyataan ini tidaklah mengejutkan.
Di samping
ketiganya, putra-putri KH A Wahid Hasyim yang lain pun cukup dikenal di
komunitasnya masing-masing dengan aktifitas dan independensinya
sendiri-sendiri. Umar Wahid misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang
sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan di era Gus
Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara yang lain, Lily
Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski belum teralu dikenal, namun namanya
tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu.
Mengamati peri
kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH A Wahid Hasyim dalam buku ini, sungguh
akan kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya terlihat sejauh mana
kesamaan dan perbedaan di antara mereka masing-masing. Dari sini juga kita
dapat mengamati betapa peran orangtua sangat menentukan arah perjalanan sang
anak. Dalam hal ini adalah penanaman nuansa demokratis sejak dalam keluarga.
Dalam banyak hal,
anggota keluarga KH A Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu sama lain.
Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—pun ternyata
tidak sedikit. Hal inilah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Semua itu
membentuk ritme irama tersendiri dalam keluarga. Mereka memang sama tapi
berbeda.[*]
*) Penikmat Buku,
Kontributor Jaringan Islam Kultural
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar