Judul:
Samuel Leibowitz: Pengacara Kaum Tertindas
Pengarang: Fred D. Pasley Penerjemah: Nisrina Lubis Tahun: 2010 Penerbit: Navila Yogyakarta Tebal: xvi + 292 halaman
Peresensi:
Arif Syam
|
Samuel Leibowitz,
sang pengacara kaum tertindas ini, jelas memiliki nama yang cukup tenar di
kalangan pengacara di berbagai belahan dunia. Ia bahkan tercatat sebagai salah
satu pengacara yang turut serta menegakkan tonggak hukum di Amerika Serikat.
Nama Leibowitz
mulai mencuat di seantero Amerika setelah dia sukses membebaskan sembilan
pemuda kulit hitam dari kursi listrik. Kala itu, sembilan pemuda kulit hitam
tersebut divonis telah memperkosa dua orang perempuan kulit putih dan harus
dihukum mati, hanya dengan tiga hari masa proses persidangan. Tak ayal
keputusan ini pun menuai protes dari berbagai pihak, termasuk sebagian orang
kulit putih. Banyak tokoh nasional Amerika kala itu pun mengajukan petisi,
salah satunya Albert Einstein.
Sidang ulang pun
digelar dan Leibowitz, diminta untuk membela sembilan pemuda tadi. Leibowitz
tidak langsung menerima tawaran tersebut. Dia masih memeriksa terlebih dulu
berkas-berkas persidangan, karena dia tidak mau membela orang yang memang
bersalah. Setelah mempelajari berkas-berkas tersebut dia pun memutuskan untuk
bersedia menjadi pembela tanpa meminta bayaran sedikitpun.
Sepak terjang
Leibowitz tersebut secara gamblang mengatakan bahwa slogan justice for all
telah benar-benar dipraktikkan oleh pengacara keturunan Yahudi tersebut. Sikap
Leibowitz itu tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan di Amerika
era tahun 1930-an, di mana sentimen rasial masih sangat kental. Tidak
berlebihan jika kemudian Fred D. Pasley, penulis buku-buku biografi di Amerika,
tergerak untuk meneliti pengacara kondang era 1930-an tersebut dan mengisahkannya
dalam buku setebal 292 halaman ini.
Dengan bahasa yang
mengalir, buku yang berjudul Samuel Leibowitz: pengacara kaum tertindas ini
mengisahkan berbagai sepak terjang Leibowitz selama dia menjadi pengacara.
Dikisahkan bahwa Leibowitz bukan sekedar tenar dan kontroversial, tetapi juga
terbilang pengacara yang memiliki prestasi yang cukup memukau. Betapa tidak,
terhitung Leibowitz berhasil membebaskan 77 orang dari hukuman mati dari 78
orang yang dibelanya. Tak ayal dia pun menjadi pengacara yang cukup mahal di
New York pada waktu itu, yaitu dengan tarif minimal US$ 10.000.
Namun, kenyataan
tersebut bukan lantas berarti Leibowitz itu pengacara mata duitan. Leibowitz
pernah dihadapkan dengan dua kasus dalam waktu yang bersamaan, yaitu Al Capone
seorang gembong mafia yang berani membayar US$ 100.000 dan si malang Herry
Hoffman yang sama sekali tidak punya uang untuk membayar. Alhasil
Leibowitz ternyata lebih memilih untuk membela seorang Herry Hoffman. Sikap
Leibowitz tadi agaknya cukup sulit untuk dijumpai di bumi pertiwi ini.
Akhirnya, di tengah kondisi carut marut hukum di Indonesia—kasus Antasari Azhar
yang masih belum jelas sampai saat ini, nenek Minah yang dipenjara hanya karena
mencuri tiga buah kakau, koroptor yang bebas berkeliaran, dan lain sebagainya—kehadiran
buku ini telah memberi kontribusi yang besar. Semangat mempertahankan prinsip
justice for all oleh Leibowitz di sepanjang kisah hidupnya dalam buku ini tentu
sangat cukup untuk menginspirasi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan
pengacara. [*]
Sumber:
Kompas, 17 Juni
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar