Judul:
Sarung & Demokrasi, dari NU untuk
Peradaban ke-Indonesia-an
Penulis: Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk Pengantar: KH Miftachul Akhyar Penerbit: Khalista Cetakan: Juli 2008 Tebal: xiv+288hlm; 14,5 x 21cm Perensi: Ahmad Shiddiq Rokib*) |
Peran
Nahdlatul Ulama (NU) bagi perjalanan peradaban ke-Indonesia-an tidak bisa
dipandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan
dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh
kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. Itu
sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan
tradisi keagamaan yang berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Wajah agama (Islam)
yang ditawarkan NU adalah agama yang berwajahkan ke-Indonesia-an. Sikap
akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurtunistik, melainkan
eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang hitam-putih.
Peradaban
ke-Indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk NU adalah peradaban kebangsaan
kebebasan yang dilandasi moral keagaman (Islam). Nilai-nilai Islam memberikan
inspirasi sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meski hal
tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara
beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan Indonesia adalah
kebangsaan yang plural, yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil
suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang
lain pula, baik ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Buku
hasil lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah NU
Jawa Timur ini banyak menjelaskan NU dan ke-Islam-an, politik, pendidikan,
budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan
diaplikasikan dalam mengaktualisasikan peranan NU sebagai organisasai sosial
keagamaaan, sehingga tidak hanya menjadi macan podium, tapi juga bermanfaat
bagi warganya, terutama yang berada di pinggiran dan terjepit kapitalisme dan
neokolonialisasi.
Tulisan
M. Suhaidi R.B. berjudul NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan
Pembebasan Sosial NU dalam Memberdayakan Umat Secara Kaffah, misal, mencoba
menghadirkan sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan.
Akibat dominanasi politik tersebut, peran serta NU dalam berbagai bidang
mengalami pasang surut dan cenderung acuh tak acuh terhadap realitas yang
dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat Madura yang menanam tembakau dan
petani garam adalah warga Nahdliyin, selalu mengalami nasib tidak beruntung.
Tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri, ternyata
tidak seindah namanya. Rata-rata harganya antara 5000-8000 per kilogram. Harga
sedemikian murah, sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis,
sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasil dan harga tembakau,
cenderung dipermainkan pemilik modal. (hal 7)
NU
sebagai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat
bernaung warganya, menurut Koordinator Forum Studi Agama dan Demokrasi (ForSAD)
ini, harus melakukan langkah-langkah amaliah (praksis) yang nyata, dan tidak
hanya kata-kata (qaul). Dan menjadikan pendiri NU contoh serta teladan
dalam merespons realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan
penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok mabadi khairul ummah dan amar
ma’ruf nafi munkar, yang betul-betul membumi.
Dalam
mempertegas gambaran di atas, sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap
peran NU pada warganya, ada beberapa pilar yang bisa dijadikan komitmen untuk
memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis
Fathor Rahman Jm, dengan judul Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU untuk
Pemberdayaan Bangsa. Di antaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul
Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawuf NU,
bisa menjadi instrumen untuk mewujudkan komitmen dan pembelaan terhadap
warganya. Misal, di antara salah satu dari pilar-pilar di atas, diberdayakan
atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan
memperbaiki kehidupan umat.
Pesantren
yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan keunikan dan
kekhasan tersendiri, di dalamnya terdapat interaksi di antara orang-orang,
pascakemerdekaaan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi,
dan budaya. Dalam hal ini, pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan
memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan
kopersai simpan pinjam, BPRS, dan baitul mal wattanwil. Jika semua pesantren
yang ada di Indonesia mengikuti langkah Pesantren Sidogiri, maka komunitas NU
dan yang berada di berbagai daerah pelosok negeri, bisa jadi masyarakat yang
seperti kasus tembakau di Madura di atas, cukup diselesaikan oleh pesantren.
Serta tidak dibayangi neokolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan
memberikan jaringan disertai penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola
ekonomi kerakyatan atau NU menghidupkan Nahdlatul Tujjar yang digagas KH Wahab
Chasbullah dengan Tujuan memperkuat modal pedagang dan pertanian warga NU. Hal
ini, sesuai statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada 1930 pasal 3
mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi: ”Memperhatikan
Perekonomian Umat Islam”. (hal 68-75)
Buku
setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca akademisi, politisi, peneliti,
pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an
dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangkah lebih
maju. Namun, sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang
(perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkinkan terdapat tumpang
tindihnya gagasan.
Dari
gasasan di atas, adalah upaya penyegaran memori dan memberikan motivasi bagi
elit NU dari tingkat pengurus besar sampai pengurus ranting untuk selalu
berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar
benar-benar membela kepentingan umat secara praksis dan tidak lagi terjebak
politik praktis.[*]
*) Mantan aktivis Ikatan Pelajar NU Gapura, Sumenep, Jawa Timur, dan saat ini menjadi pengelola Taman Baca Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar