Judul
Buku: Sastra Hizib
Penulis: Murtadho Hadi Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan: I, Mei 2007 Tebal: xii + 109 halaman Peresensi: Ach Syaiful A'la*) |
Seorang
penyair seringkali perlu bersusah-payah menemukan sebuah kata untuk sebongkah
imajinasinya. Sedangkan, seorang sufi seringkali tak tahu bagaimana bisa
serangkaian kata-kata indah mengalir begitu saja dari bibirnya untuk sehamparan
realita. Mungkin itu bedanya seseorang yang bekerja dengan imajinasi dan
seorang yang menyatu dengan realitas.
Munajat
sufi dalam khazanah sastra disebut “hizib”. Dalam bahasa Arab, kata
“hizib” terkadang ditandai untuk merujuk sesuatu yang “berduyun-duyun” dan
“berkelompok-kelompok”. Terkadang juga kata “hizib” sendiri digunakan untuk
menyebut “mendung yang berarak” atau “mendung yang tersisa”.
Tentunya
pembaca penasaran. Apa Sastra Hizib itu? Adalah pertanyaan mendasar yang hendak
dijawab oleh Murtadho Hadi dalam bukunya “Sastra Hizib” ini. Penulis mencoba
memberikan pencerahan mengenai dunia sastra. Yang pasti “Sastra Hizib” bukanlah
seperti sastra konvensional yang dikenal banyak orang sekarang ini.
Sastra
Hizib adalah munajat para ulama yang meluncur begitu saja. Meluncur begitu saja
bukan berarti untaian kata-kata itu ngawur tidak mempunyai arti dan
makna sama sekali. Ia bukanlah sebuah kata yang direkayasa sebagaimana layaknya
sastra yang dilakukan oleh banyak penyair kita. Tetapi, “Sastra Hizib” sebuah
untaian kata keluar dari mulutnya memang seolah tak berarti, tapi sudah
terpatri di lubuk hatinya yang paling dalam hanya menunggu waktu untuk
meluncurkannya.
Kata-kata
puitis yang keluar dari mulut “sang sufi” lantaran jiwanya penuh dengan gelora
dan gejolak yang memang senyawa dalam realitas sosial. Sehingga munajat yang
mereka ekpresikan memiliki kekuatan tersendiri dalam arti bahkan terasa Ilahi.
Membaca
munajat ulama selalu menarik. Di sana terdapat kehalusan jiwa, ke-tawadhu-an
(kepatuhan) di hadapan Ilahi, kecintaan yang dalam sekaligus ketertakjuban
seorang hamba pada Tuhannya
Sebagaimana
diceritakan dalam buku ini, suatu hari ketika Imam Syafi'i dihina seorang tukar
cukur karena habis perjalanan jauh dengan jubah berdebu, surban acak-acakan,
sehabis mengusung kitab. Ketika hendak masuk sebuah salon ditolak lantaran
bertampang orang miskin. Maka, mengalirlah kata-kata indah dari mulutnya:
“Hujani aku dengan butiran permata sebesar gunung Sarondib. Dan banjiri aku
dengan butiran emas.
Selama
napas masih melekat, rezeki tak pernah beranjak dariku. Kelak, kalau aku mati,
kuburan siap menerimaku”. Halaman 4.
Dalam
ketepekurannya yang dalam, seorang sufi mampu meluncurkan munajat yang cantik,
lembut, dahsyat, dan garang. Semua itu tanpa sebuah rencana, tanpa konsep,
tanpa skenario, dan tujuan. Sebaliknya, seorang penyair perlu bersusah payah
memilih kata, menemukan ritme, menyusun panggung. Baginya, itu adalah kerja.
Sedang bagi sufi, itu adalah spontanitas. Sebuah spontanitas yang lahir dari
kebersihan jiwa.
Selama
ini, umumnya kita hanya mengenal sastra “konvensional” dan “baku”. Sastra yang
terkadang hanya sebuah kegelisahan penulisnya sendiri terbatas pada masalah
cinta, keindahan, kecantikan dan lain sebagainya. Tetapi, jauh tidak menyentuh
realita atau persoalan sosial sama sekali.
Oleh
sebab itu, kesempurnaan manusia sejati terletak ketika ia mampu mengagregasikan
kasih sayang, sikap rendah hati, kearifaan, kedermawanan ke dalam dirinya.
Semua itu bisa dilakukan oleh sastrawan lantaran mereka memiliki kekuatan olah
batin dan kemampuan menaklukkan bahasa. Namun, upaya itu bukanlah masalah
gampang. Sebab, banyak sastrawan muda, kini tertular penyakit lama: sudah
merasa besar dan tak perlu belajar lagi. Asal bersuara lantang dan bicara aneh,
maka, “sastrawan besar” itu akan ditengok orang dan dicap sebagai pembaru
estetika.
Kalau
kita mau jujur, di luar itu semua, ternyata masih banyak sisi-sisi lain yang
masih belum terungkap bentuk-bentuk karya sastra yang seandainya diselidiki
tingkat kesastraannya sangat tinggi dan kental. Salah satunya adalah “Sastra
Hizib”.
Buku
ini mencoba menawarkan kembali kepada pembaca sebuah ganre “Sastra Hizib”
sekaligus hasil “produknya” yang dihasilkan para ulama terdahulu. Walaupun
Murtadho Hadi tidak menghadirkan banyak ulama. Penulis hanya mengusung empat
nama: Syaikh Ibnu Athaillah as-Sakandary, Imam Syafi'i, Syaikh Abu Hasan
as-Syadzali, dan Balya bin Malkan. Barangkali tidak semuanya dikenal di
Indonesia sebagai penyair.
Kelemahan
buku ini, “Hizib” yang dimuat kalau hanya mengutip dari empat ulama itu dirasa
kurang eksploratif, jika buku ini dimaksudkan untuk memunculkan apresiasi
sastra terhadap munajat. Munajat-munajat yang dipilih terasa kurang “nyastra”
meski sisi ke-Ilahiannya cukup kental. Beberapa munajat dari ulama Syafi’i
seperti contoh di atas, terasa belum merupakan munajat, karena ditampilkan
seperti cerita-cerita sufi.
Namun,
upaya yang demikian itu patut dihargai. Kehadiran buku kecil setebal 109
halaman ini bisa menjadi santapan alternatif untuk memperkaya khazanah sastra.
Khususnya bagi kalangan “pesantren” yang kini mulai redup dengan dunia sasta.
Juga, buku ini menjadi jendela awal untuk menumbuh-kembangkan dan minat
memperdalam sastra karya-karya ulama terdahulu. [*]
*) Direktur Lembaga Kajian Mahabbah (eL-Ka-eM)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar