|
Judul: Ikhlas Tanpa Batas: Belajar Hidup
Tulus dan Wajar
kepada 10 Ulama- Psikolog Klasik
Penulis: Nur Aly
Penerbit: Zaman
Cetakan: Pertama, 2012
Tebal: 202 halaman
Peresensi: Hanifan Muslimin
|
Ikhlas merupakan
inti amal dan penentu diterima tidaknya suatu amal di sisi Allah yang Maha
Tahu. Amal tanpa ikhlas bagaikan amal tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa
buah, awan tanpa hujan, anak tanpa garis keturunan, dan benih yang tidak
tumbuh.
Zaman sekarang sangat
sulit mengapai nilai keikhlasan, alasannya sangat sederhana hanya untuk
memperakaya diri. Untuk mencapai ikhlas tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Artinya tanpa adanya niat yang tulus dan benar sulit untuk mencapainya.
Niat itu berfokus di hati tidak di lisan, kalau orang berniat dalam hatinya,
dan tidak mengucapkanya dengan lisan, itu sudah cukup.
Niat juga mengikuti
pengetahuan. Siapa mengetahui apa yang mau dia kerjakan, tentulah ia sudah
meniatkanya secara otomatis. Seumpama orang yang dihidangi makanan, bila ia
tahu ingin memakanya, pastilah ia sudah meniatkanya secara otomatis.
Syekh abdul Qadir
al-Jaylani mengatakan bahwa orang yang tidak mengawali perbuatan dengan niat
sama saja dengan tidak berbuat. Diam bila bicara dan diam-mu tidak disertai
dengan niat baik. Tanpa niat baik, bicaramu dan diammu tidaklah sesuai dengan
sunah Rasulullah SAW.
Banyak perbuatan
biasa menjadi bernilai karena terbungkus dalam niat yang bagus. Sebagaimana
banyak kewajiban menjadi tak bernmakna lantaran niatnya yang tak lurus.
Ketulusan membuat hidup semua tindakan. Hanya dengan niat tulus dan benarlah
yang bisa mencapai derajat keikhlasan. Kita harus tulus di ketiga harapan ini,
dan tak hanya salah satunya.
Pertama tulus sebelum
berbuat artinya adalah niat untuk melakukan perbuatan demi Allah semata, bukan
demi memperoleh pujian, penghargaan, ataupun balasan dari orang, bukan pula
demi harta jabatan ataupun popularitas di mata khalayak. Tulus sebelum berbuat
juga berarti berkehendak melakukan sesuatu perbuatan bukan karena dorongan
emosi negatif dari dalam diri atau karena ingin bereaksi atas suatu situasi.
Kedua tulus selama
berbuat artinya adalah membaguskan perbuatan kita hanya karena keteringatan
pada Allah, bukan karena keteringatan pada manusia, karena senantiasa diawasi
oleh Allah, bukan karena sedang diamati oleh manusia. Tulus selama berbuat juga
berarti tidak berbuat dengan malas-malasan (saat sendiri atau tampak oleh
orang), dan tak gampang mundur, panik, atau putus asa saat bertemu kesulitan
atau kendala.
Tulus berbuat juga
berarti berbuat tanpa membayangkan bagaimana kita akan dinilai, di puji, atau
dihormati ketika nanti menyudahi perpuatan tersebut.
Ketiga adalah tulus
setelah berbuat artinya tetap mengingat Allah saat disanjung ataupun dicela,
tidak sombong saat dipuji, dan tak kesal saat dimaki. Kita menisbahkan
kemampuan berbuat kepada Allah, dan bukan pada kemampuan kita sendiri,
menyerahkan hasil perbuatan kita kepada Allah dan tidak memandang bahwa
hasilnya harus seperti harapan atau kemauan. Tulus setelah berbuat ini juga
berarti tak berharap balasan, pujian ataupun ucapan terima kasih. Juga bisa
berarti tak mengungkit–ungkit perbuatan yang telah lalu, tak memamerkanya atau
menyombongkan pada orang dan tak tersinggung kalaupun tak disebut-sebut orang.
(halaman 8-9).
Inilah ikhlas tanpa
balas yang harus dijalani dalam hidup demi tercapainya keinginan meraih
kesuksesan dunia dan akhirat. Para sufi yang wejangan mereka terhimpun di buku
ini mengantar ke pemahaman ikhlas yang lebih mendalam lagi. Keikhlasan yang
tanpa batas yakni ikhlas dalam segala hal dan dalam segala perbuatan suatu
ikhlas yang menjadi ekspresi tauhid, yakni ikhlas sebagai pemurnian hati dari
segala syirik, dari syirik besar hingga syirik yang sekecil-kecilnya.
Ikhlas hakikatnya
adalah segala sesuatu yang bisa tercemari, jika bersih dan murni dari hal yang
mencemari maka disebut murni (Khalis). Perbuatan membersihkan dan memurnikan
ini yang dinamakan ikhlas (halaman 47).
Buku ini layak
dibaca dan diamalkan, pembaca akan diajak berguru ikhlas kepada ahlinya dan
menawarkan pembacanya sebuah ilmu rahasia, ilmu rahasia yang menjadi kunci
meraih kebahagiaan hakiki. Ilmu rahasia yang selalu disebut-sebut orang namun
sebenarnya tak banyak orang mengetahui hakikatnya.
Dalam buku ini akan
terasa tengah berguru. Berguru untuk mengais ilmu ikhlas ke para empu dengan
menelusuri kitab-kitab syekh al Muhasabi, Syekh Imam al-Ghazali, Syekh Abdul
Qadir al-Jaylani, hingga Ibnu Taymiyah dan Ibnu Athaillah. Mereka mengajarkan
ilmu dan kearifan keikhlasan. Sehingga kita akan mengerti betapa ajaran mereka
bak untaian tasbih, biji-bijinya sama dan sebangun namun sambung menyambung dan
saling mengisi dalam sebuah rangkaian, rangkaian yang baru bermanfaat bila
dititi satu persatu, dari pangkal hingga ke ujung, akhir hingga awal.
Semoga kehadiran
buku ini dapat kita jadikan langkah meraih kesuksesan baik dunia maupun
akhirat. Kesuksesan dunia karena kita hidup di dunia yang sejatinya semantara,
kesuksesan akhirat karena nantinya hidup selamanya atau disebut dengan
kehidupan yang hakiki.[*]
*) Peresensi adalah alumnus Pesantren Tebuireng Jombang
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar