Antara Dover dan Calais
Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dalam tempo enam tahun
pelabuhan ferry Dover di pantai berbukit batu itu mengalami kemajuan pesat.
Pada bulan Februari tahun 1987, sepekan sebelum tenggelamnya ferry di selat
Inggris yang menghebohkan dunia itu, aku juga menyeberang dari Dover. Sudah
malam, yang kutahu adalah bangunan berupa rumah minum dan penjual makanan. Bus
antar negara yang kutumpangi dari London menuju Amsterdam berhenti di pelataran
ini, kemudian dari pengeras suara kami dipanggil untuk naik ke dalam bus,
puluhan bus dan mobil ditelan tempat parkir ferry itu di lantai dasar.
Sekarang, bus langsung masuk ke pelataran luas, dan kami diminta turun melapor
ke bagian imigrasi, membawa dokumen yang diperlukan.
Sopir bus, lelaki setengah
baya itu banyak canda, sejak melaju dari Victoria Coach Station di London
lantaran bus itu hanya dilayani oleh satu orang: mau minum ya maju sendiri ke
dekat tempat duduk sopir dan melayani sendiri dari termos kopi, sementara kalau
mau beli kudapan, juga ambil sendiri dan meletakkan uang dan mengambil uang
kembaliannya. Begitu berhenti di dalam kapal, tepat di dekat pintu berlift ke
lantai yang di atas, sopir itu mengumumkan nomor pintunya agar nanti kami
kembali ke pintu itu.
"Jangan salah masuk
sebab tak akan sampai kembali ke bus. Dan kalau terlambat, aku
tinggalkan."
Apa kami memang akan
ditinggalkan atau dipanggil dulu melalui pengeras suara dengan menyebut nama
bus serta nomor pintunya? Hatiku tergetar juga mendengar pengumuman itu. Di
Gilimanuk, aku bebas naik dimana saja, dan ketika turun, aku takkan tersesat
sebab ferrynya kecil dan hanya berlantai dua: lantai untuk kendaraan dan lantai
untuk penumpang. Dengan puluhan bus dan mobil yang dapat diangkutnya saja, kami
sudah takjub. Ferry ini entah memuat berapa buah bus dan mobil. Lapangan parkir
seluas terminal bus tentu berisi puluhan bus dan mobil.
Aku mulai dengan lantai
sembilan, yang paling atas sekedar ingin tahu ada apa disitu, setelah mencatat
nomor pintunya. Aku dibawa ke lantai yang mirip hotel berbintang.
Dinding-dinding lorongnya tertutup kaca, dan di sepanjang dinding digantungkan
repro lukisan Vincent van Gogh, pelukis yang pada masa hidupnya sengsara dan
tidak bisa menikmati hasil penjualan lukisannya. Andaikata dia masih hidup dan
tahu bahwa lukisannya menjadi rebutan kolektor maha kaya dari Jepang, dan dia
memang mendapat uang dari penjualan lukisannya itu, pasti dia akan bolak balik
melancong ke Bali, tidak seperti Gaugin yang hidup di antara penduduk asli di
sebuah pulau di Lautan Pasifik. Sebelum sampai di sini aku tinggal di Aberdeen
dan menemukan buku repro lukisan Van Gogh yang dijual hanya 15 pound. Aku juga
membeli satu set repro lukisan Pablo Picassso seharga 30 pound. Berjalan
sepanjang lorong dengan dinding yang digantungi repro ukuran lebih besar dari
10R aku merasa berada di sebuah ruang pameran lukisan pelukis malang itu.
Puluhan tahun sebelumnya aku kagum menonton repro lukisannya di layar lebar
bioskup Rex di kota Malang saat diputar film, Lust for Life. Kirk Douglas
didandani seperti wajah van Gogh yang tercanmtum dalam karyanya yang berjudul
Potret Diri: lelaki brewok, kurus, mengenakan caping anyaman rumput. Dalam
posisi setengah profil. Tak jelas apakah dia merasa tertekan atau sekedar
tersenyum sinis. Film itu menampilkan alam yang dilukisnya, kemudian berselang
seling ditutup oleh lukisannya, mungkin dimaksudkan untuk membandingan
bagaimana pelukis itu menyerap alam. Starry Night yang terkenal itu
divisualisasi: kebun dengan pepohonan cypress, ladang dengan para pemungut sisa
panen kemudian disandingkan dengan lukisannya "The Gleaners."
Saat kuperhatikan
lukisan-lukisan itu sambil melewati Shower Room, lalu ruang khusus untuk yang
mau nonton TV, lalu restoran, toko-toko bebas cukai, tiba-tiba aku bertubrukan
dengan seorang, yang baru kusadari kalau dia perempuan saat aku mencium bau
parfumnya.
"Sorry," kataku,
dan kudengar juga dia mengucapkan ungkapan yang sama.
Aku ingin segera berlalu
sebab malu kalau dikira aku sengaja menubruknya karena ternyata perempuan itu
cantik dengan tubuh subur dan menawan.
"Hey, Mister!"
katanya. Aku pun merasa bersalah dan mengatakan:
"I'm sorry!"
"Kamu pasti
pelupa," katanya dengan akrab.
Aku berhenti dan
memperhatikannya. Tubuhnya dibalut jaket penahan angin sebab udara bulan Juli
cukup hangat.
"Lancaster!"
Aku mencoba mengingat semua
teman-temanku saat aku menempuh kuliah di Lancaster University, sebelas tahun
yang lalu. Caroline bukan, Susan Spencer bukan, Allison bukan. Siapa ya?
"Aku Susan
Brooke!" katanya.
Aku teringat seorang gadis
seksi dari tingkat satu saat aku mengambil gelar MAku, lantaran nama
belakangnya Brooke. "Oh,! Apa kabar, Susan? Bekerja dimana? Sedang
melancong?"
"Jadi kamu ingat,
ya."
"Ya, aku ingat saat
kamu mengundangku minum aku menolak, sebab aku ini bodoh. Kan aku sudah minum
kopi kenapa harus minum lagi? Ternyata kamu mengajakku minum di bar kampus
kan?"
"Itulah beda
budaya," sahutnya. "Sekarang kamu paham kan? Bagaimana kalau
kutraktir minum sekarang, kita bisa ngobrol."
Susan masih seperti dulu,
enerjetik, semangat studinya mengebu- dan kalau papernya bagus selalu berkabar
padaku, padahal kami hanya bertemu kadang-kadang di lorong Department of
Linguistics and Modern English Language. Dia sama bersemangatnya dengan Azizah,
mahasiswa tingkat satu dari Malaysia. Karena aku mahasiswa MA, dia menemuiku
untuk diskusi tentang Socio-linguistics. Roger Bell ahlinya, menjadi dosenku.
Melayani pertanyaan-pertanyaannya yang mendalam aku kelabakan. Dari situ aku
tahu, mahasiswa undergraduate memang digembleng keras untruk menguasai materi
secara mendalam, sedangkan aku hanya mengetahui banyak pada kulitnya.
Pernah aku hadir pada malam
amal yang diselenggrakan di Fylde College, tempat kami semua tinggal. Malam itu
diadakan acara minum-minum dan peserta dikenakan biaya yang jumlahnya aku lupa
dan mendapat kupon untuk minum bir tiga pint, gelas besar. Waktu itu aku pergi
bersama teman-teman selantai dari tingkat undergraduate, James daa Brian yang
gendut. Malam itulah aku bertemu Susan Brooke yang tinggal di blok khusus
mahasiswi, sementara blok yang kutinggali, terdiri dari tiga lantai, lantai
tengahnya ditempati mahasiswi.
Susan memang sosok seorang
bintang filrm yang kesasar menjadi mahasiswa. Kecantikannya memukau setiap
orang.. gagah, anggun dan segar serta sikap sebagaimana para Charlie's Angels.
Orang Inggris pasti berani bilang:
"Kau cantik
Susan."
Tetapi aku tak mampu
mengatakannya, hanya memandangnya dan tersenyum dan mengajaknya berbasa-basi.
Ketika tahu aku dari Bali,dia memintaku:
"Coba ceritakan
tentang rumahmu."
Aku kesulitan
menceritakannya, sebab aku harus bercerita bahwa aku punya tiga orang anak
laki-laki, masing-masing di kamarnya yang menurut standar Inggris dianggap tak
layak, kamar mereka sempit.. Aku meninggalkan istri yang walaupun usianya
menjelang empat puluh masih menempuh kuliah di Program Diploma agar bisa
diangkat sebagai guru. Anak sulungku berusia sepuluh tahun sedangkan si bungsu
berusia hampir empat tahun. Sebagai dosen, aku tidak punya mobil, dan semua
pekerjaan rumah kami kerjakan sendiri.
"Yah, rumah kecil
saja, aku tinggal di salah satu kamar."
"Orang tuamu?"
"Ayahku meninggal
bulan Mei lalu."
Dan di atas ferry yang
membawaku malam itu pertanyaan yang sama diajukan kepadaku. Bukan oleh Susan
yang belia, tetapi oleh seorang perempuan dewasa, matanya agak cekung, ada yang
tersembunyi disitu. Diminumnya bir dari gelasnya beberapa teguk. Di Lancaster
kupon birku kuberikan padanya dan selembar pada Brian, dan mungkin karena itu
beberapa pekan kemudian dia menawariku minum.
"Jadi kamu sekarang
kerja dimana?"
"Kamu sendiri?"
tanyanya balik.
"Aku masih mengajar di
kampusku yang lama, tak ada perubahan. Maklumlah pegawai negeri."
"Kau beruntung bisa
berkelana sejauh ini,"
"Atas kebaikan The
British Council. Kalau tidak, aku tak mampu."
"Ya, setelah kamu
lulus, aku lulus pula mendapat gelar BA, melanjuitkan ke tingkat Master, dan
nekat melanjutkan ke tingkat doktoral."
"Jadi, kamu yang
menulis buku Women and Language itu? Dr. Susan Brooke?."
"Tak banyak Susan
Brooke, tak seperti pengarang Thinking and Language, Judith Greene yang punya
kembaran di Columbus tetapi bukan penulis buku, hanya ahli istilah-istilah
pendidikan."
"Dan kamu pasti
menjadi istri yang berbahagia,"
"Ah, " Susan
mendesah, bibirnya dilekatkan pada bibir gelas birnya.
"Setelah menikah
dengan Paul, kukira aku bahagia tetapi dia kembali ke pacarnya yang teman
kuliahmu itu."
"Maksudmu, Paul dan
Laura," aku menyebut pasangan teman kuliahku yang selalu nampak mesra.
Saat tas Laura terbuka, kulihat banyak pil putih dalam blister. Aku tahu pil
apa itu, pengaman hubungan mereka berdua. Tetapi tak pernah kudengar Paul tak
bersetia pada Laura. Sebelum aku pulang, Laura bahkan singgah lama mengobrol di
tempatku. Bukan kamarku, tetapi tempat Foo yang pulang hendak memboyong
istrinya dari Kucing. Laura tak pernah bercerita, dan di tempat Foo yang punya
kamar tamu selain kamar tidur itu, kami juga hanya mengobrol, bahkan ketika
berpisah aku juga tak menciumnya di pipi. Kukira Laura sangat setia, jadi
Paullah biangnya.
"This is a small
world." Di atas ferry yang terapung antara dua negeri ini, aku
dipertemukan dengan Laura, sukses dalam karir, tidak dalam percintaan. Aku
kagum padanya, tak sungguh-sungguh ingin memeluk dan menciumnya waktu dia masih
menjadi mahasiswa. Aku ingat ketiga anakku yang bisa saja dikhianati oleh
pasangannya nanti bila aku menanam benih pengkhianatan saat itu. (*)
*
Singaraja 1-2 September 2008
Sumber:
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 6 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar