Antara Ayah dan Kakek
Cerpen Gerson Poyk
Pertengkaran antara ayahku
dan kakek berakhir pada keputusan kakek untuk pindah ke rumah kebun. Kakek tak
membawa apa-apa selain beberapa potong pakaian, kasur tipis, bantal dan
selimut. Ada juga beberapa piring kaleng, mangkuk besar untuk ditaruh sayuran
atau sup. Ada sebuah ceret untuk masak air dan sebuah penggorengan.
Dia tak membawa kompor
sehingga untuk masak dan sebagainya ia memakai kayu bakar yang banyak tersusun
di pinggir kebun. Disamping itu ada dua ekor anjing yang menemaninya. Tiap hari
ia masak sendiri untuk dirinya dan untuk dua ekor anjingnya.
Begitulah kehidupan yang
dipilih oleh kakek, seorang duda tua berusia delapan puluh ahun. Walaupun tua,
ia masih kuat mencangkul, menanam, menyiram tanaman seperti sawi, terong,
bayam, kangkung, singkong, kedelai dan sebagainya. Dikeliling kebunnya seluas
satu acre (4000 meter lebih), ada beberapa pohon kelapa dan deretan pohon
pisang beberapa jenis sepertu pisang batu, pisang tanduk botol dan tanduk
panjang. Juga ada empat pohon nangka, empat pohon duren dan empat pohon jambu
serta empat pohon rambutan.
Ada juga dua pohon pete
yang tinggi dan berbuah lebat. Disamping itu ada dua empang yang penuh dengan
ikan. Kakek yang semula adalah petani sejati di kampungnya, mendapat dari hasil
kebunnya itu sehingga ia bisa membeli sebuah sepeda tua buatan luar negeri dari
seorang janda petani dan penjual sayur keliling dengan sepeda itu.
Pertengkaran terjadi karena
ia tak setuju dengan pilihan ayahku. Setelah ibuku meninggal karena sakit
jantung, ayahku jadi duda beberapa lama, kemudian pada suatu hari ayah membawa
seorang janda ke rumah kami untuk diperkenalkan kepada kakek.
Setelah wanita itu pergi
kakek mengamuk.
"Banyak gadis di sekitarmu
tetapi kamu memlih janda yang mengaku beranak dua. Dari raut mukanya yang sudah
mulai mengerut, saya yakin anaknya empat atau lima. Pakai otaklah, anakku
lelaki seorang," kata kakek dengan suara keras.
Walaupun demikian ayah
tidak menggubris nasehat kakek. Pertengkaran terjadi setiap minggu dan terakhir
kakek pun mengambil keputusan pindah ke kebun dan hidup sendiri dengan dua ekor
anjing dan beberapa ekor ayam.
Sudah cukup lama kakek
menduda sehingga hidup sendiri tidak menjadi soal. Karena hidupnya sebagai
petani yang bekerja keras maka anak satu-satunya menjadi sarjana, yaitu ayahku.
* * *
Sering kalau libur kuliah
aku ke kebun, tidur bersama kakek, masak untuk kakek, menyapu rumah kebun,
menyuci pakaian kakek dan sebagainya. Karena banyak jambu dan rambutan,
teman-teman mahasiswa senang berkunjung ke kebun kakek. Teman-teman tampaknya
begitu sayang kepada kakek sehingga mereka menggoreng pisang, membuat kolak,
masak nasi, menggoreng ikan dan sebagainya. Tampaknya seperti camping saja.
Dengan demikian maka kakek mendapat hiburan gratis di hari tuanya.
Setelah sawi, kangkung,
bayam dan terong dan kacang panjang dipanen, kakek kakek membawanya ke pasar
malam-malam untuk dijual. Di bagasi belakang ada dua keranjang bambu
masing-masing di kiri dan kanan dan semua barang jualan kakek penuh di kedua
keranjang itu. Malam-malam kakek menggenjot sepeda tuanya yang kuat itu dengan
tenaga yang kuat pula menuju pasar tradisional. Pulang pagi kakek membawa uang
segepok dan sudah tentu aku, cucunya seorang mendapat sedikit bagian. Cerita
kakek sangat mencengangkan. Di masa mudanya lampu jalanan byar pet, mati hidup.
Jalan dari kebunnya gelap gulita tetapi kakek dan teman-teman petani sayuran
tidak kehilangan akal.
Di bagasi belakang dipasang
obor di kiri dan kanan agar tidak ditabrak kendaraan pagi yang ngebut.
Pemandangan sangat indah kalau lima puluh lebih petani sayur dengan sepeda
berobor dua meluncur ke pasar tradisional kota.
"Kami, semua petani
sayuran sangat hemat. Begitu dapat uang kami bukan membeli rokok pabrik tetapi
tembakau dan daun kawung. Rokok macam itu tampaknya kecil seperti mengisap
sepotong lidi enau tetapi enak," kata kakek. "Ada juga teman petani
yang isap rokok menyan tetapi saya tak suka," sambung kakek.
Seorang teman mahasiswa
jurusan ekonomi suka bertanya kepada kakek mengenai usaha tanam menanam yang
berhasil sehingga bisa kuliahkan anak sampai menjadi sarjana.
Kakek bercerita bahwa di
masa kecilnya ia hanya tamat sekolah Angka Loro. Tapi sekolah itu sangat
prestisius. Bila tamat sekolah itu orang sudah bisa jadi jurutulis di kantor
pemerintah Belanda. Bahkan bisa menjadi kasir karena Sekolah Angka Loro member
pelajaran berhitung. Kepala murid bisa seperti computer atau mensin hitung,
seperti kalkulator zaman sekarang, di kantor pemerintah orang bisa jadi
jurutulis, klerk, commies, bahkan commies kepala. Di bidang Pekerjaan Umum
tamatan Angka Loro ketika itu bisa jadi opseter Pekerjaan Umum, opseter
Kehutanan, opseter Pertanian dan sebagainya. Pembangunan bagitu maju karena
semua jujur.
Zaman itu disebut zaman
normal. Dengn uang sepeser atau setengah sen bisa beli satu roti. Dengan satu
sen da pat dua roti. Dengan satu benggol (dua setengan sen)dapat lima roti.
Dengan satu kelip (lima sen) dapat sepuluh roti. Dengan satu ketip dapat dua ouluh
roti. Makan satu roti saja sudah kenyang. Coba piker. Itulah zaman normal.
Itulah cerita kakek.
* * *
"Petani zaman itu
banyak yang buta huruf," kata temanku mahasiswa fakultas ekonomi.
"Kakek bisa saja jadi amtenar bukan? Mengapa tetap jadi petani? Turun
derajat dong!"
"O, tidak. Begitu
tamat sekolah Angka Loro kakek jadi tukang kebon pada Kontrolir Balanda, bupati
zaman sekarang. Orangnya begitu baik. Tiap hari Sabtu ia kumpul karyawan di
rumahnya untuk ngobrol, ceramah dan tanya jawab. Kami bisa bertanya apa saja
dan dia dengan sabar menjawab."
Dia menjelaskan bahwa kaki
orang Indonesia berada di tanah subur dan laut kaya tetapi kepalanya ada di
padang pasir.
"Setiap orang Belanda
hanya punya tanah satu acre yakni empat ribu meter dan empat ribu meter itu
bisa member makan empat orang. Empat ribu meter tanah di Amerika hanya memberi
makan dua orang, tetapi di Jepang, betul-betul gila. Punya tanah empat ribu
meter di Jepang bisa memberi makan empat ratus orang. Orang Indonesia punya
tanah ulayat yang luas tetapi banyak yang lari ke kota, bersesakan di pemukiman
kumuh. Kaki orang Indonesia ada di atas tanah nan subur dan air laut yang kaya
tetapi kepalanya di padang pasir. Ini kuwalat namanya. Makanya gampang di
jajah."
"Mengapa kuwalat, Tuan
Kontrolir?"
"Waktu dalam
kandungan, bayi sudah mulai berlatih nyangkul. Di bergerak-gerak. Waktu keluar
dari rahim ibunya , ia bukannya ketawa atau berteriak Merdeka! Akan tetapi
menagis. Begitu diberi asi, ia diam, bertumbuh, sehat dan begitu dia jadi anak
manis ibu memberi makan di piring bersih.
Begitu sang ibu jadi tua
dan pergi negeri akherat ia memberi pesan bahwa anak-anak di serahkan ke
haribaan Ibu Pertiwi, bumi subur, piring makan raksasa. Akan tetapi banyak
orang meninggalkan Ibu Pertiwi. Ini kuwalat namanya," kata tuan kontrolir.
"Oo begitu." Kata
seorang karyawan. "Oleh karena itu kakek memutuskan jadi petani sampai
sekarang.Yang paling kuwalat adalah para sarjana kita. Lima tahun kuliah untuk
jadi sarjana berutang budi pada petani karena selama lima tahun kuliah
petanilah yang mengongkosinya dengan 3 50 tahun kerja petani. Mestinya di
negeri kita ini sarjana harus ke desa, bekerja sampai 350 tahun untuk membayar
utang pada petani. Jangan bersesakan di kota-kota." kata kakek.
Seorang teman mahasiswi
muncul dari dapur dan kamar makan, bersuara keras, "Breadfruit kukus sudah
tersedia, ikan panggang dan sambal Inul Cili-cili sudah tersedia. Mari makan
rame-rame hamburger breadfruit!"
Kakek mengambil tongkatnya
dan mengajak kami makan bersama di tengah kebun di negeri kepulauan subur dan
permai. (*)
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu 1 Oktober 2011
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar