Ananda yang Terhormat
Cerpen Sori Siregar
Sumiran tidak memberitahu
kedatangannya. Karena itu, Aisah yang membuka pintu terperanjat ketika melihat
anaknya berdiri di depannya. Ia segera memeluk Sumiran yang begitu lama tidak
menjenguknya.
"Lagi reses, Bu,
sekalian mau bertemu konstituen," Sumiran memulai pembicaraan. Aisah yang
tidak memahami kata-kata anaknya hanya mengangguk. Ia tidak mengerti arti kata
reses dan konstituen. "Kamu kelihatan kurus".
"Belakangan memang
agak repot. Komisi sangat sering rapat kerja dan aku sendiri ditunjuk pula
menjadi anggota panitia khusus," ujar Sumiran sambil duduk di kursi ruang
tamu. Aisah duduk di depannya.
Ia yang masih tidak
memahami kata-kata anaknya kembali mengangguk. Baginya, semua yang disebut
Sumiran berkaitan dengan tugasnya itu tidak penting. Yang penting anaknya telah
mendapat pekerjaan setelah tujuh tahun "setengah menganggur".
Sumiran tidak sepenuhnya
menganggur karena ia masih memiliki pekerjaan walaupun tidak tetap , yaitu
memberikan les privat kepada murid-murid SMP mengikuti jejak ayahnya. Pekerjaan
seperti ini ternyata tidak dapat diandalkan, karena jumlah murid yang
membutuhkan les privat semakin berkurang dari waktu ke waktu. Setelah itu
Sumiran lebih banyak memiliki waktu luang. Waktu luang inilah yang digunakannya
untuk berbagai aktivitas lain.
Padahal anak Aisah
satu-satunya ini menyandang gelar sarjana S1 komunikasi. Suami Aisah hanya
seorang guru SMP. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga di samping membiayai
kuliah anak satu-satunya itu ia memberikan les privat dari rumah ke rumah
setelah mengajar. Dulu yang membutuhkan les itu banyak. Sejak suaminya
meninggal karena sakit paru-paru dan Sumiran bertugas di Jakarta Aisah hanya
ditemani seorang pembantu menghuni rumah sederhana dengan dua kamar tidur itu.
Dengan waktu luangnya yang cukup banyak itu Aisah sering memberikan jasanya
membantu tetangganya, Ibu Ibrahim, yang menerima jahitan pakaian wanita. Dari
Ibu Ibrahim mengetahui bahwa semua orang yang menjadi wakil warga seperti
anaknya mendapat sebutan "yang terhormat". Menurut Ibu Ibrahim mereka
juga tidak dapat dihukum walaupun mengatakan apa saja, asal itu dilakukan di
lingkungan kerja mereka.
Dengan bangga Aisah menatap
putranya yang mengenakan dasi berwarna cokelat bergaris-garis itu. Walaupun
lebih kurus Sumiran tampak lebih gagah. Aisah sangat menyayangi putra
satu-satunya ini. Di matanya, Sumiran anak yang sangat pandai bergaul dan
rajin. Sebelum mendapat pekerjaan di Jakarta, Sumiran aktif di sebuah
organisasi pemuda dan sering terlibat dalam berbagai kerja sosial. Ini yang
membuatnya memiliki banyak teman dan namanya dikenal hingga ibu kota Kabupaten.
Wajar jika Aisah merasa
beruntung ketika Sumiran dapat pekerjaan sebagai wakil penduduk daerahnya yang
mengharuskannya tinggal di Jakarta. Sumiran mendapat pekerjaan karena ia
dipilih warga lingkungannya sebagai wakil mereka. Peranannya dalam organisasi
pemuda dan aktivitasnya dalam berbagai kerja sosial mungkin merupakan faktor
utama terpilihnya Sumiran sebagai wakil warga kecamatan dan kota tempat
tinggalnya.
Seandainya Sumiran tidak
terpilih sebagai wakil rakyat, wakil masyarakat, wakil warga atau wakil
penduduk tetapi tetap mendapat pekerjaan, Aisah tetap merasa bersyukur. Apalagi
saat ini, karena anak yang sangat disayanginya ini mendapat sebutan tambahan di
belakang statusnya sebagai wakil warga ... "yang terhormat". sebutan
yang tidak pernah dimiliki ayahnya yang guru SMP itu. Tatapan Aisah tak
beranjak dari wajah Sumiran yang menyandar ke kursi dengan mata tertutup.
Mungkin ia terlalu lelah di perjalanan.
"Uang yang kamu kirim
setiap bulan ibu simpan setelah sebagian ibu gunakan untuk belanja sehari-hari.
Kalau sudah banyak nanti, ibu ingin memperbaiki dinding rumah yang mulai lapuk
dan lantai kamar mandi yang rusak. Kamu 'kan masih lama bekerja di kantormu
ini?".
Dialog ini berlangsung
setelah ibu dan anak itu selesai makan malam keesokan harinya.
Sumiran menatap ibunya.
Keluguan ibunya mengejutkannya. Saat itu Sumiran baru menyadari bahwa di rumah
itu tidak ada surat kabar atau majalah apalagi buku, kecuali buku-buku
pelajaran sekolah milik almarhum ayahnya. Yang ada hanyalah televisi 14 inci
yang setiap hari dihidupkan ibunya hanya untuk melihat acara gosip dan
banyolan.
Kalaupun bahan-bahan bacaan
terdapat di rumah itu, ibunya bukanlah orang yang gemar membaca. Dapat
dimaklumi mengapa ibunya hampir-hampir tidak tahu apa yang dilakukan anaknya di
kantornya di Jakarta itu.
"Usahakanlah agar kamu
betah di sana, kalau bisa sampai pensiun. Walaupun sedikit uang pensiun itu
sangat membantu di hari tua nanti".
Sumiran ingin menjelaskan
kepada ibunya, apa sebenarnya yang dilakukannya di Jakarta. Tetapi, ia khawatir
penjelasannya itu akan sia-sia karena ibunya tidak akan semudah itu untuk
mengerti. Ia pasti akan bingung jika Sumiran berbicara tentang demokrasi,
parlemen, hukum, oposisi, komisi, panitia kerja, panitia khusus, ad hoc dan
sebagainya. Namun, ia tidak ingin ibunya terus menerus lugu seperti itu.
"Aku bukan karyawan
kantor, Bu. Ibu 'kan tahu aku bertugas di tempatku bekerja sekarang ini karena
aku dipilih oleh penduduk di sekitar tempat kita ini hingga ke ibukota
Kabupaten untuk mewakili mereka. Kira-kira hampir sama dengan ayah dan dua guru
lainnya yang sering mewakili guru SMP di kota ini untuk menghadiri rapat di ibu
kota Kabupaten".
"Kira-kira seperti
itu, ya?"
"Ya, kira-kira seperti
itu,".
"Tapi ayahmu tidak
harus tinggal di ibu kota Kabupaten,"
"Waktu yang dibutuhkan
dari rumah kita ini ke ibu kota Kabupaten hanya satu jam dengan naik bus. Lalu,
rapat guru di sana itu dilakukan hanya beberapa bulan sekali. Di Dewan
Perwakilan tempatku bekerja kami rapat kerja hampir setiap hari, tidak jarang
hingga larut malam dan sangat melelahkan,Bu".
"Kata Ibu Ibrahim kamu
bekerja di sana lima tahun. Kenapa begitu? Apa tidak dapat diperpanjang? Kalau
perlu dikontrakpun jadi, yang penting kamu mempunyai pekerjaan dan
pemasukan,"
Sumiran diam. Lama. Karena
melihat anaknya berpikir Aisah mengangkat piring, sendok dan gelas kotor ke
dapur. Nasi dan gulai yang tersisa juga dibawanya ke dapur. Sumiran mendengar
percikan air ketika ibunya cuci piring di dapur. Saat itu Sumiran merasakan
betapa jauh jarak antara ia dan ibunya. Ia merasa dirinya bergulat dengan
kesibukan untuk kemaslahatan warga yang memilihnya, juga seluruh rakyat negeri
ini.
Di pihak lain ibunya tidak
mengetahui apa yang dilakukan dan diperjuangkan anaknya. Terpilih sebagai wakil
rakyat, wakil warga, wakil masyarakat atau apa pun namanya, bagi Sumiran
merupakan keberuntungan luar biasa. Ia merasa dirinya dipercaya warga sekitar
hanya karena aktivitasnya di sebuah organisasi pemuda dan karena kerja-kerja
sosial yang dilakukannya seperti turut serta membangun mesjid, memperbaiki
jalan raya yang rusak, berkampanye tentang bahaya obat-obat terlarang, membantu
memelihara kebersihan lingkungan dan kerja-kerja sosial lainnya.
Selain itu, Sumiran juga
tidak melupakan peranan ayahnya sebagai guru SMP yang baik, berdisiplin tinggi
yang de-ngan setia melaksanakan tugasnya hingga pensiun. Ayahnya juga sangat
baik menjalin hubungan sosial dengan orang lain, sifat yang diturunkannya
kepada Sumiran. Faktor-faktor inilah sebenarnya yang mengantarkan Sumiran
kepada posisinya sekarang.
Semua ini tidak pernah jadi
perhatian ibunya. Yang melekat di benak ibunya Sumiran telah memperoleh
pekerjaan setelah tujuh tahun "setengah menganggur" dan berlindung di
bawah ketiak ibunya. Pekerjaan, sekali lagi pekerjaan, itulah yang menghantui
ibunya selama ini. Pengalaman Sumiran tujuh tahun "setengah
menganggur" ternyata tertanam kukuh dalam benak ibunya.
* * *
Sumiran
telah bertemu dengan banyak orang yang disebutnya konstituen itu selama
kepulangannya. Sudah saatnya ia kembali ke Jakarta.
"Sudah saatnya kamu
beristri, Ran,", ujar ibunya, ketika anak dan ibu itu duduk di ruang tamu.
"Ibu punya calon?"
"Kalau itu bisa
dicari. Yang penting kamu setuju,"
Sumiran tertawa. Ia menatap
ibunya yang kelihatan sungguh-sungguh."
Ibu 'kan tahu, aku telah
tiga kali gagal menemukan pasangan. Bagiku semuanya sesuai, tetapi semuanya
meninggalkanku"
"Waktu itu 'kan kamu
belum mempunyai pekerjaan tetap. Siapa yang mau menyerahkan anaknya kepada
orang yang pendapatannya tak jelas".
"Sekarang?"
"Sekarang tentu lain.
Apalagi kamu tinggal di Jakarta. Semua orang ingin tinggal di sana. Gajimu
besar, rumahmu mewah, mobilmu mahal. Dengan jaminan hidup seperti itu banyak
yang mau menjadi istrimu,".
"Ibu tidak mau ke
Jakarta?"
"Ah, ibu tidak ingin
pindah dari kota ini. Ayahmu, ibu dan kamu lahir di sini. Berat rasanya
meninggalkan kota ini." "Kalau jalan-jalan?"
"Nantilah setelah kamu
punya istri. Biar ibu yang akan mengantarkan kalian ke Jakarta".
Kata-kata ibunya itu
membuat Sumiran terpaku. Sukar baginya untuk mengutarakan apa yang ingin
disampaikannya. Berat dan ia khawatir ibunya akan terpukul. Ia tahu ibunya
sangat menyayanginya dan siap berbuat apa saja untuk menyenangkan dirinya.
Tetapi, bisa saja ibunya meledak atau menjerit kecewa mendengar penjelasannya.
Sumiran tidak ingin itu terjadi. Ibunya adalah segala-galanya baginya.
"Bagaimana, Ran? Kamu
setuju?".
Sumiran tersentak dan
gugup. Ia secepat mungkin menenangkan dirinya.
"Begini saja, Bu.
Besok ibu ikut aku ke Jakarta. Ibu tidak usah mencari calon menantu ibu di kota
ini. Di Jakarta saja. Aku punya seorang teman istimewa.
Mungkin ibu menyukainya.
Jika benar aku siap melaksanakan perintah ibu, apa pun perintah itu"
Aisah membaca sesuatu di
wajah anaknya. Naluri keibuannya mengatakan Sumiran telah jauh melangkah. Ia
ditinggalkan dengan sengaja di belakang. Kota besar telah mengubah anaknya
begitu cepat. Mungkin bukan hanya itu, tapi juga kedudukannya "yang
terhormat" di mata masyarakat membuatnya menjadi "orang lain" di
mata ibunya. Namun, sebagai ibu ia merasa perlu membuang jauh-jauh luka di
hatinya dan meredam kemarahan serta kekecewaan yang merasuk ke semua urat
darahnya.
Aisah tidak ingin menyakiti
anaknya dengan penolakan. Baik penolakan untuk pergi ke Jakarta maupun
penolakan terhadap pilihan anaknya. Baginya, jalan terbaik adalah membahagiakan
anaknya. Ia merasa kebahagiaan anaknya adalah juga kebahagiannya.
"Ibu setuju?"
Aisah tersenyum. Sumiran
menyaksikan titik-titik air di mata ibunya.
"Ananda yang
terhormat, pertemukanlah kami, ibu dengan menantu ibu itu. Ibu yakin pilihanmu
adalah pilihan ibu juga".
Sumiran ingin memeluk
ibunya, meminta maaf, karena tidak memberitahu tentang pernikahan yang
dilangsungkannya beberapa hari sebelum ia pulang itu. Namun, keinginan itu
tidak dilakukannya. Ia hanya menunduk. Aisah menatap Sumiran menunggu jawaban.
Sumiran mencoba tersenyum.
Sebagai "orang yang terhormat" ia merasa senyum seperti itulah yang
harus diberikannya, untuk menjawab permintaan ibunya. "Ibu harus memahami
posisiku sekarang", ujarnya dengan bangga. Aisah tidak mendengar kata-kata
anaknya karena Sumiran meluncurkan kata-kata itu di dalam hatinya. (*)
18 Desember 2011
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 24 Desember 2011
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar