Almarhum Mas In
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Sebelum mati, ia lebih dulu
melampaui saat-saat kritis yang membuat cemas sekeluarga: biji matanya seakan
hendak menggapai ubun-ubunnya, bibirnya berkomat-kamit namun bukan menyebut
nama-nama Tuhan ataupun berdoa-entahlah apa yang ia ucapkan sebab tak satu kata
pun terdengar jelas.
Begitulah barangkali saat
malaikat sakratulmaut mencabut nyawa seperti itu. Sepertinya lewat ubun-ubun
dan tidak dengan pelan ataupun lembut. Layaknya mencabut sumbu kompor, dengan
sekali betotan. Pastilah ia menahan sakit tak terhingga. Hanya, ia sudah tak
bisa lagi menceritakan kepada keluarga, terutama istrinya yang setia
menemaninya saat-saat kritis empat jam lalu. Keluarganya pun-apalagi tak seorang
pun di dunia ini yang diberi mukjizat untuk mengetahui prosesi sakratulmaut-tak
bisa merasakan, kecuali menatapnya sedih.
Saat-saat kritis empat jam
lalu, seluruh keluarga sudah pasrah. Kalau memang sudah waktunya, silakan
ambil. Tetapi jangan membuatnya menderita di saat-saat meregang nyawa. Melepas
ruhnya kembali ke pangkuan Ilahi. Karena permohonan itu tak dikabulkan juga,
terbukti dari tarikan napasnya seperti sapi yang menunggu ajal setelah pedang
diangkat dari leher: dengkur si pengorok, seluruh keluarga yang mengelilinginya
mulai tidak karuan untuk mengungkapkan kesedihannya. Gelisah bercampur cemas.
Tangisan pun saling berpacu.
Istrinya menuntun suaminya
agar melafalkan syahadat. Kata tetua yang sudah turun-temurun, bila seseorang
mengalami kesulitan saat-saat sakratulmaut, sebaiknya jangan lengah menuntun
untuk mengucapkan syahadat. Jika bibirnya sudah benar-benar tak lagi bisa
bergerak, cukup dituntun: "Allah Allah".
Tetapi, si calon mati ini
tak lagi mampu mengucap itu. Hanya gemeretak giginya yang beradu, getar
bibirnya, biji matanya yang mendelik dan mengatup seperti hendak lepas memburu
ruh yang dicabut dari ubun-ubunnya. Napasnya seperti dengkur seorang pengorok.
Saat itulah seluruh keluarga bertangisan.
"Papa, aku ikhlas,
pergilah kalau memang sudah waktunya. Jangan tersiksa seperti ini, jangan buat
keluargamu cemas. Mama sayang, Mama sudah ikhlaskan Papa," ujar istrinya
dekat di telinga lelaki itu.
"Mama, kok," anak
sulungnya yang berusia 25 tahun protes. "Papa jangan tinggalkan kami."
"Mama keterlaluan,
Mama suka ya Papa mati," dukung anak keduanya.
"Kalian salah paham.
Maksud Mama..." Linda hendak menjelaskan, tapi si sulung sudah bicara.
"Mama memang suka
kalau Papa mati. Mama mau," anak sulungnya kembali berkata.
"Ah, kalian semua
keterlaluan. Mama sangat mencintai papamu. Tapi, kalian lihat sendiri, sudah
empat jam yang lalu papamu kritis seperti ini. Dia."
"Tapi, Ma, soal mati
urusan Tuhan. Bukan Mama. Sudah, jangan susahin Papa lagi. Papa sudah cukup
susah dalam hidupnya. Mama yang nyusahin." Anak ketiga, keluarga itu
menyebutnya "Si Bungsu" yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.
Perdebatan hampir
meruncing. Salah satu keluarga, adik dari sang papa, segera melerai. Tak
seorang pun berani membantah jika Om Is sudah berkata. Suaranya yang
bariton-sedikit serak-intonasinya terjaga, dan penampilannya berwibawa:
"Tak ada satu pun yang boleh buka suara, kecuali menuntun papamu
mengucapkan kalimat-kalimat toyibah."
Lalu bibir mereka terkatup.
Hanya terdengar, seperti bisik, menuntun yang sedang menghadapi ajal itu dengan
"Allah Allah". Sementara keluarga lainnya mengaji surat Yaasin.
Om Is kembali merapatkan
mulutnya ke telinga kakaknya yang napasnya turun naik. "Mas In, kami sudah
ikhlas. Tak ada yang kekal di dunia ini. Semuanya akan dipanggil Tuhan. Mungkin
Mas harus dipanggil lebih dulu, ya aku dan keluargamu sudah sangat ihklas.
Ucapin, Mas, 'Allah Allah', ayo Mas."
Suara Om Is menggetarkan
daun telinga kakaknya. Layaknya telinga gajah sedang mengipas-ngipas. Bibirnya
terbuka. Suaranya bagai hewan yang digorok lehernya. Kecuali Om Is yang
mendengar kakaknya itu mengucap "Allah"-hanya sekali, sedangkan yang
lainnya tidak mendengar apa pun. Setelah itu bergeming. Tak lagi bergerak.
"Innalillahi wa inna
ilaihi rojiun," Om Is mendesis. Ia kemudian mengusapkan tangannya ke wajah
kakaknya, menutup mata jenazah Mas In.
* * *
LELAKI itu, kini sudah
terbujur kaku, hampir enam jam melewati masa kritis. Ia dilarikan ke rumah
sakit kemarin malam karena terjatuh di depan kamar mandi, tak sadar dan
layaknya orang mati suri. Tak ada yang tahu penyebabnya. Bahkan apa penyakit
yang dideritanya.
Jenazah lelaki tiga putra
itu kini sudah ditutupi kain panjang, sedangkan wajahnya tertutup selendang
hitam. Kain tipis penutup wajah itu berulang dibuka dan ditutup oleh pelayat
sekadar ingin melihat wajah almarhum. Sedangkan persis di dekat kepalanya ada
Alquran-ini hanya tradisi dan keyakinan turun-temurun agar jenazah tak diganggu
iblis maka didekatkan kitab suci dekat kepala jenazah atau dibacakan surat
Yaasin-yang tetap tertutup.
Om Is tidak setuju ada
Alquran atau pelayat yang melantunkan ayat-ayat Alquran. Si mati sudah tak akan
bisa ditolong lagi oleh kalam Tuhan. Ia sudah membawa pulang amal kebaikan dan
perbuatan ingkarnya. Itulah yang akan menimbang si mati. Tetapi, keinginan Om
Is tersebut ditentang banyak orang. Pelayat-terutama tetangga-malah menyalakan
setanggi, merangkai kembang tujuh warna dan memasukkan ke dalam beberapa botol
air. Dan, yang lainnya, menghidupkan tungku: memasak.
Sulit memang mengabaikan
tradisi yang sudah temurun itu dan galibnya bagian dari ritual agama. Om Is tak
bisa bebruat banyak. Ia lupakan kesibukan di rumah orang yang sedang terkena
musibah. Ia tak pernah jauh dari jenazah kakaknya. Sebentar lagi akan dimandikan,
lalu dikafankan. Mungkin dua jam kemudian, si mati akan dimakamkan. Tujuh
langkah pelayat terakhir meninggalkan pemakaman, malaikat penanya di kubur akan
bertanya. Saat itulah si mati tak akan bisa, berbohong, ataupun beralibi.
"Siapa Tuhanmu?"
Bisa dibayangkan sekiranya kita sewaktu di dunia tak pernah mengenal Tuhan,
akan dijawab apa pertanyaan malaikat di kubur itu? Tidak mungkin kita akan
menjawab, misalnya, "jabatan", "harta", atau apa pun yang
pernah kita per-tuhan-kan.
Itulah masalahnya yang dikhawatirkan
Om Is-barangkali juga ketiga putra almarhum-tentang kakaknya yang kini terbujur
kaku, hanya ditutup dua lembar kain panjang dan selendang berwarna hitam
menutupi wajahnya. Ia tahu benar bagaimana perngai dan sifat kakaknya semasa
hidup. Soal kikir, seluruh keluarga tahu. Sifat itu sejak kecil sudah
disandangnya.
Setiap peminjam uang
padanya, begitu melunasi haruslah membayar lebih. Almarhum selalu berdalih,
kelebihan uang itu sebagai tanda balas budi. "Soal kelebihan pengembalian
ini bukan bunga. Saya bukan rentenir. Tetapi, apa saya salah minta persenan
karena saya sudah membantu?" katanya suatu kesempatan.
Ia lalu mencontohkan, di
Pegawaian pun jika kita meminjam uang dengan menggadaikan barang ada kelebihan
uang saat melunasi. Walaupun tempat menggadai barang itu bermoto
"Menyelesaikan masalah tanpa masalah". Siapa bilang tanpa masalah?
"Jadi, tak salah dong kalau saya juga minta kelebihan uang
pelunasan?"
Nasihat keluarga soal cara
itu tidak dibenarkan agama sebab itu sama artinya membungakan uang, ia tepat
bergeming. Akhirnya tak seorang keluaga pun yang mau mengulangi. Apalagi ia
didukung istrinya. Jadilah ia berbuat sesukanya. Dan, memang sukses, rumahnya
mewah: garasinya terparkir dua mobil. Ketiga anaknya kuliah di Jakarta dan
Jogjakarta.
Kesibukannya makin banyak
di luar rumah. Istrinya ikut mengimbangi. Keduanya jarang bertemu dan
mengobrol. Sebab saat ia pulang istrinya sedang di luar, begitu sebaliknya
Kehidupan keluarga itu memang sangat aneh. Meksi begitu, tak pernah suami istri
itu bertikai apalagi sampai chaos-misalnya-bercerai.
Istrinya tahu kalau
suaminya suka bersenang-senang dengan para perempuan di tempat hiburan.
Suaminya juga bukan buta kalau istrinya kerap dibawa lelaki lain, bahkan kadang
anak muda ke luar kota. Sepertinya mereka menganut faham: terpenting tidak
saling mengganggu dan rumah tangga tidak moyak.
Dan, keluarga besar pun
akhirnya masabodoh. Tak acuh. Om Is pernah mencoba masuk ke masalah keluarga
mereka, namun kakaknya menampik. "Uruslah rumah tanggamu saja. Tak ada
masalah kok di keluargaku," kata si almarhum waktu itu.
Om Is tak jera. Ia berujar,
"Mas In boleh saja mengatakan tak ada masalah. Tetapi, saya sebagai adik
mas In, merasakan bahwa rumah tangga mas ada masalah. Mau apa rumah tangga ini,
kalau suami istri tak pernah satu rumah. Masing-masing sibuk di luar rumah
dengan urusan masing-masing. Memangnya saya tidak tahu apa yang dilakukan
Mbakyu Dewi? Apa saya buta apa yang dikerjakan mas In di luar sana?
Bersenang-senang kan? Berfoya-foya kan? Membungakan uang kan?"
Om Is kemudian dihardik. Ia
pun melenggang dari rumah mewah kakaknya itu. Sejak itu dia tak lagi
menginjakkan kaki ke rumah kakaknya, kecuali hendak menguburkan ini. Semula ia
juga berat menjenguk di rumah sakit, sekiranya istrinya tidak memaksanya.
"Mas In sudah kritis.
Tak baik mendendam. Kalau ada apa-apa kelak pada mas In, kau menyesal
selamanya. Memaafkan itu lebih baik dan mulia, ketimbang melukai hati orang
lain. Ayolah mas, aku temani,"
Di rumah sakit, ia
memaafkan kesalahan mas In. Ia juga meminta maaf dan minta diikhlaskan
sekiranya pernah melukai hati kakaknya. Om Is juga menyuruh mbakyu Dewi dan
anak-anaknya agar mengikhlaskan jika ada perlakukan mas Is yang telah melukai
hati mereka.
"Mungkin ini saat
terakhir kita saling memaafkan," ujar Om Is pelan.
* * *
Ya! Itulah saat paling
akhir untuk saling mengikhlaskan. Mereka pun bertangisan. Ratap mengharu-biru.
Terutama ketiga putra mas In, tak pernah lepas saling berpelukan. Pakaian
mereka basah oleh airmata. Mbakyu Dewi, meski sesenggukan, tetap tak
melunturkan eyeshadow, garisan pensil di alismata, pupur, dan lipstik. Ia masih
kelihatan cantik.
Berpakaian dan penutup
rambut berwarna hitam serta berkacamata yang juga sama warnanya, Mbakyu Dewi
ikut mengantar suaminya ke peristirahatan terakhir. Ia berjkongkok di sisi kiri
liang, tak henti menabur kembang setiap tanah dijatuhkan ke lubang.
Mbakyu Dewi seperti ingin
mengatakan kepada semua pelayat: "Lihatlah, ini buktinya, kalau aku
mencintai mas In-suamiku. Aku rela berpanas-panasan di pemakaman
ini."Ketiga putra almarhum berulang melirik ke ibunya, lalu mencibir.
Mereka ingin sekali protes pada mamanya: "Bukan saatnya menunjukkan cinta
dan sayang di sini. Tetapi, mengapa bukan dulu ketika masih hidup
bersama?"
"Mama munafik!"
"Biar kami percaya
kalau mama mencintai papa? Papa sakit karena ulah mama. Papa habiskan waktunya
di tempat-tempat hiburan malam, sebab protes pada mama yang telah mendustai
cinta papa!"
Om Is seolah membaca apa
yang berkecamuk di hati mereka. Ia segera menyudahi sambutan atas nama keluarga
musibah dengan kalimat: "Jika ada utang-piutang di antara pelayat atau
yang lainnya, segeralah menyelesaikan kepada kami. Apabila di hati masih ada
yang mengganjal terhadap almarhum, mohon kiranya diikhlaskan. Sekiranya kita,
di sini, hadir hanya berpura-pura bersihkan segera hati dengan niat karena
sunah mengantar jenazah sampai ke pemakaman, dengan demikian kedatangan kita
akan dicatat jadi amal ibadah."
Tak seorang pun tak
terharu. Hujan pun tercipta dari setiap bola mata pelayat. Karena yang
ditinggal hanya memiliki kesedihan dan airmata. Ada pun si mati, setelah tujuh
langkah pelayat terakhir meninggalkan pemakaman, siapa bisa memastikan yang
berlangsung di dalam liang?
Hanya malaikat dan binatang
yang diberi kepercayaan oleh Tuhan dapat mendengar tawa, tangis, jerit
kesakitan si mati. Konon begitulah. Om Is, sekali lagi, menengok ke belakang,
ke kuburan mas In. Ia tak akan pernah bercerita kepada siapa pun, bahwa saat ia
meletakkan jenazah kakaknya seolah tanah tak menerima. Tiba-tiba liang itu
menyempit dan tubuh almarhum memanjang. Tanpa ada yang tahu, pelan-pelan ia
tekukkan kaki kakaknya hingga bisa masuk. Kemudian ia tahan dengan sebongkah
tanah berbentuk bola di belakang lutut dan tumit. (*)
@
Lampung, 5-6 Oktober 2008
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 3 Januari 2009
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar