Aku Tak Bisa Menari
Cerpen Mustafa Ismail
Kompleks itu seperti rumah
sakit, sangat luas. Koridornya panjang dan berbelok-belok. Sebagian besar
gedung di sana peninggalan Belanda. Ini kampus sebuah perguruan tinggi. Di
dalamnya, selain ruang-ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, tempat ibadah,
rumah dosen, juga ada asrama mahasiswa di bagian belakang.
Asrama mahasiswa
(laki-laki) berada di bagian kiri dan asrama mahasiswi (perempuan) di bagian
kanan. Gedung asrama bertingkat lima. Di tiap lantai, ada teras. Teras itu
seperti berhadap-hadapan antara teras asrama puteri dengan asrama putra. Setiap
sore, teras asrama putri paling ramai. Sedangkan asrama putra agak sepi.
Lima hari menumpang di
kamar Supi dan Jufridar di asrama itu, aku juga suka duduk di teras. Disana,
aku bisa menyaksikan matahari yang pelan-pelan ditelan bukit. Lalu, cahaya
merah membalut langit, yang kemudian diikuti suasana gelap. Aku baru beranjak
ketika adzan magrib menggema. Setelah shalat, aku keluar lagi dan duduk disana.
Malam itu, aku benar-benar
sendiri di teras. Supi dan Jufridar sedang makan di warung di depan kampus. Aku
tidak tertarik ikut dan hanya meminta dibawakan makanan. Penghuni asrama lain
sebagian keluar, sebagian lain di kamar masing-masing.
Asrama putri juga tampak
sepi. Tapi tak lama, seorang mahasiswi duduk di teras. Awalnya kupikir itu Ik,
mahasiswi yang kukenal tadi siang selepas seminar sastra yang diadakan Sanggar
X di kampus itu, dimana aku bersama seorang teman, Sulaiman, jadi pembicara.
Tapi ternyata itu bukan Ik.
Merasa kuperhatikan,
mahasiswi itu beranjak, masuk kamar. Aku melupakannya. Suasana senyap. Nyaris
tidak ada suara apa pun, kecuali suara angin yang berdesir. Aku memandang
bulan, awan hampir habis menutupnya. Hanya cahaya putih kecil yang susah payah
menguak gumpalan kehitam-hitaman. Langit yang mendung sejak sore memang
sebentar-sebentar membuat bulan tertutup awan.
Tak lama, perempuan itu
kembali muncul. Kali ini bersama seorang lelaki. Mereka duduk di teras,
berdampingan. Sekitar sepuluh menit mengobrol, mereka bangkit, berdiri, dan
berpegangan tangan, lalu menari seperti posisi dan gerakan dansa.
Aku mengernyitkan dahi:
mengapa laki-laki bisa masuk ke asrama putri? Padahal, di tangga tiap lantai
jelas tertulis larangan bagi putra/putri bertamu pada malam hari di asrama
lawan jenisnya. Jika siang pun, boleh bertamu sekitar 15 menit dan hanya di
teras atau ruang tamu yang ada di tiap lantai. Lalu kemana pengawas asrama yang
biasa duduk di dekat tangga lantai satu? Jangan-jangan, pengawas telah disuap
lelaki itu.
Wow, gerakan mereka makin
hebat, kadang tubuh mereka merapat, lain waktu saling lepas, seperti melayang
dan berputar-putar. Mereka seperti mengikuti sebuah irama musik, yang mungkin
saja mereka hidupkan dari dalam kamar. Gerakannya kadang lambat, kadang cepat.
Kali ini, gerakan mereka jadi pelan sekali. Tubuh mereka makin rapat. Wajah
mereka juga merapat. Mata mereka saling pandang...
Gila! Aku jadi malu sendiri
untuk melihat mereka. Maka kualihkan mataku ke bulan yang mulai terlihat jelas
dari sergapan awan. Wajahnya kembali terang memberi cahaya ke segala arah.
Angin bertiup pelan.
Ketika aku kembali melongok
ke teras itu, mereka sudah tidak ada. Mungkin sudah masuk kamar. Aku tidak
berani membayangkan apa yang sedang terjadi di kamar itu. Aku lalu mengalihkan
pandang ke jalan kecil menanjak yang memisahkan ujung koridor bangunan kampus
dengan asrama. Tidak seorang pun yang melintas di jalan yang panjang sekitar 20
meter itu.
"Lagi sendiri?"
Sebuah suara menyentakku dan membuatku kaget luar biasa. Suara yang asing. Aku
menoleh dan melihat seorang perempuan mendekatiku, lalu duduk di kursi di
sampingku. Ia menyorongkan tangan sambil menyebut namanya: Astuti.
"Panggil saja Tuti," katanya tanpa kuminta. Aku nyaris tidak percaya
pada apa yang kulihat. Perempuan inilah yang beberapa saat lalu menari bersama
seorang lelaki di teras asramanya. "Suka menari ya?" tanyaku setelah
kami mulai ngobrol ke sana-kemari.
Ia mengangguk. "Kamu
mau menari bersama aku?"
Aku menggeleng. "Aku
tak bisa menari."
"Aku ajarin..."
"Nggak usah."
"Ayolah..." Ia
meraih tanganku dan menariknya. Aku tidak kuasa menolak, lalu bangkit berdiri.
Ia memegang kedua ujung tanganku, lalu memintaku mengikuti dan menyesuaikan
dengan gerakannya.
Kami pun menari,
berputar-putar cepat, kadang lambat. Seperti ada sebuah alunan musik yang
mengiringi tarian kami. Kala tubuh kami merapat, kurasakan hawa dingin merasuk
ke tubuhku. Wajah kami ikut merapat. Ia memenjamkan mata. Tubuh kami berputar lambat.
Aku bisa merasakan dengan jelas hawa nafasnya yang wangi.
Beberapa menit kemudian,
seperti dikomando, kami saling melepas tangan, kembali duduk pada bangku
masing-masing.
Hanya beberapa menit, tapi
kurasakan tarian itu seperti sangat lama. Aku merasa capek sekali. Seperti
habis berjalan jauh. Kurasakan mukaku berkeringat. Seluruh tubuhku berkeringat.
"Kalau baru pertama memang capek," katanya. "Lama-lama, kalau
sudah biasa jadi asyik," ia melanjutkan.
"Iya..."
Sambil aku mengatur nafas,
ia bercerita tentang dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang kurang
beruntung. Di rumah, ia selalu kesepian dan merasa tidak nyaman. Di luar rumah,
ia selalu merasa disakiti laki-laki. Tak hanya laki-laki, temannya yang
perempuan juga kadang berkhianat, misalnya dengan merebut pacarnya.
"Aku pernah berpikir
mau bunuh diri..."
"Wah, itu bukan
penyelesaian yang baik," kataku.
"Kupikir juga
begitu."
Obrolan kami terputus, ia
pamit. "Mau kemana buru-buru?"
"Mau bunuh
diri..." ia berteriak kecil setelah menjauh beberapa langkah dariku. Ia
berjalan menuju ke arah tangga, belok kiri, lalu hilang di balik dinding asrama
itu.
Pertemuan yang aneh,
pikirku. Mungkin ia penasaran melihatku yang asing di matanya duduk sendiri di
teras asrama putra dan memperhatikannya berdansa. Ia lalu datang untuk tahu
siapa aku. Mungkin pula ia baru saja dari kamar pasangannya menari tadi. Tapi
mengapa ia bebas masuk ke asrama putra. Aha, pastilah ia telah memberi tips
kepada penjaga di dekat tangga lantai pertama.
Selanjutnya, wajah perempuan
itu tak henti mengisi ruang pikiranku. Ia hadir begitu nyata. Besok malam,
ketika aku duduk sendiri saat teman-teman lain makan di warung di depan kampus,
ia kembali datang. Begitu muncul, ia langsung duduk di kursi plastik di
sampingku. "Kamu suka melihat bulan?"
Aku mengangguk.
"Aku juga suka. Hanya
bulan satu-satunya yang membuat aku terus hidup."
"Mengapa begitu?"
"Iya, hanya bulan yang
bisa menghiburku. Yang lainnya justru menyakiti."
"Kamu benar-benar
pernah berpikir untuk bunuh diri?"
Ia mengangguk. "Apakah
kata-kataku kemarin malam terkesan berbohong?"
Aku tidak menjawab.
Sejenak, ia memandangku seperti menunggu kata-kata yang bakal meluncur dari
mulutku. Mata kami beradu. Kurasakan cahaya matanya redup, namun tatapannya
tajam.
"Aku bersyukur kamu
tidak sampai melakukan hal konyol itu," kataku kemudian.
Ia mengalihkan pandang ke
bulan yang seperti melayang-layang di atas awan tipis yang menutupnya. Awan itu
seperti sebuah tirai transparan. Matanya tampak tak berkedip. Cahaya lampu di
teras asrama itu memperlihatkan dengan jelas pipinya yang kemudian ditetesi air
mata. Ia terisak. Tapi, buru-buru ia mengusapnya.
"Maaf, kadang aku
terlalu sentimentil." "Tidak apa-apa."
"Aku teringat ibu.
Seandainya ibu masih ada, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."
"Maksudmu?"
"Ibuku meninggal bunuh
diri. Ia melompat dari lantai lima kantor ayah. Ibu tidak tahan terus disakiti
ayah. Ayah lebih bahagia bersama perempuan-perempuan lain di luar rumah dari
pada membahagiakan kami. Sejak itulah aku juga ingin bunuh diri."
Aku terhenyak mendengar
kata-katanya. Mulutku tidak tahu harus berucap apa. Yang terbayang di kepalaku
adalah peristiwa mengerikan: seorang gadis dengan leher tercekik dan tergantung
di loteng dengan lidah menjulur. Tak lama, bayangan lain muncul: seorang
perempuan muda telungkup di lantai setelah terjun dari gedung bertingkat.
Ah, betapa mengerikan.
Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada perempuan ini.
"Kamu mau menari lagi
bersamaku?" Matanya kembali memandangku. Sebuah senyum mengembang. Dan tanpa
sempat kujawab, jari-jarinya yang halus dan kurasakan sedingin es telah meraih
tanganku dan menariknya. Aku pun bangkit mengikuti keinginannya. Kami kembali
menari.
Gerakannya kali ini sangat
lambat. Kami hanya berputar-putar pelan. Tubuh kami hanya berjarak lima senti
meter. Saat sedang menari, kulihat beberapa tetes air mata mengalir di
wajahnya. Tiba-tiba, ia melepaskan rangkulannya. "Maaf, aku harus segera
kembali kamar," katanya, lalu melangkah ke arah tangga, dan hilang di
balik tembok. Aku terdiam lama, berdiri mematung memandang sisa-sisa
bayangannya.
Aku tak menduga
kehadirannya kali ini tidak seperti saat pertama kami bertemu. Kini, ia sama
sekali tidak memperlihatkan kegembiraan. Tiba-tiba, aku menjadi cemas.
Jangan-jangan ia mau bunuh diri.
Semalaman, aku terus
kepikiran pada perempuan itu. Paginya aku baru lega ketika tidak menemukan
kehebohan apa pun di kampus itu. Dengan kata lain, perempuan itu tidak bunuh
diri. Sebab, jika ada orang bunuh diri, jangankan kampus itu, seantero provinsi
pun akan heboh. Koran-koran akan memberitakannya.
Tapi pertemuan malam itu
adalah yang terakhir. Selanjutnya, ia tidak muncul lagi. Aku ingin bertanya
pada Supi atau Jufridar, tapi ada rasa enggan. Apalagi kegiatan aku di sana
padat. Hari ketiga disana, aku dan Sulaiman memberi workshop menulis puisi pada
anggota sanggar. Esoknya, ada kemah sastra di Pantai Ujong Blang.
Apalagi pada hari-hari itu,
Ik sering bersamaku.
"Kau diam saja,
teringat Ik ya "
Aku tersentak dengan
pertanyaan itu. Aku gelagapan menjawabnya. "Aku tidak sedang memikirkan
Ik," kataku. Aku tidak menjelaskan bahwa sore tadi, sepulang dari Ujong
Blang, aku dan Ik sempat bertemu di salah satu pojok kampus. Aku sekaligus
pamitan, karena malam ini mau pulang ke kotaku. Acaraku di kampus itu sudah
selesai.
Dan beberapa saat lalu, di
koridor kampus, ketika meninggalkan asrama itu, aku kembali bertemu Ik. Ia
mengucapkan salam perpisahan, sekaligus sebuah pesan yang tak terlupakan:
"Jangan pernah lupa salat ya," katanya. "Kemarin di pantai Ik lihat
abang nggak salat." Sederet kata-kata yang mengharukan.
* * *
Tiga belas tahun lewat.
Ketika Jufridar mengirim pesan singkat berisi nomor kontak Ik yang lama tidak
jelas di mana rimbanya, aku kembali teringat kampus itu. Tidak hanya teringat
Ik, juga teringat Supi, Sulaiman, serta seorang perempuan yang pandai menari.
Mereka telah berpencar ke mana-mana.
Ik tinggal di Jambi. Supi
jadi pengusaha kopi dan sedang sibuk menjadi calon anggota legislatif dari
sebuah partai. Sulaiman menjadi dosen seni di Padang Panjang. Tuti? Jawaban
Jufridar bikin aku terdiam lama: Tuti meninggal bunuh diri sekitar dua bulan
sebelum aku datang ke kampus itu. (*)
* Depok,
September-Oktober 2008
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 24 Januari 2009
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar