Sabtu, 06 April 2013

Aku Tak Bisa Menari


Aku Tak Bisa Menari
Cerpen Mustafa Ismail

Kompleks itu seperti rumah sakit, sangat luas. Koridornya panjang dan berbelok-belok. Sebagian besar gedung di sana peninggalan Belanda. Ini kampus sebuah perguruan tinggi. Di dalamnya, selain ruang-ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, tempat ibadah, rumah dosen, juga ada asrama mahasiswa di bagian belakang.
Asrama mahasiswa (laki-laki) berada di bagian kiri dan asrama mahasiswi (perempuan) di bagian kanan. Gedung asrama bertingkat lima. Di tiap lantai, ada teras. Teras itu seperti berhadap-hadapan antara teras asrama puteri dengan asrama putra. Setiap sore, teras asrama putri paling ramai. Sedangkan asrama putra agak sepi.
Lima hari menumpang di kamar Supi dan Jufridar di asrama itu, aku juga suka duduk di teras. Disana, aku bisa menyaksikan matahari yang pelan-pelan ditelan bukit. Lalu, cahaya merah membalut langit, yang kemudian diikuti suasana gelap. Aku baru beranjak ketika adzan magrib menggema. Setelah shalat, aku keluar lagi dan duduk disana.
Malam itu, aku benar-benar sendiri di teras. Supi dan Jufridar sedang makan di warung di depan kampus. Aku tidak tertarik ikut dan hanya meminta dibawakan makanan. Penghuni asrama lain sebagian keluar, sebagian lain di kamar masing-masing.
Asrama putri juga tampak sepi. Tapi tak lama, seorang mahasiswi duduk di teras. Awalnya kupikir itu Ik, mahasiswi yang kukenal tadi siang selepas seminar sastra yang diadakan Sanggar X di kampus itu, dimana aku bersama seorang teman, Sulaiman, jadi pembicara. Tapi ternyata itu bukan Ik.
Merasa kuperhatikan, mahasiswi itu beranjak, masuk kamar. Aku melupakannya. Suasana senyap. Nyaris tidak ada suara apa pun, kecuali suara angin yang berdesir. Aku memandang bulan, awan hampir habis menutupnya. Hanya cahaya putih kecil yang susah payah menguak gumpalan kehitam-hitaman. Langit yang mendung sejak sore memang sebentar-sebentar membuat bulan tertutup awan.
Tak lama, perempuan itu kembali muncul. Kali ini bersama seorang lelaki. Mereka duduk di teras, berdampingan. Sekitar sepuluh menit mengobrol, mereka bangkit, berdiri, dan berpegangan tangan, lalu menari seperti posisi dan gerakan dansa.
Aku mengernyitkan dahi: mengapa laki-laki bisa masuk ke asrama putri? Padahal, di tangga tiap lantai jelas tertulis larangan bagi putra/putri bertamu pada malam hari di asrama lawan jenisnya. Jika siang pun, boleh bertamu sekitar 15 menit dan hanya di teras atau ruang tamu yang ada di tiap lantai. Lalu kemana pengawas asrama yang biasa duduk di dekat tangga lantai satu? Jangan-jangan, pengawas telah disuap lelaki itu.
Wow, gerakan mereka makin hebat, kadang tubuh mereka merapat, lain waktu saling lepas, seperti melayang dan berputar-putar. Mereka seperti mengikuti sebuah irama musik, yang mungkin saja mereka hidupkan dari dalam kamar. Gerakannya kadang lambat, kadang cepat. Kali ini, gerakan mereka jadi pelan sekali. Tubuh mereka makin rapat. Wajah mereka juga merapat. Mata mereka saling pandang...
Gila! Aku jadi malu sendiri untuk melihat mereka. Maka kualihkan mataku ke bulan yang mulai terlihat jelas dari sergapan awan. Wajahnya kembali terang memberi cahaya ke segala arah. Angin bertiup pelan.
Ketika aku kembali melongok ke teras itu, mereka sudah tidak ada. Mungkin sudah masuk kamar. Aku tidak berani membayangkan apa yang sedang terjadi di kamar itu. Aku lalu mengalihkan pandang ke jalan kecil menanjak yang memisahkan ujung koridor bangunan kampus dengan asrama. Tidak seorang pun yang melintas di jalan yang panjang sekitar 20 meter itu.
"Lagi sendiri?" Sebuah suara menyentakku dan membuatku kaget luar biasa. Suara yang asing. Aku menoleh dan melihat seorang perempuan mendekatiku, lalu duduk di kursi di sampingku. Ia menyorongkan tangan sambil menyebut namanya: Astuti. "Panggil saja Tuti," katanya tanpa kuminta. Aku nyaris tidak percaya pada apa yang kulihat. Perempuan inilah yang beberapa saat lalu menari bersama seorang lelaki di teras asramanya. "Suka menari ya?" tanyaku setelah kami mulai ngobrol ke sana-kemari.
Ia mengangguk. "Kamu mau menari bersama aku?"
Aku menggeleng. "Aku tak bisa menari."
"Aku ajarin..."
"Nggak usah."
"Ayolah..." Ia meraih tanganku dan menariknya. Aku tidak kuasa menolak, lalu bangkit berdiri. Ia memegang kedua ujung tanganku, lalu memintaku mengikuti dan menyesuaikan dengan gerakannya.
Kami pun menari, berputar-putar cepat, kadang lambat. Seperti ada sebuah alunan musik yang mengiringi tarian kami. Kala tubuh kami merapat, kurasakan hawa dingin merasuk ke tubuhku. Wajah kami ikut merapat. Ia memenjamkan mata. Tubuh kami berputar lambat. Aku bisa merasakan dengan jelas hawa nafasnya yang wangi.
Beberapa menit kemudian, seperti dikomando, kami saling melepas tangan, kembali duduk pada bangku masing-masing.
Hanya beberapa menit, tapi kurasakan tarian itu seperti sangat lama. Aku merasa capek sekali. Seperti habis berjalan jauh. Kurasakan mukaku berkeringat. Seluruh tubuhku berkeringat. "Kalau baru pertama memang capek," katanya. "Lama-lama, kalau sudah biasa jadi asyik," ia melanjutkan.
"Iya..."
Sambil aku mengatur nafas, ia bercerita tentang dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang kurang beruntung. Di rumah, ia selalu kesepian dan merasa tidak nyaman. Di luar rumah, ia selalu merasa disakiti laki-laki. Tak hanya laki-laki, temannya yang perempuan juga kadang berkhianat, misalnya dengan merebut pacarnya.
"Aku pernah berpikir mau bunuh diri..."
"Wah, itu bukan penyelesaian yang baik," kataku.
"Kupikir juga begitu."
Obrolan kami terputus, ia pamit. "Mau kemana buru-buru?"
"Mau bunuh diri..." ia berteriak kecil setelah menjauh beberapa langkah dariku. Ia berjalan menuju ke arah tangga, belok kiri, lalu hilang di balik dinding asrama itu.
Pertemuan yang aneh, pikirku. Mungkin ia penasaran melihatku yang asing di matanya duduk sendiri di teras asrama putra dan memperhatikannya berdansa. Ia lalu datang untuk tahu siapa aku. Mungkin pula ia baru saja dari kamar pasangannya menari tadi. Tapi mengapa ia bebas masuk ke asrama putra. Aha, pastilah ia telah memberi tips kepada penjaga di dekat tangga lantai pertama.
Selanjutnya, wajah perempuan itu tak henti mengisi ruang pikiranku. Ia hadir begitu nyata. Besok malam, ketika aku duduk sendiri saat teman-teman lain makan di warung di depan kampus, ia kembali datang. Begitu muncul, ia langsung duduk di kursi plastik di sampingku. "Kamu suka melihat bulan?"
Aku mengangguk.
"Aku juga suka. Hanya bulan satu-satunya yang membuat aku terus hidup."
"Mengapa begitu?"
"Iya, hanya bulan yang bisa menghiburku. Yang lainnya justru menyakiti."
"Kamu benar-benar pernah berpikir untuk bunuh diri?"
Ia mengangguk. "Apakah kata-kataku kemarin malam terkesan berbohong?"
Aku tidak menjawab. Sejenak, ia memandangku seperti menunggu kata-kata yang bakal meluncur dari mulutku. Mata kami beradu. Kurasakan cahaya matanya redup, namun tatapannya tajam.
"Aku bersyukur kamu tidak sampai melakukan hal konyol itu," kataku kemudian.
Ia mengalihkan pandang ke bulan yang seperti melayang-layang di atas awan tipis yang menutupnya. Awan itu seperti sebuah tirai transparan. Matanya tampak tak berkedip. Cahaya lampu di teras asrama itu memperlihatkan dengan jelas pipinya yang kemudian ditetesi air mata. Ia terisak. Tapi, buru-buru ia mengusapnya.
"Maaf, kadang aku terlalu sentimentil." "Tidak apa-apa."
"Aku teringat ibu. Seandainya ibu masih ada, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini."
"Maksudmu?"
"Ibuku meninggal bunuh diri. Ia melompat dari lantai lima kantor ayah. Ibu tidak tahan terus disakiti ayah. Ayah lebih bahagia bersama perempuan-perempuan lain di luar rumah dari pada membahagiakan kami. Sejak itulah aku juga ingin bunuh diri."
Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Mulutku tidak tahu harus berucap apa. Yang terbayang di kepalaku adalah peristiwa mengerikan: seorang gadis dengan leher tercekik dan tergantung di loteng dengan lidah menjulur. Tak lama, bayangan lain muncul: seorang perempuan muda telungkup di lantai setelah terjun dari gedung bertingkat.
Ah, betapa mengerikan. Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada perempuan ini.
"Kamu mau menari lagi bersamaku?" Matanya kembali memandangku. Sebuah senyum mengembang. Dan tanpa sempat kujawab, jari-jarinya yang halus dan kurasakan sedingin es telah meraih tanganku dan menariknya. Aku pun bangkit mengikuti keinginannya. Kami kembali menari.
Gerakannya kali ini sangat lambat. Kami hanya berputar-putar pelan. Tubuh kami hanya berjarak lima senti meter. Saat sedang menari, kulihat beberapa tetes air mata mengalir di wajahnya. Tiba-tiba, ia melepaskan rangkulannya. "Maaf, aku harus segera kembali kamar," katanya, lalu melangkah ke arah tangga, dan hilang di balik tembok. Aku terdiam lama, berdiri mematung memandang sisa-sisa bayangannya.
Aku tak menduga kehadirannya kali ini tidak seperti saat pertama kami bertemu. Kini, ia sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan. Tiba-tiba, aku menjadi cemas. Jangan-jangan ia mau bunuh diri.
Semalaman, aku terus kepikiran pada perempuan itu. Paginya aku baru lega ketika tidak menemukan kehebohan apa pun di kampus itu. Dengan kata lain, perempuan itu tidak bunuh diri. Sebab, jika ada orang bunuh diri, jangankan kampus itu, seantero provinsi pun akan heboh. Koran-koran akan memberitakannya.
Tapi pertemuan malam itu adalah yang terakhir. Selanjutnya, ia tidak muncul lagi. Aku ingin bertanya pada Supi atau Jufridar, tapi ada rasa enggan. Apalagi kegiatan aku di sana padat. Hari ketiga disana, aku dan Sulaiman memberi workshop menulis puisi pada anggota sanggar. Esoknya, ada kemah sastra di Pantai Ujong Blang.
Apalagi pada hari-hari itu, Ik sering bersamaku.
"Kau diam saja, teringat Ik ya "
Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Aku gelagapan menjawabnya. "Aku tidak sedang memikirkan Ik," kataku. Aku tidak menjelaskan bahwa sore tadi, sepulang dari Ujong Blang, aku dan Ik sempat bertemu di salah satu pojok kampus. Aku sekaligus pamitan, karena malam ini mau pulang ke kotaku. Acaraku di kampus itu sudah selesai.
Dan beberapa saat lalu, di koridor kampus, ketika meninggalkan asrama itu, aku kembali bertemu Ik. Ia mengucapkan salam perpisahan, sekaligus sebuah pesan yang tak terlupakan: "Jangan pernah lupa salat ya," katanya. "Kemarin di pantai Ik lihat abang nggak salat." Sederet kata-kata yang mengharukan.
* * *
Tiga belas tahun lewat. Ketika Jufridar mengirim pesan singkat berisi nomor kontak Ik yang lama tidak jelas di mana rimbanya, aku kembali teringat kampus itu. Tidak hanya teringat Ik, juga teringat Supi, Sulaiman, serta seorang perempuan yang pandai menari. Mereka telah berpencar ke mana-mana.
Ik tinggal di Jambi. Supi jadi pengusaha kopi dan sedang sibuk menjadi calon anggota legislatif dari sebuah partai. Sulaiman menjadi dosen seni di Padang Panjang. Tuti? Jawaban Jufridar bikin aku terdiam lama: Tuti meninggal bunuh diri sekitar dua bulan sebelum aku datang ke kampus itu. (*)

* Depok, September-Oktober 2008

SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 24 Januari 2009
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar