Aku Menunggumu di Kafe Itu
Cerpen Adek Alwi
AKU menunggumu di kafe itu,
Warung Mbak Nien namanya, karena merasa kau akan datang bak kerap kurasakan
hari-hari belakangan. Aku duduk sendiri seperti dulu saat menunggumu. Dengan
minuman seperti dulu, karena pelayan itu, bagai dulu pula, meninggalkanku usai
tarok minuman. Tak ia tunggu kubuka daftar menu, seolah ia tak pernah lupa
bahwa itu baru nanti aku lakukan, setelah kau tiba ya, seperti dulu. (Eh,
apakah menurutmu pelayan itu benar-benar yakin kau akan datang, atau ia hanya
merasa kau akan tiba seperti yang aku rasakan?).
Siang bergerak di luar
bersama seliweran kendaraan di jalan sedikit menanjak, di sana, di depan
halaman kafe. Kau ingat, di sebelah kafe terletak apotik dan satu-dua sepeda
motor,mobil sesekali menikung dari jalan memasuki halaman, melalui gerbang yang
sisinya dipagar memanjang sealur jalan serta halaman. Pengendaranya masuk ke
apotik atau kafe. Kau pun telah dua kali kulihat muncul di gerbang itu, usai
menikung dari sisi jalan, trotoar. Tiba-tiba saja kau muncul, seperti dulu, dan
tiap muncul selalu menerbitkan debar indah di hati; bak ada yang tengah
berkobar menyalakan semangat dalam diri.
Kau berjalan anggun di
halaman, mendekati. Rambutmu tergerai melalui bahu, tebal dan hitam, sebagian
jatuh di dada; rambut yang kusuka. Tubuhmu lampai, berisi. Wajahmu keibuan.
Berapa kali kukatakan aku suka alismu, terlebih matamu? Matamu dimuati cahaya
kelembutan. "Biar kupandang matamu lama-lama," ujarku dulu, kerap
sekali. "Jangan berpaling."
Kau senyum, membiarkan
matamu kutatap lama-lama, dan kulihat di matamu danau yang teduh, macam telaga;
mengirim sejuk di saat terik hari, menerbitkan harapan dan inspirasi.
Saat-saat seperti itu
sungguh amat membahagiakan bagiku; semangat mengalir dan banyak harapan jadi
tumbuh. Kupikir kau pun merasa begitu. Tapi, "Aku heran," katamu
suatu waktu. "Apa yang menarik dari mataku? Sering depan kaca kubertanya,
apa yang menarik hingga kau selalu memuji mataku?"
Sebetulnya pertanyaanmu itu
juga ulangan. Sebelumnya pun sudah kau ajukan bahkan hampir tiap kali aku tatap
matamu. Makanya kusahut dengan jawaban serupa, "Matamu indah."
"Indah?" tanyamu.
"Indah. Cahayanya
menyejukkan, memberi inspirasi dan harapan."
"Ah, dasar
seniman," kau bilang. Nah, pada titik ini baru kutangkap nada lain dalam
suaramu, walau samar. Dan kutanya, "Ada apa rupanya dengan seniman?"
"Ucapannya melenakan.
Setelahnya orang kembali terantuk pada kenyataan."
Saat itu ingin kuterangkan
padamu bahwa seniman manusia yang bertanggung jawab pada kehidupan, realitas,
kenyataan. Ia tidak hidup di awang-awang, bak dikira banyak orang. Keindahan
pada karya atau tuturannya ekspresi atas penghayatan serta renungannya terhadap
hidup, kehidupan.
Tapi kupikir kala itu kau bercanda,
mungkin karena malu campur bangga, pun agak risi matamu kupuji. Aku tak duga
ucapanmu itu mungkin mendasar, malah bukan tak mungkin jadi pokok-soal
perpisahan kita. Jika betul begitu dan kutahu, kubilang, "Mampu tidaknya
orang penuhi biaya kehidupan ditentukan upaya dan tanggung jawabnya pada hidup.
Seniman memiliki itu. Untuk kehidupan yang laik tak serba kurang, seniman
mampu, malah banyak yang lebih, meski tentu tetap kalah dibanding saudagar atau
pedagang.
Masalahnya, fokus dan
orientasi mereka beda. Seniman pada seni lewat renungannya atas kehidupan.
Saudagar berniaga, orientasinya laba, untung, materi, yang dengan itu biaya
kehidupan pasti terpenuhi, bahkan sisanya bisa limpah-ruah.
Ya, namanya pedagang. Hanya
peniaga dungu yang tak mampu meraup laba, menghimpun banyak uang."
Cuma, itulah, kala itu aku
tidak dapat menangkap maksudmu. Dan itu, sebagai seniman yang fokus-renungannya
antara lain manusia, makin meyakinkanku manusia memang rumit dan pelik. Coba.
Sekian lama kita bersama tak kuasa aku mengenalimu dengan utuh.
Tidak dapat aku menangkap
getar-getar yang berasal dalam dirimu, yang kau ungkapkan lewat laku dan
tuturan.
Tapi, apa betul itu
pokok-soal kita berpisah?
Karena kau tak yakin
menempuh hidup bersama seniman?
Seorang sahabat memang
pernah bilang ada beberapa sebab kenapa seseorang atau perempuan tinggalkan
pasangannya. Pertama, ia bilang, karena perempuan itu jumpa lelaki yang lebih
meyakinkan bisa melindunginya, terutama dari segi materi. Kedua, karena lelaki
itu lebih tampan.
"Dan, khusus untukmu,
lelaki yang berjumpa dengan perempuan itu boleh jadi lebih muda. Jadi juga
lebih energik dalam pandangan perempuan itu." Teman itu lalu tertawa-tawa,
bak meledek, seolah berkata,"Rasain lu!"
* * *
KALI kedua kulihat
bayanganmu muncul di gerbang itu, kau mengenakan rok dengan blus senada
warnanya. Aku melihatmu sangat feminin dengan rok di bawah lutut itu, selop
agak tinggi tumitnya. Aku menangkap aura perempuan tulen di dirimu, kelembutan
keibuan pada wajah juga yang ada dalam matamu. Makanya tempo-tempo kubayangkan
anakku lahir dari rahimmu, menghisap air kehidupan dari dadamu.
Seperti biasa, begitu masuk
dan mendekat kau menyapa, "Sudah lama?" Tentu saja disertai senyum.
"Belum,"
kubilang, walau aku hampir seperempat jam menunggu. Dari sekian jumpa kita di
kafe itu cuma dua kali kau tiba lebih awal dariku dan aku selalu merasa
bersalah untuk itu. Lainnya, kau telat, dan selalu pula aku tidak merasa kesal.
Entah. Mungkin saat menunggumu mengundang bayang-bayang indah, menyuburkan
banyak harapan; membuatku kian gairah merenungkan hidup, menghayati kehidupan.
Lalu kau duduk. Aku
dekatkan daftar menu."Saya cuma ingin minum..." kau sebut minuman
yang kau mau hari itu, melambai pelayan. Bicara sejenak dengannya, buka tas,
keluarkan HP, pencet sana tekan sini. Selama itu aku memandangmu dengan sayang.
Kau seolah tahu itu. Kau alihkan HP ke tangan kiri, senyum, julurkan tangan.
Aku elus dan genggam jemarimu, kualirkan rasa hangat dari hati ke jari. Siang
cerah di luar. Mataku menatap anak-anak rambut di keningmu. Sebetulnya aku juga
ingin menatap matamu. Lama-lama. Kau pun seolah tahu itu. Usai masukkan HP ke
tas kau lihat aku, senyum, dan matamu kutatap.
"Aku
menyayangimu," kubilang.
Kau senyum, mengangguk.
"Saya juga. Saya pun menyayangimu." Dan kau rangkul lenganku.
"Lenganmu hangat. Saya
merasa amat nyaman," tambahmu. Matamu lalu pejam; ya, mata yang kusuka
itu.
Kau tahu, itulah saat-saat
membahagiakan. Berada dekatmu, bersamamu, hari seolah cerah selalu. Dan aku
ingin alam ikut merasakan: udara, angin, pohon, daun. Karenanya, sesekali
pertemuan itu kita lengkapi dengan bercinta di luar kota. Kau ingat, aku tak
mau melakukan dalam kota. Banyak hal bisa terjadi. Misalnya kita jumpa orang
yang mengenalmu, dan aku sangat tak mau kau dinilai jelek. Selain itu, aku
ingin alam luar kota yang relatif asri, teduh dan nyaman, merasakan yang aku
atau kita rasakan. Sebab bagiku yang kita lakukan adalah ekspresi cinta. Tak
bisa aku lakukan itu tanpa hati, tanpa perasaan. Memang pernah sekali aku
tertegun saat kita bercinta. "Kenapa?" tanyamu merajuk.
"Aku ingat
kucingku," kubilang. Kau tertawa. Aku tak dapat menyalahkanmu kalau
menganggap aku dusta. Tapi, sungguh, itu terjadi tak karena ada perempuan lain
masuk dalam pikiran-perasaanku. Aku diganggu bayangan tiga kucingku: Sopiloren,
sang induk plus dua anaknya;a Bredpit dan Jimifok.
Buktinya, usai merokok dan
basuh muka aku kembali ke momen-momen cinta yang indah itu.
Dan, semua itu sungguh amat
beda dengan saat kita jumpa terakhir, di kafe itu; setelah kau kuminta
berkali-kali. Kau memang datang. Tapi yang kuhadapi bukan lagi perempuan yang
kukenal. Kau sangat asing. Tak aku tangkap lagi pancaran keibuan di wajahmu,
juga kelembutan itu.
Begitupun yang kusebut aura
perempuan tulen, entah ke mana lenyapnya. Air mukamu datar, cenderung dingin,
kaku. Matamu yang kusuka tak pula dimuati sinar kelembutan yang kukenal. Aku
betul-betul berhadapan dengan orang yang seolah tak pernah mengisi sejarah
hidupku, tak pernah dekat denganku. Alangkah ajaib peristiwa, juga waktu, yang
telah mengubah semuanya pada dirimu.
Ketika kutanya apa
sebetulnya yang terjadi sehingga kita berpisah, jawabanmu memang didului kata
maaf tapi suaramu datar, dingin."Maaf. Cuma itu yang bisa aku
katakan."
Ketika kutanya apakah ada
kemungkinan kau akan kembali padaku, kau sahut, "Tidak. Yang kurasakan
kini padamu sudah lain."
(Di hati aku bertanya:
bagaimana bisa begitu?).
Ketika kukatakan betapa
sayang aku padamu, kau diam, tanpa ekspresi. Juga ketika kucari pada matamu,
tak kutemukan jawab di situ. (Dalam hati aku bertanya: ke mana lenyapnya rasa
sayangmu?).
Ketika kudekatkan daftar
menu sambil bertanya apakah kau tidak ingin pesan minuman, kau memang
mengangguk, tapi yang kau pesan tak lagi minuman biasanya. Jadi semuanya memang
sudah berakhir, sudah usai, selesai.
***
ANEHNYA, itulah, aku kini
serasa menunggumu di kafe itu, merasa kau akan datang. Padahal tidak. Aku
sendiri ada di rumah, menyaksikan hujan. Dan kafe itu telah lama tutup. Bulan
lalu waktu aku melintas di depannya ia sudah tak ada. Tidak terpahami memang.
Karena dari segi bisnis kafe itu tampaknya cukup punya prospek, menguntungkan.
Kenapa distop pemiliknya?
Tapi, apa pula bedanya
dengan hubungan kita, juga denganmu? Bagiku hubungan kita dulu baik saja, kau
pun tidak menampakkan gejala ingin mengakhiri. Nyatanya...
Ah, jangankan pemilik kafe
itu, dan kau, diriku sendiri tak bisa kupahami. Ya, sungguh pelik manusia,
ternyata. Jelas-jelas kau tak ada lagi, tidak mungkin kembali, namun masih juga
aku mengingatmu.
Dan, kini, serasa menunggumu
di kafe itu. Kafe yang sekarang pun tidak ada lagi, seperti dirimu. Ah, apa kiranya
yang membuatku begitu? (*)
* LA,
Kamis 25.2.2010
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 1 Mei 2010
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar