1.000 Kutu di Kepala Anakku
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
SOAL gizi buruk ataupun
polio bagiku sudah tidak lagi menarik sebagai berita. Karena itu, tak perlu
diceritakan maupun dikabarkan. Bahkan flu burung yang sempat merebak di seluruh
kota di negeri ini, kini tak lagi membuat bulu tengkukku berdiri. Aku tak takut
lagi terkena flu burung. Apalagi sudah ada jaminan pemerintah kalau hewan-hewan
sejenis itu sudah bebas dari rabies flu burung. Jadi, tak ada keraguan aku mengonsumsi
daging ayam.
Kalau kini aku cemas,
sebabnya kutu yang menyerbu rambut di kepala anakku. Tidak tanggung-tanggung.
Kalau mampu kuhitung, mungkin ada 1.000 (seribu) kutu-atau, boleh jadi lebih.
Jujur kukatakan, aku belum sempat memastikannya. Setidaknya, apakah aku mampu
menghitung seribuan kutu yang bersemayam di kepala anakku? Ditambah lagi anakku
tak bisa diam kalau aku sedang memunguti kutu di kepalanya. Sebab itu, aku
hanya sanggup mengumpulkan 30 ekor-terkadang bisa lebih-kutu setiap harinya.
Itu pun diselingi dengan ogah-ogahan dan merajuknya.
Entah mengapa ia sangat
enggan kalau aku mau menangkapi kutu di kepalanya. Padahal kerap kulihat ia
menggaruk-garuk rambutnya saat tidur. Mungkin karena kutu-kutu yang menghisap
darah di kepalanya saat ia tidur, sering membuatnya terjaga. Jemari kedua
tangannya bergerak kian ke mari, bagai penari yang selangkah maju-mundur dan
bergerak ke kiri-kanan. Kubayangkan seorang penari cantik yang lincah bergerak,
begitulah jari-jari kedua tangan anakku di kepalanya. Rambutnya pun kemudian
acak-acakan. Pelan-pelan sekali agar ia tak terbangtun kurapikan kembali
rambutnya.
Pernah rambutnya kubasuh
minyak tanah. Konon, kata para orang tua dulu, minyak tanah dapat membuat kutu
mabuk lalu mati. Sebelumnya, aku juga pernah membilasnya dengan shampo
anti-ketombe dan kutu. Cuma tidak lama berselang, telur-telur kutu yang
berwarna putih muncul lagi. Telur-telur kutu itu sulit dibuang karena sangat
lengket di helai-helai rambut. Kecuali dicukur gundul. Dan, itu juga pernah
kulakukan meski anakku yang masih duduk di kelas satu SD itu awalnya menolak
dicukur gundul.
"Gak mau botak. Obi
malu, Pa" rajuknya. Aku tetap membujuknya kalau tak lama rambutnya akan
tumbuh kembali. Jika rambutnya digunduli, maka kutu-kutu itu tak akan datang
lagi.
Tetapi, itu hanya
sementara. Sebab, tatkala rambutnya kembali tumbuh justru makin banyak kutu
bersemayam. Sungguh, aku dibuat pusing. Tak habis pikir, bagaimana bisa dan
dari mana telur kutu itu menghiasi rambut anakku, lalu menetas kutu yang amat
banyak. Mungkin sekitar seribu, atau jangan-jangan lebih?
Karena kutu-kutu itu, aku
dapat pekerjaan tambahan. Setiap hari aku mendekati anakku dengan sebuah sisir
penjaring kutu (orang menyebutnya sisir serit). Sehabis pulang dari kantor aku
mengambil sisir serit kemudian mendekati anakku yang tengah menonton teve.
Sambil menikmati tayangan televisi, aku menyerit rambut anakku. Terjaringlah
kutu-kutu itu di diselipan serit. Satu, dua, hingga 10 atau kadang-kadang
mencapai 48 kutu terjaring. Kemudian kumatikan dengan ujung kuku jempolku.
Tentu saja dengan gemas.
Mematikan kutu lama-lama
menjadi pekerjaan menyenangkan. Jadi keriangan. Setiap ada waktu kosong dan
anakku mau, maka kutangkapi kutu-kutu di kepalanya untuk kutindas di ujung kuku
jempolku. Karena kebanyakan acap kuku jempolku penuh cairan berwarna merah.
Darah. Darah dari kepala anakku.
"Kalau tak mau,
lama-lama darah Obi habis dihisap kutu," kataku. Maksudku ingin
menakut-nakuti anakku. Biasanya setelah itu ia akan menurut, mendekati kepalanya.
Aku pun dengan leluasa menyerpihi kutu-kutu itu.
Meski sering
kutakut-takuti, tidak selalu ampuh. Misalnya kalau sedang asyik bermain, ia
akan menolak. Obi akan lari keluar rumah bersama teman-temannya, dan akan
pulang tiga jam atau lebih. Kalau sudah begitu aku tak bisa marah. Aku akan
mencari waktu atau hari yang lain.
* * *
SERIBU kutu di kepala
anakku seperti tak mau pergi. Meskipun sudah setiap hari kutuai, telurnya tak
henti menetas. Sepertinya percaya benar dengan pribahasa yang bermakna satu dimatikan
maka seribu lagi akan lahir. Sehingga kerjaku mematikan kutu-kutu itu layaknya
sang Syshipus yang memangul batu ke puncak bukit lalu setelah sampai
digelindingkan lagi oleh Dewa. Barangkali demikianlah pekerjaanku: kumatikan
satu, esok lahir seribu kutu lagi.
Aku bingung. Entah dengan
cara apa lagi aku membasmi kutu di kepala anakku. Entah dengan siasat yang mana
lagi agar kutu-kutu itu tak lagi mau datang. Sudah banyak jurus dan taktik
kulakukan, tetap saja kutu itu ada di kepala anakku. Kalaupun kurasa habis
karena kumatikan ternyata tak lama: anakku kembali menggaruk-garuk kepalanya.
Dan, ketika kuserit, aku dapatkan lebih dari 20 kutu! Cukuplah itu sebagai
bukti bahwa di rambut kepala anakku banyak dihuni kutu.
Dari mana kutu itu datang?
Mungkinkah terbang dari kepala anak tetangga? Atau karena tertular dari teman
sekolahnya? Soalnya, baik istriku dan anak-anakku yang lain tidak berkutuan.
Karena itu, beda sekali dengan anak bungsuku ini. Rambutnya seperti sebuah
ladang yang ditumbuhi ilalang: ditebang dan tumbuh lagi. Kutu-kutu itu seperti
pergi lalu datang lagi. Walaupun habis, namun beberapa hari kemudian kutu-kutu
itu muncul lagi. Kutu itu benar-benar hilang kalau rambut anakku gundul, tapi
begitu rambutnya tumbuh bersamaan itu pula kutu datang. Seperti sebelumnya,
banyak sekali. Mungkin sekitar 1.000 kutu di sana.
Sungguh aku dibuat pusing
oleh kutu di kepala anakku. Pekerjaan kini bertambah lagi setiba di rumah:
menyerit rambut anakku. Menilik baris-baris serit, mencongkel jika kuyakini ada
kutu yang terjaring. Setelah itu, di atas kertas putih atau di lantai marmer
rumahku yang berwarna putih itu, kutu itu pun kutindas dengan ujung kuku
jempolku. Aku puas kalau dari kutu itu muncrat darah. Aku tersenyum.
Dan, sialnya aku menjadi
ketagihan. Seperti orang yang ketagihan pada narkoba. Jika aku sedang
sakau-istilah para pemadat itu-aku akan marah sekiranya anakku enggan
mendekatkan kepalanya padaku. Pernah sisir serit kulempar ke kakinya, ia
terkaing-kaing. Lari makin menjauhiku. Terdampar di pangkuan ibunya.
Kalau sudah begitu aku tak
bisa berbuat apa-apa. Diam. Tentu saja dengan menahan gemas tak alang. Anak
bungsuku itu memang keterlaluan. Tidak tahu diuntung. Padahal, hanya sedikit
seorang ayah-dan aku di antara yang sedikit itu-yang mau mengurusi hal-hal yang
temeh seperti itu: menangkapi kutu untuk selanjutnya dimatikan. Tak banyak
seorang ayah yang masih mau peduli pada urusan kutu di kepala anaknya. Biasanya
itu pekerjaan para ibu, para perempuan, urusan istri. Aku pernah melihat sebuah
karya foto entah di media massa mana, tentang para perempuan Jawa berbaris
duduk di depan rumah sedang mencari kutu. Kalau tak salah ada tujuh perempuan
saling mencari kutu, sementara seekor kera mencari kutu di kepala perempuan
paling belakang. Pikirku, foto itu tak hanya artistik, melainkan juga memiliki
sense of social.
Seribu kutu di kepala
anakku sungguh membuatku pusing. Menjadi pekerjaan tambahan seusai aku pulang
kantor. Akhirnya aku sudah terbiasa tidur siang. Aku memandangi kutu-kutu yang
ada di rambut anakku. Kutu-kutu itu merayap dan berkeliaran di antara
helai-helai rambut anakku. "Lihat Obi, kutu di kepalamu itu banyak sekali.
Dekatkan kepalamu, papa mau ambil," teriakku.
Obi menggeleng. Menutup
kepalanya dengan bantal. Tetapi, matanya tetap ke layar televisi. Aku jadi
gemas. Lalu, hanya kupandangi bagaimana kutu-kutu itu merayap dengan sangat
lincah di helai-helai rambutnya. Ataupun terdiam di kulit kepalanya. Aku
membayangkan kutu-kutu layaknya percikan api, dan helai-helai rambut anakku
bagaikan belantara di Kalimantan, Riau, Sumatera, dan entah mana lagi. Percikan
api yang kemudian membakar hutan-hutan di Indonesia. Tak ada yang dapat
memastikan muasal api, penyebab apa, dan sesiapa yang melempar percikan api
tersebut. Kiranya yang kami ketahui cumalah hutan-hutan terbakar. Asapnya
membumbung hingga menyelimuti daerah sekitar. Jalan-jalan tak bebas pandang.
Udara pengap. Dan, orang-orang pun diwajibkan mengenakan masker. Di mana-mana
dijajakan penutup hidung dan mulut itu, banyak yang membelinya. Demi menjaga
kesehatan, kata pejabat dari Dinas Kesehatan.
Anakku menggeliat. Ke
sepuluh jari tangannya layaknya penari yang melenggak-lenggok di lantai nan
lincih. Rambutnya pun acak-acakan. Aku memelas melihatnya. Namun, ia tak
jugaberkenan menyerahkan kepalanya padaku.
"Obi, lama-lama
darahmu habis dihisap kutu. Tahu?!" aku berang. Hendak menjambak
rambutnya. Istriku melerai. Ia bilang, jangan kasar menghadapi anak-anak. Tak
baik pada perkembangan jiwanya. Bagaimana kalau ia sudah besar nanti kalau perkembangan
jiwanya terganggu.
Aku urung. Cuma, sayangnya,
Obi tak mau mengerti. Ia tetap menjauh. Rambutnya tak mau kuserit. Padahal,
kulihat barusan, kutu-kutu yang hidup di rambutnya merayap ke sana ke mari.
Seperti pesakitan yang baru saja bebas dari penjara. Bayangkanlah suatu saat
kita melihat seorang penjahat yang baru saja menghirup uadara bebas, memandang
semesta tak terbatas. Ia akan menengadahkan kedua tangannya ke langit, dengan
kepala yang mendongak ke atas pula. Lalu, terdengarlah teriakan yang sangat
keras: "Aku beeebbbaaassss,"
Demikian, kutu-kutu di
kepala anakku itu bagai pesakitan-sang penjahat-yang melihat kebebasan sesuatu
yang amat mahal. Seribu kutu yang merayap itu selayaknya percikan api yang
membakar berhektar-hektar hutan di Indonesia. Ah, tidak. Aku teringat puluhan
kuda berlari kencang di padang Sumba, sebagaimana dikatakan Taufiq Ismail dalam
sebuah puisinya. Seribuan kutu itu berlari dan melompat dari satu helai rambut
ke helai rambut lainnya. Ia amat lincah. Aku kesulitan menangkapnya dengan
jemariku. Itu sebabnya, di rumahku selalu siap sisir serit. Kini sudah ada tiga
sisir yang kubeli di Pasar Rajawali, kiriman dari saudaraku di Jawa, dan
oleh-oleh kakakku sewaktu ke Malaysia.
Kalau saja anakku tak
selalu menolak kucarikan kutu di kepalanya, aku sudah lama ikhlas menyerit
walaupun harus berlama-lama. Sebab, aku sangat suka membunuh binatang kecil
penghuni kepala itu. Aku semakin gemas tatkala memandangi muncratan darah dari
tubuhnya; darah yang dihisap dari kepala anakku.
Darah. Warnanya seperti
mengingatkan aku pada warna api. Membara. Menghanguskan hutan-hutan di Tanah
Air. Tetapi, tak satu pun orang yang dapat memastikan siapa yang membakarnya
atau penyebabnya apa. Hutan-hutan Indonesia yang tak hanya kekayannya diringkus
dan dijarah. Juga dibakar. Belantara pun menjadi gundul mengelam. Tanah
mengoreng. Pohon-pohon roboh sebagai arang. Hitam. "Obi, sini dong, papa
tak mau, darahmu habis bagai hutan. Papa mau ambil kutu-kutu di kepalamu. Sini
dong," bujukku. Hatiku kesal.
Obi tetap saja menjauh.
Kutu-kutu itu-seribuan barangkali-yang merayap berjatuhan. Terbang ke
mana-mana. Ada yang hinggap di rambutku. Lalu berbiak di kepalaku. Rambutku
penuh oleh kutu. Dari kepala anakku. Aku makin gemas. Kecewa. Ingin kusambit
kaki anakku dengan sisir serit yang paling keras di antara sisir yang lain.
Tersebeb tak mau kutu di kepalanya kutangkapi, kini malah kutu-kutu itu pindah
ke rambutku. Segera kupanggil istriku, dengan sekali teriakan: "Anti, sini
kau, bawa gunting dan gunduli kepalaku!"
Istriku ternganga. Ia belum
mengerti maksudku.
"Cepat kepalaku
gunduli saja!" perintahku lagi. "Kutu-kutu itu kini sudah berpindah
ke rambutku. Kepalaku gatal."
"Ah, itu perasaanmu
saja, Pa. Rambutmu kan sudah lama tidak disampo!"
"Tidak! Ini pasti ulah
kutu yang pindah dari rambut Obi!" kataku memastikan. "Gunduli
kepalaku. Nanti kau bisa lihat kutu-kutu yang menempel di rambutku."
"Tapi."
"Nggak usah pakai
tapi. Cepat gunting rambutku. Kau akan lihat kutu-kutu itu berjatuhan. Aku
sudah kesal."
Dengan amat terpaksa
sekaligus kecewa, lalu gunting di tangan istriku membabat rambutku hingga
habis. Seperti penebang pohon di belantara terlarang. Rambutku pun berjatuhan,
layaknya hutan yang tumbang setelah digergaji mesin. Kusakisikan tumpukan
rambutku berserakan di lantai. Kulihat pula ratusan ekor kutu dari kepalaku,
kini merayap-rayap di lantai. Secepatnya kutindas dengan kedua ujung kuku
jempolku. Aku tak ingin seekor kutu pun dapat selamat.
Kini kepalaku benar-benar
gundul. Tak sehelai rambutmu masih tersisa. Habis hingga ke kulit rambutku.
Seperti lahan kosong tanpa pepohonan. Bagaimana jadinya, beberapa jenak nanti,
ketika memandangi kepalaku di cermin. Pastilah amat buruk. Soalnya, seumur
hidup aku tak pernah berkepala plontos. Bentuk kepalaku memang tak indah tanpa
rambut. Karena itulah, aku selalu berpenampilan gondrong walau usiaku tak lagi
muda.
Entahlah, apa jawabanku
esok saat teman-teman di kantorku bertanya soal kepalaku yang botak ini. Soal
tak bersisa lagi rambuku. Tentang kepalaku yang sangat sangat licin, tetapi
makin tak indah dinikmati. Sungguh aku pusing. Seperti aku mengingat nasib
hutan-hutan di Indonesia. Gundul. (*)
Lampung, 13-21 Maret 2006
SUARA KARYA ONLINE
Sabtu, 6 Januari 2007
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar