Lukisan
Kaligrafi
Cerpen
A. Mustofa Bisri
Bermula dari kunjungan seorang kawan
lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti
jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup
bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka
terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin
karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan
mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga
kaligrafi.
Menurut Hardi, kedatangannya di
samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi.
Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera
menyambutnya antusias.
Namun, ternyata tamunya itu lebih
banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis,
ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang
komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru
dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni
dan khususnya seni rupa.
Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget,
ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak
mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan
Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya.
Katanya dia asal "menggambar" tulisan, mencontoh kitab Quran atau
kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang
ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu
ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit
dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat
yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam
bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya
yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya.
Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan
kawannya yang -meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai
kesenian, terutama seni rupa.
***
RINGKAS cerita, begitu si tamu
berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah,
sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti
seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di
atas pintu, lalu katanya, "Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?"
Ustadz Bachri tersenyum, "Itu
rajah. Saya yang menulisnya sendiri."
"Rajah?"
"Ya, kata Kiai yang memberi
ijazah, itu rajah penangkal jin."
"Itu kok warnanya aneh; sampeyan
menulis pakai apa?" Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu.
"Pakai kalam biasa dan tinta cina
dicampur sedikit dengan minyak za'faran. Katanya minyak itu termasuk syarat
penulisan rajah."
"Wah," kata tamunya masih
belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, "sampeyan mesti
melukis kaligrafi."
"Saya? Saya melukis
kaligrafi?" katanya sambil tertawa spontan.
"Tidak. Saya serius ini,"
tukas tamunya, "sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan
berkarakter. ("Ini apa pula maksudnya?" Ustadz Bachri membatin, tak
paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi,
kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya,
ya!"
Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata,
tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang
tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun,
ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk.
Setelah tamunya itu pergi, dia
benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian,
dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab
tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan
datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri
dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan
kuas.
Anak-anak dan istrinya agak bingung
juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis.
Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula
istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai
juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan
membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk "sanggar melukis".
Mungkin tidak ingin diganggu atau malu
dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan
anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang
berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru
keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa
kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang
sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia
merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan
cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali.
"Ternyata sulit juga melukis itu," katanya suatu ketika dalam hati,
"enakan menulis pakai kalam di atas kertas."
Hampir saja Ustadz Bachri putus asa.
Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau
komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya.
Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi
untuk diikutkan pameran.
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah "lukisan".
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah "lukisan".
Ketika sang kurir menanyakan judul
lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi
kemudian dia hanya mengatakan terserah. "Bilang saja kepada Mas Hardi,
terserah dia!" katanya.
Dia sama sekali tidak menyangka.
***
MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri,
dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi,
yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana
"lukisan" tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah
hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak.
Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia
menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali
menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato
pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa
tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari
"lukisan"-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di
pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa
dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan.
"Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?" pikirnya, "di mana
gerangan lukisanku itu dipasang?"
Sampai akhirnya, ketika acara
pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan
yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum
juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya
"Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak
memenuhi standar." Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru
menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para
pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang
menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan
salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup
banyak kepala yang sedang memperhatikannya.
"Lha ini dia!" tiba-tiba
Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu
banyak orang, "Ini pelukisnya!" kata Hardi lagi, lalu ditujukan
kepada dirinya, "Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini,
sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan
sampeyan." Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia
lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan.
Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang
membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai
melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di
kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika
dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya:
10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila!
"Begitu melihat lukisan Anda, saya
langsung tertarik;" tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk
bahunya, "apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan
falsafahnya. Luar biasa!"
Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, "Selamat,
lukisan sampeyan dibeli beliau ini!"
"Katanya, Anda baru kali ini ikut
pameran," kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang
merah padam, "teruskanlah melukis dari dalam seperti ini."
("Melukis dari dalam? Apa pula
ini?" pikirnya)
Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri
di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah
tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang
apa?
Besoknya hampir semua media massa
memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan
tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun
daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam
semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya
dia sedang berdiri di samping kanvas kosong!
Beberapa hari kemudian, beberapa
wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan
alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia
menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti
ketika pameran dia asal menjawab saja.
Ketika makan siang, istri dan
anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan
alifnya itu pula.
"Kalian ini kenapa, kok
ikut-ikutan seperti wartawan?!" teriaknya kesal.
"Tidak pak, sebenarnya apa sih
menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?" tanya anak
sulungnya.
"Kenapa sih Bapak hanya menulis
alif?" tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya,
"mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah,
seperti umumnya kaligrafi yang ada?"
Istrinya juga tidak mau kalah rupanya.
Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.
"Terus terang saja, Mas, sampeyan
menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?"
Ustadz Bachri geleng-geleng kepala.
Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada
keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah
dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah.
"Begini," katanya sambil
menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian, "terus
terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri,
saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa
tertantang."
"Saya sendiri baru menyadari bahwa
meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah
yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah
melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi.
Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan
saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus."
"Lalu, ketika cat-cat yang saya
beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi
dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan
kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya
ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?"
Ustadz Bachri berhenti lagi,
memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, "Ketika saya sudah
siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih
dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini,
lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa
huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy.
Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di
tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya
waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan.
Cukup alif itu saja."
"Jadi, tadinya Bapak hendak
menulis Allah?" sela si bungsu.
"Ya, niat semula begitu. Yang saya
sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan
alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor
dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai
begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu."
"Tetapi, sampeyan belum menjawab
pertanyaan saya," tukas istrinya, "sampeyan menggunakan ilmu apa,
sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya
kanvas kosong yang diberi pigura?"
"Wah, kamu ini ikut-ikutan
mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu
saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan
sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu
yang membuatnya tak tampak ketika difoto."
Istri dan anak-anaknya tak
bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya
penjelasannya atau tidak. (*)
Sumber:
2 Maret 2006
16:36:10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar