Konvensi
Cerpen
A. Mustofa Bisri
Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun
yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan
nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, kini --sejak seorang
sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah-- martabatku meningkat.
Aku kini dikenal sebagai "orang
pintar" dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun lokal biasa.
Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari mana-mana.
Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang. Tujuan para
pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari mencarikan jodoh,
"memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri, hingga menyelamatkan
jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan tujuan agar jadi.
Tuhan kalau mau memberi rezeki
hamba-Nya memang banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah
pantas disebut rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuberikan pembantuku, kini ke
mana-mana aku naik mobil Kijang. Pergaulanku pun semakin luas.
Nah, di musim pemilihan kepala daerah
atau pilkada saat ini, tentu saja aku ikut sibuk. Dari daerahku sendiri tidak
kurang dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para
pendukung atau tim sukses mereka juga datang untuk memperkuat. Mereka umumnya
minta restu dan dukungan. Sebetulnya bosan juga mendengarkan bicara mereka yang
hampir sama satu dengan yang lain. Semuanya pura-pura prihatin dengan kondisi
daerah dan rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon
lain. Padahal, rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal
kepingin. Beberapa di antara mereka bahkan bahasa Indonesianya saja masih
baikan aku. Tapi ada juga timbal-baliknya. Saat pulang, mereka tidak lupa
meninggalkan amplop yang isinya lumayan.
***
Pagi itu dia datang ke rumah sendirian.
Tanpa ajudan. Padahal, kata orang-orang, ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan
atau stafnya. Pakaian safari --kata orang-orang, sejak pensiun dari dinas
militer, dia tidak pernah memakai pakaian selain stelan safari-- yang
dikenakannya tidak mampu menampil-besarkan tubuhnya yang kecil. Demikian pula
kulitnya yang hitam kasar, tak dapat disembunyikan oleh warna bajunya yang
cerah lembut. Bersemangat bila berbicara dan kelihatan malas bila mendengarkan
orang lain. Mungkin karena aku justru termasuk orang yang agak malas bicara dan
suka mendengar, maka dia tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang
butut.
Dia cerita bahwa sebentar lagi masa
jabatannya sebagai bupati akan habis. Tapi dia didorong-dorong --dia tidak
menyebutkan siapa-siapa yang mendorong-dorongnya-- untuk maju mencalonkan lagi
dalam pilkada mendatang. Sebetulnya dia merasa berat, tapi dia tidak mau
mengecewakan mereka yang mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang
terbelakang ini.
"Nawaitu saya cuma ingin
melanjutkan pembangunan daerah ini hingga menjadi kabupaten yang makmur dan
berwibawa," katanya berapi-api. "Saya sedih melihat kawan-kawan di
pedesaan, meski saya sudah berbuat banyak selama ini, masih banyak di antara
mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perjuangan saya demi rakyat daerah
ini khususnya, belum selesai."
"Saya sudah menyusun rencana
secara bertahap yang saya perkirakan dalam masa lima tahun ke depan, akan
paripurna pengentasan kemiskinan di daerah ini. Saya tahu, untuk itu
hambatannya tidak sedikit." Dia menyedot Dji Sam Soe-nya dalam-dalam dan
melanjutkan dengan suara yang sengaja dilirihkan. "Njenengan tahu,
orang-orang yang selama ini ada di sekeliling saya, yang resminya merupakan
pembantu-pembantu saya, justru malah hanya mengganggu. Sering menjegal saya.
Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri dengan mengatasnamakan saya. Lha
akhirnya saya kan yang ketiban awu anget, terkena akibatnya. Sekarang ini
beredar isu katanya bupati menyelewengkan dana ini-itu; bupati menyunati
bantuan-bantuan untuk masyarakat; bupati membangun rumah seharga sekian miliar
di kampung asalnya; dan isu-isu negatif lain. Ini semua sumbernya ya mereka
itu."
"Namun itu semua tidak menyurutkan
tekad saya untuk tetap maju demi rakyat daerah ini yang sangat saya cintai.
Saya mohon restu dan dukungan Panjenengan. Saya berjanji dalam diri saya, kalau
nanti saya terpilih lagi, akan saya sapu bersih sampah-sampah yang tak tahu
diri itu dari lingkungan saya."
Dia menyebut beberapa nama yang selama
ini memang aku kenal sebagai pembantu-pembantu dekatnya. Aku hanya mengangguk-angguk
dan sesekali memperlihatkan ekspresi heran atau kagum. Sikap yang ternyata
membuatnya semakin bersemangat.
"Jadi Sampeyan sudah siap betul
ya?" tanyaku untuk pantas-pantas saat dia sedang menghirup tehnya.
Buru-buru dia letakkan gelas tehnya dan
berkata, "Alhamdulillah, saya sudah melakukan pendekatan kepada Pak Kiai
Sahil. Bahkan beliau mengikhlaskan putranya, Gus Maghrur, untuk mendampingi
saya sebagai cawabup."
Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat
berpengaruh di daerah kami. Partai terbesar di sini tak bakalan mengambil
keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh
cerdik orang ini, pikirku.
"Kiai Sahil sudah memanggil
pimpinan partai Anu dan dipertemukan dengan saya. Dan tanpa banyak perdebatan,
disepakati saya sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya
sebagai cawabup. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat yang sudah lama
mendambakan pemimpin yang kuat ini dan mampu mengantarkan mereka kepada
kehidupan yang lebih layak."
***
Sesuai pembicaraan di telepon
sebelumnya, malam itu sekda datang bersama istrinya. Sementara istrinya ngobrol
dengan istriku, dia langsung menyampaikan maksud tujuannya.
"Langsung saja, Mbah; maksud
kedatangan kami selain bersilaturahmi dan menengok kesehatan Simbah, kami ingin
mohon restu. Terus terang kami kesulitan menolak kawan-kawan yang mendorong
kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula memang selama periode
kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu sendiri, tak ada kemajuan
yang berarti. Saya yang selama ini mendampinginya setiap saat merasa prihatin,
namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup mata dan telinga bila
melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya itu."
"Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah
mengingatkan atau menegurnya bila melihat dia berbuat yang tidak
semestinya?" tanyaku.
"Ya tidak sekali dua kali,"
sahutnya, "tapi tak pernah didengarkan. Mungkin dia pikir saya kan hanya
bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia selalu mengatakan bahwa dialah
bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan mempertanggungjawabkan sendiri
semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan. Ya akhirnya saya diamkan saja.
Pikir saya, dosa-dosanya sendiri."
"Tapi akibatnya kan bisa juga
mengenai orang banyak?!"
"Lha, itulah, Mbah, yang membuat
saya prihatin dan terus mengganggu nurani saya. Tapi ke depan hal ini tidak
boleh berulang. Saya dan kawan-kawan sudah bertekad akan menghentikannya. Bila
nanti saya terpilih, saya tidak akan biarkan praktek-praktek tidak benar
seperti kemarin-kemarin itu terjadi. Saya akan memulai tradisi baru dalam
pemerintahan daerah ini. Tradisi yang mengedepankan kejujuran dan tranparansi.
Pemerintahan yang bersih. Kasihan rakyat yang sekian lamanya tidak mendapatkan
haknya, karena kerakusan pemimpinnya. Saya tahu persis data-data potensi daerah
ini yang sebenarnya tidak kalah dari daerah-daerah lain. Seandainya dikelola
dengan baik, saya yakin daerah ini akan menjadi maju dan tidak mustahil bahkan
paling maju di wilayah propinsi."
"Jadi Sampeyan sudah siap betul
ya?" Aku mengulang pertanyaanku kepada bosnya tempo hari.
"Ya, mayoritas pimpinan partai
saya, Partai Polan, dan pengurus-pengurus anak cabangnya sudah setuju
mencalonkan saya sebagai bupati dan Drs Rozak dari Partai Anu sebagai
cawabupnya. Jadi nanti koalisi antara Partai Polan dan Partai Anu. Menurut
hitungan di atas kertas suara kedua partai besar ini sudah lebih dari
cukup."
"Lho, aku dengar Partai Anu sudah
mencalonkan bos Sampeyan berpasangan dengan Gus Maghrur?" selaku.
"Ah, itu belum resmi, Mbah.
Beberapa tokoh dari Partai Anu yang ketemu saya, justru menyatakan tidak setuju
dengan pasangan itu. Pertama, karena mereka sudah mengenal betul bagaimana
pribadi bos saya dan meragukan kemampuan Gus Maghfur. Itu kan akal-akalannya
bos saya saja. Gus Maghfur hanya dimanfaatkan untuk meraup suara mereka yang
fanatik kepada Kiai Sahil."
***
Konferensi Cabang Partai Anu yang
digelar dalam suasana demam pilkada, meski sempat memanas, namun berakhir
dengan mulus. Drs Rozak terpilih sebagai ketua baru dengan perolehan suara
cukup meyakinkan, mengalahkan saingannya, Gus Maghrur.
Drs Rozak bergerak cepat. Setelah
kelengkapan pengurus tersusun, langsung mengundang rapat pengurus lengkap. Di
samping acara perkenalan, rapat pertama itu juga memutuskan: DPC akan
mengadakan konvensi untuk penjaringan calon-calon bupati dan wakil bupati. Drs
Rozak menyatakan dalam konferensi pers bahwa selama ini partainya belum secara
resmi menetapkan calon dan inilah saatnya secara resmi partai pemenang pemilu
kemarin ini membuka pendaftaran calon dari mana pun. Bisa dari tokoh
independen, bisa dari partai lain. Ditambahkan oleh ketua baru ini, bahwa dia
sudah berkonsultasi dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai dan diizinkan melakukan
konvensi tidak dengan sistem paket. Artinya, masing-masing mendaftar sebagai
calon bupati atau wakil bupati dan baru nantinya ditetapkan siapa berpasangan
dengan siapa.
Tak lama setelah diumumkan, banyak
tokoh yang mendaftar, baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati.
Termasuk di antara mereka yang mendaftar sebagai cabup: bupati lama dan
sekdanya. Menurut keterangan panitia konvensi, agar sesuai dengan prinsip
demokrasi, calon-calon akan digodok, dipilih, dan ditetapkan melalui pertemuan
antara pengurus cabang lengkap, pengurus-pengurus anak cabang, dan
organisasi-organisasi underbow partai; dengan ketentuan partai hanya akan
mencalonkan satu cabup dan satu cawabup.
Semua orang menunggu-nunggu hasil
konvensi partai terbesar di kabupaten itu. Maklum Partai Anu merupakan partai
yang diyakini menentukan. Apalagi sebelumnya sudah ramai dan simpang siur
berita mengenai calon-calon dari partai ini. Orang-orang tak ingin terus
menduga-duga apakah benar partai yang katanya menyesal dulu mendukung bupati
yang sekarang akan mencalonkannya lagi berpasangan dengan Gus Maghrur, putra
Kiai Sahil sesepuh partai. Dan apakah sekda yang konon dicalonkan oleh Partai
Polan benar akan berpasangan dengan Drs Rozak yang kini menjadi ketua Partai
Anu.
Singkat cerita, konvensi berjalan
dengan mulus. Sesuai kesepakatan, calon bupati dipilih sendiri dan calon wakil
bupati dipilih sendiri pula. Kemudian yang terpilih sebagai cabup dipasangkan
dengan yang terpilih sebagai cawabup. Hasilnya sungguh mengejutkan banyak
orang, terutama bupati lama dan sekdanya. Ternyata yang terpilih dan disepakati
menjadi calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cabup dan Ir Sarjono, ketua
Partai Polan sebagai cawabupnya.
***
"Itulah politik," kataku
kepada istriku yang tampak bingung setelah mendengar ceritaku. "Untung aku
tidak tergiur ketika ada yang menawariku --dan kamu ikut mendorong-dorongku--
untuk ikutan maju sebagai cawabup!" (*)
Sumber:
1
Desember 2006 11:27:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar