Bassam
Tibi
Oleh
Azyumardi Azra
Bahwa Islam Indonesia mendapat
apresiasi banyak kalangan luar, sejak dari cendekiawan, guru besar, wartawan,
sampai pejabat pemerintah tidaklah mengherankan. Banyak di antaranya, bahkan
sejak 1980-an semisal Fazlur Rahman, guru besar asal Pakistan di Universitas
Chicago, secara terbuka menyatakan harapan besarnya pada Islam Indonesia yang
distingtif, yang lebih menjanjikan di tengah berbagai perkembangan lainnya di
Dunia Muslim secara keseluruhan.
Juga kian banyak kalangan sarjana,
pemikir, dan aktivis LSM advokasi di Timur Tengah atau berasal dari negara Arab
yang memberikan apresiasinya pada Islam Indonesia. Salah satu paling akhir
adalah Bassam Tibi, guru besar asal Syria yang bermukim dan mengembangkan
kariernya di beberapa universitas Jerman. Belakangan ini, dia juga menjadi fellow
guru besar di Universitas Cornell. Kepada saya Tibi pernah menyatakan bahwa dia
adalah semacam Ibn Batutah, karena pernah mengajar dan memberi ceramah pada
lebih dari 30 universitas di empat benua.
Tetapi segera jelas pula, pengalamannya
berkali-kali datang ke Indonesia sangat berkesan bagi Tibi; dan karena itu ia
patutnya dapat menyampaikan kesan dan apresiasinya. Lihatlah apa yang dia tulis
dalam buku terakhirnya Political Islam, World Politics and Europe:
Democratic Peace and Euro-Islam versus Global Jihad (London: Routledge,
2008). Dia menyatakan, buku ini mulai dia tulis ketika ia menjadi guru besar
tamu DAAD di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003. Tibi menggunakan
kesempatannya sebagai guru besar tamu tidak hanya mengajar mahasiswa
pascasarjana, tetapi untuk mengamati dan mempelajari dinamika Islam di negeri
ini.
Ia memberikan apresiasi itu dalam
tulisannya sendiri: Untuk memahami civil Islam di negeri ini, yang memiliki
populasi Muslim terbesar di muka bumi. Selanjutnya ia menulis: I have
always admired this Indonesian civil Islam and found it more appealing than the
Salafi Islam of the Middle East, my own background . Tibi kembali ke Jakarta
kesekian kalinya akhir Juli 2009 lalu untuk mempresentasikan pikiran-pikirannya
pada Konferensi 'Debating Progressive Islam: A Global Perspective', yang
diselenggarakan Sekolah Pasca-Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konferensi yang menghadirkan sejumlah
pembicara internasional, baik dari dalam dan luar negeri, ini membincang 'Islam
progresif' di Dunia Muslim dengan menggunakan pengalaman Indonesia sebagai
pintu masuk. Berulang kali Tibi menyatakan kegembiraannya bisa kembali ke
Indonesia yang pertama kali dia kunjungi pada 1995. Kali ini, dia hanya tiga
malam di Jakarta. Bagi orang sudah berusia hampir 70 tahun, perjalanan panjang
dari Eropa ke Indonesia pastilah sangat melelahkan. Tapi, tidak terlihat
kelelahan di wajahnya; dan dengan antusias Tibi menyampaikan presentasinya
tentang akar-akar Islam progresif dalam kerangka global--khususnya
dalam konteks Timur Tengah. Ia melihat, Islam progresif menghadapi banyak
tantangan dari lingkungan sosial, politik, dan keagamaan yang belum kondusif di
Timur Tengah; berbeda banyak dengan Indonesia.
Saya pertama kali mengenal Tibi melalui
karya-karya awalnya yang terbit sejak akhir 1980-an, khususnya The
Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in the Scientific-Technological
Change (1988); Islam and the Cultural Accommodation of Social
Change (1990); Arab Nationalism: Between Islam and Nation-State
(1997); The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New
World Disorder (1998); dan Islam between Culture and Politics
(2001/2005). Selain itu, dia juga menghasilkan puluhan artikel yang dimuat
dalam berbagai jurnal akademis.
Bagi saya karya-karya Tibi memiliki
kekuatan sendiri, yang menjelaskan berbagai realitas masyarakat-masyarakat
Muslim, khususnya di Timur Tengah. Tibi melihat, masyarakat dan peradaban
Muslim mengalami kemunduran ketika pemikiran rasional tidak lagi mendapatkan
tempat di tengah meningkatnya ortodoksi ulama. Perkembangan seperti ini tidak
lagi memberikan akomodasi dan tempat bagi perubahan sosial-budaya di dalam
masyarakat Muslim, sementara Barat terus mengalami kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hasil akhirnya adalah meningkatnya sikap defensif dan apologetik
di kalangan masyarakat Muslim, yang pada gilirannya memunculkan krisis umat
Islam di masa modern. Krisis yang masih belum juga teratasi, akhirnya
memunculkan gerakan-gerakan yang dengan cara-cara radikal dan kekerasan
berusaha membawa umat kembali kepada apa yang mereka sebut sebagai 'Islam
otentik' (ashalah).
Bagi Tibi, salah satu kunci terpenting
bagi umat Islam untuk keluar dari krisis tersebut adalah dengan modernisasi
pendidikan Islam, yang tidak terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan murni,
tetapi juga mencakup sains dan teknologi. Pendidikan seperti inilah yang dapat
menumbuhkan apa yang disebut Tibi sebagai 'cultural modernity', yang mampu
kembali menghidupkan kembali elan dan etos kemajuan dalam masyarakat Muslim
sebagaimana telah lama diinginkan. []
Dimuat
di rubrik resonansi Harian Republika, Kamis, 27 Agustus 2009
Sumber:
Kamis,
27 Agustus 2009 12:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar