Cape
Town, Melayu Indonesia
Oleh
Azyumardi Azra
Kota terbesar kedua di Afrika Selatan
sekaligus sebagai destinasi turis terpopuler. Cape Town juga kota parlemen
Afrika Selatan. Kota ini punya posisi penting dalam Piala Dunia 2010. Sembilan
pertandingan dimainkan di Stadion Green Point yang baru selesai dibangun untuk
kepentingan Piala Dunia. Tak kurang pentingnya, satu pertandingan semifinal
dimainkan di Stadion Green Point yang baru dibangun.
Cape Town juga mengingatkan orang pada
”Gunung Meja” (Table Mountain) dan Kastil Pengharapan (Castle of Good Hope).
Kota ini memiliki komunitas keturunan Indonesia yang populer sebagai ”Cape
Malays”. Kini di tengah Piala Dunia, komunitas Muslim asal Indonesia ini
menjadi bagian integral dari promosi Piala Dunia 2010. Mereka terkenal dengan
makanannya yang khas; seperti ditulis Nair, yang merupakan campuran
rempah-rempah Timur, beranjak dari dasar kuliner Barat.
Bagi Indonesia, Cape Town lebih
daripada sekadar ”Cape Malay’s food” dan juga Piala Dunia 2010. Terdapat
hubungan historis, religius, dan kultural yang berlangsung berabad-abad;
melintasi zaman yang berbeda, sejak dari kolonialisme Eropa sampai masa
kontemporer sekarang. Ada shared history—pengalaman historis yang sama
sepanjang sejarah kedua negara: Afrika Selatan dan Indonesia.
Koneksi
Bagi saya yang pernah beberapa kali ke
Cape Town, kota ini lebih daripada sekadar ingar-bingar Piala Dunia 2010.
Inilah kota yang disebut sebagai tempat asal Afrika Selatan modern karena
semula kota ini merupakan pos dagang awal Dutch East Indies Company
sejak tahun 1652. Seperti juga halnya kedatangan VOC ke Batavia, orang-orang
Belanda (yang kemudian dikenal sebagai De Boers) semula datang ”hanya” untuk
berdagang, tetapi selangkah demi selangkah menguasai Cape Town atau bahkan sebagian
besar negeri yang kini dikenal sebagai Afrika Selatan.
Di sinilah bermula ceritanya. Belanda
yang kian menguasai Nusantara sepanjang abad ke-17 dan seterusnya menjadikan
Cape Town sebagai tempat ”pengasingan” atau tepatnya ”pembuangan” pejuang Indonesia
yang mereka pandang sangat berbahaya bagi status quo kekuasaan kolonial. Salah
satu yang terpenting adalah ulama terkenal asal Makassar, Muhammad Yusuf
al-Makassari, yang lebih terkenal sebagai Syekh Yusuf (1627-1699).
Ulama yang memperoleh pendidikan di
Mekkah dan Madinah—dan karena itu terlibat dalam Jaringan Ulama Indonesia-Timur
Tengah—pada abad ke-17, ketika kembali ke Nusantara lebih daripada sekadar
seorang sufi, tetapi juga mujahid, pemimpin jihad bersama Sultan Agung
Tirtayasa (1651-1683) di Banten melawan Belanda. Setelah Sultan tertangkap,
Syekh Yusuf mengambil alih kepemimpinan perlawanan; akhirnya, lewat muslihat,
dia tertangkap; kemudian bersama 49 pengikut dan keluarganya dibuang ke Sri
Lanka (1684) dan akhirnya ke Cape Town (1693).
Secara restrospeksi, pembuangan Syekh
Yusuf ke Cape Town mendatangkan banyak hikmah. Seperti direkam dalam sejarah
Islam di Afrika Selatan, Syekh Yusuf disebut sebagai ”founder of Islam in
South Africa” karena dialah yang pertama kali ”mendirikan” Islam ke wilayah
tersebut. Karena jasa besarnya itu, kuburan Syekh Yusuf menjadi ikon Islam yang
terkenal sebagai ”Karamat Syekh Yusuf”, yang berdampingan dengan sebuah masjid,
di mana saya pernah menyampaikan khotbah Jumat. Pemerintah Indonesia turut
menyumbang renovasi masjid dan Karamat Syekh Yusuf tersebut.
Tak kurang pentingnya, pembuangan Syekh
Yusuf dan pengikutnya yang kemudian disusul para ”pembangkang” lain terhadap
Belanda pada gilirannya menghasilkan komunitas yang dikenal sebagai ”The
Cape Malays”—Melayu Cape Town, yang kini lebih pas kita sebut sebagai
”warga keturunan Indonesia Cape Town”.
Kini kalau orang bicara Cape Town dan
Piala Dunia, itu juga tidak terlepas dari warga Muslim asal Indonesia. Mereka
dari dulu kebanyakan bermukim di wilayah Bo Kaap yang memiliki banyak tempat
dan bangunan bersejarah yang terkait tidak hanya dengan Islam dan kaum
Muslimin, tetapi juga dengan sejarah Afrika Selatan modern.
Pasca-apartheid
Kaum Muslimin asal Indonesia tidak atau
belum terlibat dalam dunia sepak bola Afrika Selatan. Memang, secara
tradisional, olahraga paling populer di negara ini adalah rugbi, yang dibawa
kolonialis Inggris, yang berhasil mengalahkan warga Belanda De Boer dalam
Perang Boer (1899-1902). Hingga sekarang, Afsel memiliki salah satu tim rugbi terkuat
di Dunia Persemakmuran—negeri-negeri yang dulu dijajah Inggris; dan dalam masa
pasca-apartheid, Presiden Nelson Mandela membawa Afrika Selatan menjadi juara
World Rugby 1995.
Cape Town, seperti Afsel umumnya, belum
lama mengenal sepak bola terorganisasi dan terintegrasi secara sosial. Asosiasi
Sepak Bola Afrika Selatan berdiri tahun 1991 yang berusaha melintasi batas
rasial dan warna kulit. Memang, jauh sebelumnya akhir abad ke-19 sudah mulai
tumbuh federasi sepak bola berdasarkan ras: kulit hitam, kulit putih, kulit
sawo matang (India), dan kulit warna-warni (ras campuran)—sebuah realitas
apartheid dalam sepak bola. Akibatnya, antara 1961 dan 1992 tim sepak bola
Afsel dilarang ikut bermain dalam kompetisi internasional.
Kini menurut Asosiasi Sepak Bola Afrika
Selatan terdapat sekitar 1,5 juta pemain terdaftar di negara ini. Dan, sejak
itu pula sepak bola menjadi olahraga terpopuler kedua di Afrika Selatan.
Hasilnya, Afrika Selatan tampil sebagai salah satu kekuatan penting di Benua
Afrika. Namun, masalah ras dan warna kulit masih menjadi isu. Sepak bola masih
hampir identik dengan kulit hitam.[]
Tulisan
ini pernah dimuat Harian Kompas, Sabtu, 12 Juni 2010
Sumber:
Sabtu,
12 Juni 2010 15:28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar