Pada suatu hari,
Leon Wieseltier berlayar di dekat Pulau Shelter, di sebuah selat di Alaska.
Tiba-tiba perahunya diguncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia
sendirian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.
Pada saat genting
itu, seekor camar turun dan hinggap di buritan. Burung laut itu menatapnya,
tapi pandangnya tak acuh. Ketika itulah—seperti kemudian dituliskannya—Wieseltier
baru menyadari betapa tak pedulinya alam kepada manusia yang sedang celaka.
”Belum pernah aku
dipandang dengan begitu tak berperikemanusiaan, belum pernah aku sebelumnya
membayangkan bagaimana diriku tampak sendirian dalam pandangan alam. Menjijikkan….
Tujuanku tampak bukan apa-apa. Hidup dan matiku hanya gerak materi….”
Dengan kata lain:
pada saat seperti itu, alam—yang mengancam manusia—adalah sehimpun tenaga yang
tak peduli. Sebab begitulah yang berlaku dalam kancah fisik: sebagaimana ombak
yang diguncang badai dan layar yang patah di tengah, manusia yang terancam
binasa (setelah ia bersembahyang sekalipun) hanya hadir sebagai ”gerak materi,
pengulangan yang netral dari arus zat”.
Ada yang getir
dalam kalimat Wieseltier itu. Tapi ia menuliskannya dalam The New Republic, 17
Januari 2005, tak lama setelah tsunami meluluh-lantakkan Asia. Menyaksikan
ribuan kematian yang terjadi dan kesengsaraan yang meluas, ia tersentuh. Ia
bertanya: bagaimana orang yang percaya kepada Tuhan tak akan salah-tingkah,
atau guncang, oleh bencana seperti itu? ”Jika tak mungkin menghormati alam
karena kebaikannya,” kata Wieseltier, ”tak mungkin pula menghormati ia yang
dianggap sebagai ’sang pengarang’ karena kebaikannya pula.”
Agaknya
Wieseltier akan mengemukakan gugatan yang sama hari-hari ini, bila ia saksikan
yang terjadi di Pakistan: 40 ribu manusia, di antaranya ratusan anak, mati
terhantam gempa di tengah salju, cuaca beku, dan hujan yang bandel. Mereka
miskin, mereka saleh, mereka ditakdirkan lahir dan hidup tawakal di sebuah
negeri yang tak berpunya, dan kini…. Apa peduli alam dengan semua itu? Apa
peduli-Nya? Bagi Wieseltier, mereka yang bilang bahwa bencana itu adalah iradah
yang misterius dari Tuhan, adalah mereka yang ”terlalu siap menyambut tragedi”.
Dari sini mala yang datang dianggap sah, dan itu sama artinya dengan
”pembenaran bagi pembunuhan anak-anak”.
Rasa gundah dan
gugatan seperti ini tentu saja tak baru: kita teringat akan yang dikemukakan
Voltaire pada abad ke-18. Mendengar betapa mengerikannya akibat hantaman
tsunami di Kota Lisbon pada tahun 1775, Voltaire menulis sebuah sajak, Poeme
sur la desastre de Lisbonne. Ia bukan hanya mencemooh mereka yang percaya bahwa
Tuhan selalu punya ”alasan yang cukup” kapan saja, juga ketika Ia membuat
manusia hancur. Voltaire juga menunjukkan betapa jauhnya jarak Tuhan dan kita.
Di akhir sajak
itu, Voltaire menggambarkan seorang khalif yang di akhir hayatnya berdoa kepada
Tuhan. Sang khalif menyebut empat hal yang bukan bagian dari Ilahi: ”Kesalahan,
sesal, mala, dan kebodohan”. Dan ditambahkannya: ”harapan”.
Harapan, dengan
kata lain, adalah sebuah cacat. Tampak betapa suramnya kondisi manusia bagi
Voltaire—dan betapa tak terjembataninya celah antara makhluk dan Pencipta.
Walhasil, seperti camar laut di perahu Wieseltier, dari sisi sana, Tuhan
mungkin menatap ke kesengsaraan di Aceh dan Pakistan—dan Ia tak peduli.
Ada satu soal
yang bisa dikemukakan kepada Wieseltier: bagaimana ia tahu bahwa camar itu,
atau alam, atau Tuhan, acuh tak acuh? Tidakkah itu hanya karena ia tengah
merasa sendirian, tak punya penolong? Bukankah apa yang kita simpulkan tentang
Tuhan sering hanya gema dari apa yang kita rindukan atau takutkan di dunia?
Memang selalu
terjadi ke-satu-sisi-an dalam soal pelik ini. Juga pada saat ”sang khalif” dalam
sajak Voltaire berdoa dan menyebut ”Engkau” dalam ”kemahabesaran-Mu”, ”dans ton
immensité”. Dalam baris-baris terakhir sajak itu itu, ”sang khalif” sebenarnya
menggunakan ”kekurangan” manusia untuk melihat Tuhan, ketika ia dengan masygul
menyaksikan yang tragis dalam hidup.
Dalam sejarah
pemikiran Islam, ke-satu-sisi-an seperti itu bahkan terdapat dalam pandangan
kaum Asy’ariah pada abad ke-10. Mereka ini mengemukakan bahwa Tuhan yang
Mahakuasa tak terikat kepada penilaian adakah ia ”adil” atau ”tak adil” seperti
yang dipakai manusia untuk menilai manusia lain. Maka tak dapat pula dikatakan
benarkah Tuhan ”adil” (atau ”peduli”) ketika Ia menciptakan bencana alam di
Pakistan dan pembantaian di Bosnia serta kesengsaraan di Palestina. Tapi kritik
Ibnu Taymiyah (1263-1327) kepada kaum Asy’ariah menunjukkan bahwa sifat
Mahakuasa itu juga cuma satu sisi. Kaum Asy’ariah, kata Ibnu Taymiyah,
”menegaskan kehendak [Tuhan] tanpa kearifan.”
Soalnya, tentu:
adakah citra tentang Tuhan dari kitab-kitab suci yang tanpa kontradiksi? Yang
Mahabaik selalu tampil sebagai juga Sang Pencipta kesengsaraan. Pada abad ke-21
ini ada yang merasa bisa memecahkan kontradiksi itu dengan menunjukkan: tak ada
peran langsung-Nya di tengah alam. Seorang pemimpin masjid Lakemba di Sydney, Australia,
misalnya, mengatakan: Tuhan memang Mahakuasa, tapi ”selama tsunami mengikuti
hukum fisika”, kita tak bisa menyalahkan bencana itu kepada-Nya.
Jika tak ada
intervensi Tuhan dalam hukum fisika, bisa dikatakan juga tak ada campur
tangan-Nya dalam kebrutalan manusia. Tapi dengan begitu bukankah Ia akan tampil
tidak sebagai pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti alam artik yang
ganas dalam kisah Leon Wieseltier? Benar. Tapi berbeda dengan alam, kita tak
bisa mengukur-Nya.
Mungkin itulah
yang tak sempat menyentuh Wieseltier yang getir: tersirat erat di alam itu,
dalam badai, dalam gelombang dan juga di kehadiran camar itu, ada isyarat
ke-Maha-Lain-an yang tak tepermanai. (*) [Oktober 17, 2005]
~Majalah Tempo Edisi. 34/XXXIV/17 –
23 Oktober 2005~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2005/10/17/bencana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar