Lima hari setelah
Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta,
seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah
otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan
sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam,
kata sang pemberi khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….
Saya tak tahu
lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu
untuk apa fitnah—terutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan
Rasulullah diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi
saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama kebencian:
buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat
guyah, penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah
sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di
sebuah dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa
hanya patut beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus
kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-kata telah jadi lembing.
Chairil Anwar pernah menulis tentang para ”ahli agama dan lembing katanya”.
Ketika kata
menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran,
sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan
yang tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat
perbedaan tak pernah ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa
dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan? Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita
bisa berbicara tentang sejarah agama-agama—adalah sejarah pembantaian yang tak
menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja, kapan saja, dan
oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik dan
Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.
Setiap usaha
untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. ”Tidak ada paksaan
dalam agama,” demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan,
yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak
antara ”tertangkap-menangkap” dan ”terlepas-melepas”. Yang universal tampak
sebagai kaki langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap
konsensus mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir
apa saja—juga Sabda Tuhan—senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.
Bahwa tak ada
pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan
kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang
terbaik dari yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa
dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi
datang sebagai cara mengatasi kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak
bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan,
tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebencian membuat yang
nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.
Ada banyak
peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah satunya
adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu
dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden
Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung
gagasan Komite Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto
akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun
takhta, Nurcholish juga yang mengatakan bahwa sang Presiden yang telah berkuasa
sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu
dengan batas.
Ada hubungan yang
tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi
kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika
mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang
kekal yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah,
tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish
adalah guru tentang kerendahan hati.
Kerendahan hati
adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi
angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang
membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda
putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan
keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang
terhunus bagaikan lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang
tidak menusuk, tidak berteriak. (*) [September 5, 2005]
~Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXIV/05 –
11 September 2005~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2005/09/05/lembing/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar