Kebanyakan aktivis syariat Islam
tidak siap meletakkan syariat Islam dalam diskusi publik yang rasional.
Statemen-statemen semacam “syariat tak bisa divoting,” “syariat lebih unggul
daripada konstitusi sekuler” misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di
MPR belakangan ini. Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print)
konstitusi, terutama di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi
religius sebagian kelompok untuk memberi visi Islami pada konstitusi.
Judul: Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal
Penulis: Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra,
Taufik Adnan Amal, Ulil
Abshar-Abdalla, et all.
Editor: Burhanuddin
Penerbit: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation,
Juni 2003 Peresensi : Burhanuddin |
Wacana syariat Islam bersifat pelik
berkenaan dengan sifat hubungan Islam sebagai sebentuk keyakinan atau agama
dengan formulasi hukum Islam historis yang selama ini disebut syariat
(An-Na’im, 1994). Pada saat syariat Islam dibicarakan dalam locus dan
konteks historis dan profan, maka syariat Islam harus siap didudukkan dalam
bingkai penilaian yang fair tanpa berharap ada keistimewaan apapun
karena anggapan akan sakralitas fungsi dan sumbernya.
Kebanyakan aktivis syariat Islam
tidak siap meletakkan syariat Islam dalam diskusi publik yang rasional.
Statemen-statemen semacam “syariat tak bisa divoting,” “syariat lebih unggul
daripada konstitusi sekuler” misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di
MPR belakangan ini. Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print)
konstitusi, terutama di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi
religius sebagian kelompok untuk memberi visi Islami pada konstitusi.
Memang dewasa ini muncul
kecenderungan baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat Islam
dengan cara memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang —suka tidak suka— juga
memberi peluang bagi munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem
sekalipun. Aspirasi penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik
demokrasi di negara-negara muslim. Di antara mereka juga fasih melantunkan
idiom-idiom demokrasi dan memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai
sarana mencapai tujuan.
Partai Keadilan di Indonesia, FIS di
Aljazair yang memenangkan pemilu putaran pertama tahun 1991 yang kemudian
dibatalkan oleh rezim militer, hanyalah sebagian contoh partai-partai Islamis
yang memperjuangkan agenda syariat Islam dalam pemerintahan. Di sejumlah negara
Muslim lain seperti Pakistan, Yordania, Mesir, Maroko, Iran, dan Kuwait,
kelompok-kelompok Islamis mereka ikut bersaing di pentas politik nasional
masing-masing dengan menggunakan prosedur pemilihan umum.
Namun demikian, sebagian besar
pemerintahan Islam dibangun lewat prosedur non-demokrasi. Arab Saudi misalnya,
secara konsisten memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik
melalui jalur otoritarianisme sejak Muhammad al-Saud dan Muhammad bin Abd
al-Wahhab menyepakati suatu kontrak politik yang melahirkan kerajaan kaya
minyak itu.
Pemerintahan Taliban sebelum
dirobohkan koalisi Amerika Serikat juga menjadi contoh yang baik betapa
otoritarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang eksesif
di di Afghanistan. Demikian juga di Pakistan tahun 1980-an di mana program
“Islamisasi” yang digelindingkan rezim militer di bawah Zia ul-Haq menarik
minat kekuatan politik Islamis —yang tidak pernah menuai simpati rakyat dalam
pemilu seperti Jamaat-i-Islami yang didirikan Abu A’la al-Mawdudi—untuk
berkolaborasi dengan militer.
Buku yang ada di hadapan Anda ini
pada dasarnya berambisi menyuguhkan sederetan fakta pengalaman negara-negara
Islam dalam berdialektika dengan syariat Islam dan isu-isu kontemporer soal
demokrasi, HAM, civil society dan lain-lain. Pertanyaan pendek yang
kerap menghantui adalah: “Mengapa para pengusung syariat Islam tak pernah
menarik pelajaran dari banyak negara Islam yang melakukan eksperimentasi yang
gagal dalam memberlakukan syariat Islam?”
Atau, jangan-jangan, kenyataan yang
tersajikan di negara-negara yang menerapkan syariat Islam itulah yang mereka
tempuh dengan sengaja, di mana pertumbuhan ekonomi per-kapita yang rendah,
tingkat pendidikan dengan indikator tingkat melek huruf yang amburadul,
pendeknya harapan hidup (life span), dan absennya kesetaraan gender,
siap dimaklumkan asalkan syariat Islam terlaksana.
Alih-alih memberi garansi bagi
terpeliharanya hak-hak politik (political rights) dan hak-hak sipil (civil
liberties) warga negara, para pengusung syariat Islam juga tidak serius
membenahi —apa yang disebut Saiful Mujani sebagai— “indeks kemaslahatan
publik.” Jikalau sedari awal berdirinya rezim syariat Islam selalu memaklumkan
jalan pintas otoritarianisme, maka adalah sulit, untuk tidak menyebut mustahil,
mengharapkan indeks kemaslahatan publik akan lahir dari tangan-tangan mereka.
Realitas sui-generis itulah
yang akan diketengahkan buku yang dibagi menjadi dua bagian ini. Sebelum
beranjak pada bagian pertama, buku ini didahului “provokasi intelektual” juris
asal Mesir, Muhammad Sa’id al-Asymawi. Pendahuluan bertajuk “Jalan Menuju
Tuhan” ini berdasarkan terjemahan dari salah satu sub-bahasan dalam master-piece
al-Asymawi, Al-Islam al-Siyasi (1992).
Bagian pertama terdiri dari lima
tulisan panjang, yaitu “Syariat Islam, Konstitusionalisme, dan Demokrasi,”
“Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia,” “Syariat Islam
di Aceh,” “Simbolisasi, Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan: Studi Kasus
di Aceh,” dan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah.” Tulisan pertama yang
ditulis Saiful Mujani dimaksudkan untuk memotret gambaran komparatif
negara-negara yang menerapkan syariat Islam dibandingkan dengan asas paling
dasar dari raison d’etre berdirinya sebuah negara, yakni kemasla-hatan
sebesar-besarnya bagi warganya.
Tulisan kedua dari Arskal Salim dan
Azyumardi Azra coba mengulas hubungan negara (baca: Indonesia) dengan syariat
dari perspektif legal-formal dan sejarahnya. Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal
Panggabean menukikkan kasus penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) sejak UU No. 44 tahun 1999 dikeluarkan. Kedua penulis dari Forum Kajian
Budaya dan Agama (FKBA), Yogyakarta, ini menyinggung aspek kesejarahan,
sosiologis dan yuridis dari penerapan syariat Islam di NAD. Sementara aspek
kesetaraan perempuan ter-cover dalam tulisan Lily Z. Munir. Adapun tulisan
Ir. M. Ismail Yusanto memberikan perspektif dari sudut kalangan yang selama ini
gencar memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Bagian kedua dari buku ini berisi
materi perdebatan dalam acara workshop terbatas yang diadakan Jaringan
Islam Liberal (JIL) pada tanggal 10-11 Januari 2003 di Puncak, Jawa Barat. Workshop
itu bertajuk Shari’a: Comparative Perspective yang diramaikan oleh
kehadiran Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im dan kontributor JIL di seluruh
Indonesia. Workshop itu sendiri terbagi menjadi tiga sesi; pertama, Shari’a:
Comparative Country Case Studies; kedua, Shari’a: The Indonesia Case;
dan ketiga, Toward Reformation of Islamic Law. Sesi pertama diantarkan
oleh Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, sementara
Ir. M. Ismail Yusanto, Samsu Rizal Panggabean dan Lily Z. Munir bertugas
mengantarkan sesi kedua. Adapun sesi ketiga tidak ada “narasumber” yang
mengantarkan diskusi, kecuali Ulil Abshar-Abdalla, Lies Marcoes-Natsir dan
Syafiq Hasyim yang memandu sesi terakhir ini. Setiap peserta menjadi narasumber
dalam workshop di awal tahun ini.
Demikianlah, isu syariat Islam
selalu menawarkan perdebatan menarik, bak tabir misteri yang tak kunjung usai
dibicarakan. Dalam konteks nation-building kita, perdebatan di seputar
isu syariat Islam bisa dikatakan setua umur republik ini. Hanya saja, kini
kalangan yang terlibat dalam perdebatan isu syariat Islam tidak lagi terpaku
pada narasi-narasi besar. Tak ada lagi oposisi biner antara kalangan Islam vis-à-vis
nasionalis dalam menerima atau menolak syariat Islam. Menariknya, baik yang
mengusung maupun mementahkan penerapan syariat Islam oleh negara sama-sama
berasal dari “rahim” Islam, sama-sama lahir dan besar dari tradisi Islam, dan
sama-sama fasih memakai justifikasi teologis dari kekayaan khazanah klasik
Islam untuk membenarkan argumennya.
Dengan demikian, persepsi dan
pandangan umat terhadap konsep syariat Islam tidaklah monolitik, apalagi jika
syariat Islam dikaitkan dengan konsep politik, demokrasi dan pemerintahan.
Persepsi terhadap syariat Islam tergantung pada ruang dan waktu di mana faktor
politis, sosiologis, ekonomis dan antropologis berperan membentuk apresiasi dan
persepsi yang beragam. Lihatlah suasana sidang-sidang konstituante pasca pemilu
1955, Masyumi dan NU merupakan kekuatan utama pengusung Islam sebagai dasar
negara. Kini NU dan Muhammadiyah justru paling depan menolak amandemen pasal 29
UUD 1945. NU dan Muhammadiyah menjadi “tembok pertama” yang harus dilewati bagi
kelompok-kelompok baru dalam Islam (new Islamic movement) yang
belakangan ini gencar mempromosikan syariat Islam sebagai solusi krisis.
Krisis multidimensional yang
berkepanjangan di Indonesia memang seringkali memunculkan keputusasaan beberapa
pihak dalam mencari formula penyelesaiannya. Karenanya, dalam menyikapi isu-isu
teknis yang meniscayakan solusi rasional malah melahirkan respon-respon
simbolis seperti anggapan bahwa penerapan syariat Islam akan menjadi panacea,
menuntaskan segala krisis bangsa. Ia dianggap sebagai eliksir, obat mujarab
yang langsung manjur menyembuhkan segala penyakit. Ironisnya, pada saat
bersamaan, solusi rasional yang diharapkan muncul dari orang atau
pranata-pranata “sekuler” tidak kunjung tiba, malah pranata tersebut dinilai
bagian dari sumber persoalan yang harus segera diatasi.
Last but not least, diskusi
publik soal syariat Islam di Indonesia yang melibatkan “pertarungan” antara
“anak-anak kandung” Islam membuktikan kebenaran adagium “Islam warna-warni.”
Syariat Islam menjadi korpus teks yang terbuka untuk ditafsirkan siapa saja.
Tidak ada lagi pihak yang berani mengklaim paling punya otoritas menafsirkan
Islam karena tidak ada satupun orang di muka bumi ini yang berhak mengklaim
bahwa dialah yang memiliki “hak paten” atas Islam. Selamat Membaca! [*]
Utan Kayu,
20 Mei 2003
Sumber:
http://islamlib.com/?site=1&aid=38&cat=content&cid=7&title=syariat-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar