Mulyana atau
bukan Mulyana, tiap orang punya detik-detik yang genting, ketika harus
menentukan untuk curang atau tak curang, mencuri atau tak mencuri. Detik-detik
itu mungkin singkat, tapi itulah saat kebebasan yang menakjubkan.
Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu sunyi dan penuh risiko.
Tapi bagaimanapun ia menandai sebuah otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi:
manusia bukanlah sebuah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerakkan
sepenuhnya oleh pelaku di luar dirinya, tak akan bisa dituntut
pertanggungjawaban, tak dapat pula diberi penghormatan. Tak ada mesin yang
patut dibui dan layak diberi medali.
Memang bisa
dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau bukan Mulyana, disebabkan oleh
wataknya, dan watak adalah akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh
sekitar yang membekas. Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus sebab-dan-akibat
itu? Ketika saya memutuskan bertindak A, dan bukan B, saya sebenarnya tak tahu
persis adakah hal itu karena nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya
gemuk, atau karena saya berbakat main akordeon dan dibesarkan di Cepu. Siapa
yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z akan berakibat pada laku A dan bukan
B?
Pada akhirnya,
inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku. Mulyana atau bukan, pada saat-saat
saya harus memilih apa yang “baik” dan “buruk”, saya bukanlah sebuah akibat.
Ada dalam hidup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun ada
yang tidak. Tak seluruh diri saya digerakkan oleh keniscayaan. Kita sehari-hari
menempuh hidup dengan Das Sein, mengikuti “apa-yang-ada-kini”; tapi juga
kita coba menjalankan Das Sollen, “yang-seharusnya”. Kant mengatakan:
kita memiliki “kemerdekaan transendental”.
Kemerdekaan
itulah yang membuat manusia sebuah makhluk yang belum selesai. Ada sepotong kalimat
yang pernah mengharukan abad ke-20: “Saya percaya, manusia pada dasarnya baik”.
Anne Frank menuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika
gadis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun, sebelum akhirnya
orang Nazi menangkapnya beserta seluruh keluarganya dan memasukkannya ke kamp
konsentrasi Bergen-Belsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945.
Kata-kata itu memberikan harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya tak
sepenuhnya tepat.
Bukan karena
manusia “pada dasarnya buruk”. Tapi karena kita tak dapat merumuskan satu sifat
apa pun tentang manusia dengan kata-kata “pada dasarnya”. Seseorang jadi
pahlawan atau bajingan bukan karena “esensi”. Saya tak pernah percaya ada
“pahlawan” atau “bajingan”; yang ada hanyalah “laku/momen kepahlawanan” atau
“laku/momen kebajinganan”. Keduanya adalah “eksistensi”, yang datang dari
pilihan dan perbuatan.
Sebab itulah
pilihan untuk berbuat baik—menolak untuk korupsi, misalnya—adalah sebuah
langkah yang tiap kali mengharukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai
kelaziman, atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilakukan
sebagai semacam “penciptaan”. Ia dilakukan bukan untuk menuruti perintah dari
“dia” atau “mereka”, dari hukum Tuhan atau manusia. Perbuatan baik itu
dilakukan secara “spontan”, sebab langsung ia dilihat sebagai “wajib”.
Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara melindungi seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara tak kenal unggas yang ketakutan itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong….
Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara melindungi seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara tak kenal unggas yang ketakutan itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong….
Bagi Urinara,
keputusannya adalah sebuah “kewajiban”. Ia melakukannya bukan karena ia senang,
bukan karena janji surga, melainkan karena ia sadar itulah yang “baik”, yang
“bajik”, dan tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan itu
ia anggap sebagai sesuatu yang “seharusnya”, dan ini berlaku universal: harus
dilakukan oleh siapa saja, juga oleh dirinya.
Tapi “kewajiban”
itu, pada saat yang sama, juga dipilih dengan bebas—bebas dari pamrih apalagi
paksaan. Memang sebuah paradoks: bagaimana sebuah “kebebasan” menjalankan
“kewajiban”? Apa arti “otonomi” di sini?
Kant mencoba
menjelaskan paradoks itu dengan susah payah. Tapi saya kira ada jawaban yang
sederhana: yang “wajib” itu tersedia untuk dipilih secara bebas sebab ia
memenuhi sebuah gagasan tentang apa yang “universal”, yang diterima semua orang
yang berakal-budi.
Tentu saja yang
“universal” itu tak pernah hadir sebagai tata tertib yang jelas dan selesai.
Manusia mempersoalkannya berabad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap.
Juga bagi Urinara. Malah mungkin ia tak berpikir, dapatkah tindakan yang
dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain sebagai “imperatif yang kategoris”.
Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi teladan. Namun di situ justru kebajikannya
menakjubkan.
Tapi tak hanya
Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di Kota Kaliningrad yang dulu bernama
Köningsberg, tak jauh dari makam Kant yang merapat di dinding katedral kota
itu, ada sebuah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam bahasa Jerman
dan Rusia. Terjemahan bebasnya: “Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa takjub
dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun
dalam diri manusia”.
Dua hal—dan di
situ tampak keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Di tengah alam
semesta, ia hanya satu di antara bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas,
begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat,
bila ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya.
Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mulyana ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal yang menakjubkan itu. (*) [Mei 2, 2005]
Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mulyana ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal yang menakjubkan itu. (*) [Mei 2, 2005]
~Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXIV/02 –
8 Mei 2005~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2005/05/02/mulyana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar