Delegitimasi
Demokrasi
Oleh
Azyumardi Azra
Konflik antara KPK pada satu pihak dan
Polri pada pihak lain, yang berlangsung selama berbulan-bulan bukan sekadar
masalah hukum. Melainkan, jelas telah memasuki ranah politik, yang bahkan sudah
menimbulkan implikasi yang tidak kondusif bagi konsolidasi demokrasi di negeri
ini. Memang, konflik di antara ketiga lembaga ini boleh jadi terselesaikan
secara formal pada hari-hari mendatang, tanpa harus menempuh jalur peradilan.
Tetapi, berbagai biaya politik cukup mahal
tampaknya harus dibayar Presiden SBY. Masa 'bulan madu' yang tadinya diharapkan
dapat berlangsung nikmat dalam 100 hari pertama masa pemerintahan kedua
Presiden SBY, kini malah meninggalkan 'rasa pahit' dalam mulut banyak warga.
Program-program unggulan 100 hari pemerintahan tampaknya juga sulit tercapai,
karena hampir separuh waktu itu banyak terhabiskan untuk respons dan
kontra-respons atas konflik tersebut. Tidak ada jaminan pula, pada masa pasca
'penyelesaian' konflik, keadaan bakal membaik.
Apalagi, jika Angket DPR RI tentang
kasus Bank Century terus berlanjut dalam waktu lama. Sehingga, masalah ini
bukan tidak mungkin membayangi pemerintahan SBY lima tahun ke depan.
Proses-proses hukum dan politik yang berbaur dan tumpang tindih dalam konflik tersebut
dalam batas tertentu, telah menghasilkan semacam delegitimasi terhadap Presiden
SBY. Di dalam pemberitaan, pembicaraan dan komentar publik, delegitimasi
berlangsung seiring dengan kemerosotan kredibilitas sang Presiden.
Bahkan, dalam pekan-pekan terakhir,
kian berkecambah kelompok-kelompok masyarakat yang secara terbuka mengimbau
perlawanan terhadap Presiden SBY; dan ada pula yang memintanya segera mundur.
Padahal, Presiden SBY dengan pasangannya Wapres Boediono memenangkan pemilu
secara landslide dalam pilpres beberapa bulan lalu.
Inilah delegitimasi demokrasi.
Perkembangan politik dalam beberapa pekan ini jelas merupakan langkah mundur
dalam proses membangun demokrasi, yang terkonsolidasi di negeri. Demokrasi
terkonsolidasi terwujud hanya jika tidak ada lagi warga atau kelompok warga
yang berpikir, kemudian melakukan tindakan politik untuk mengganti rezim
penguasa yang terpilih melalui prosedur demokrasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi hanya
ada, jika setiap warga dan kelompok masyarakat menjadikan demokrasi
sebagai the only game in town, dengan mengadopsi pandangan dunia
demokrasi dan sekaligus mematuhi demokrasi prosedural dan substantif.
Inilah proses delegitimasi yang agaknya
tidak pernah terbayangkan oleh Presiden SBY sendiri. Proses-proses delegitimasi
itu bahkan secara telanjang terekspos dalam media, khususnya televisi yang
menjadikannya sebagai drama dan sekaligus ironi politik bagi sang Presiden.
Media secara terus-menerus dalam berbagai klipnya menayangkan, betapa konflik
dan proses-proses yang mengikutinya justru kian larut dalam pendekatan
normatif, yang serbamengambang dari Presiden SBY sendiri.
Sementara itu, media-media asing
sepanjang November 2009 juga memberitakan apa yang mereka sebut 'skandal'
politik Indonesia ini. Sejak dari majalah The Economist (London),
koran The Asian Wall Street Journal, The New York Times,
sampai Asia Times memberitakan ini dalam perspektif yang tidak
menguntungkan Presiden SBY. Bahkan, menurut The Economist, skandal
ini menenggelamkan ambisi Presiden SBY untuk mempercepat 'reformasi' ekonomi
Indonesia.
Jadi, sekali lagi, ini perkembangan
yang tidak menggembirakan. Psikologi politik publik, baik di dalam maupun luar
negeri, sebagian besar tidak berpihak kepada Presiden SBY. Hampir setiap hari
media kita memberitakan ironi pahit tentang orang-orang yang ditahan di
berbagai tempat karena mencuri kecil-kecilan, seperti mengambil semangka atau
memungut kapas yang gugur dari pohonnya, sementara Anggodo yang dengan tindakan
koruptifnya juga merugikan negara dalam jumlah besar terus melenggang kangkung,
sembari menjungkirbalikkan kepastian hukum dan melukai rasa keadilan publik.
Dengan peristiwa ini, Indonesia seolah
terjerambab ke dalam lubang yang sama dalam proses-proses politiknya. Seperti
terungkap dalam kajian Alfred Stepan (2001), korupsi yang tidak terselesaikan
menjadi salah satu hambatan dalam konsolidasi demokrasi. Korupsi yang endemis
di negara-negara yang sedang mengonsolidasikan demokrasi, ternyata sangat tidak
mudah diberantas; meski lembaga khusus pemberantasan korupsi (seperti KPK)
dibentuk, tetap saja banyak hambatan dalam pelenyapan korupsi, apalagi ada
isyarat dan kebijakan penguasa yang pada dasarnya tidak mendukung badan
pemberantasan korupsi.
Hasilnya adalah delegitimasi politis
dan moral Presiden SBY; dan sayangnya juga langsung atau tidak juga merupakan
deligitimasi demokrasi. Di tengah situasi seperti itu, kita hanya bisa
berharap, kepercayaan warga kepada demokrasi tidak segera luntur; tetapi
sebaliknya menggunakan pilar-pilar demokrasi lainnya, seperti media massa
dan civil society untuk melakukan langkah-langkah yang perlu, guna
menghentikan proses delegitimasi demokrasi tersebut.[]
Tulisan ini pernah
dimuat di Republika, 3 November 2009
Sumber:
Kamis, 03 Desember
2009 14:50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar