Doa
Penguasa Dunia Arab
Oleh
Azyumardi Azra
Dunia Arab masih terus bergolak.
Revolusi rakyat yang bermula Januari lalu dan telah berhasil menumbangkan rezim
Bin Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir, kini masih berlanjut di Yaman,
Lybia, dan Suriah. Berbeda dengan Bahrain yang berhasil menghentikan revolusi
rakyat dengan mendatangkan militer Arab Saudi, di ketiga negara ini penggunaan
kekuatan militer tidak memadamkan pergolakan rakyat; sebaliknya membuat kian
banyak korban yang tewas. Campur tangan kekuatan asing atas nama NATO di Lybia
malah membuat situasi tambah kalut.
Sesungguhnya rezim-rezim di Dunia
Arab-tidak hanya yang disebutkan tadi--sangat cemas dengan perkembangan
revolusi rakyat. Jika ada negara-negara Arab yang sekarang kelihatan tenang-tenang
saja, sama sekali tak berarti tidak ada gejolak di bawah permukaan. Berbagai
konsesi yang diberikan para penguasa di negara-negara Arab tertentu sejauh ini
berhasil menenangkan massa; tetapi kecemasan tetap bertahan di banyak kalangan
penguasa di Dunia Arab.
Maka, dalam percakapan dengan kalangan
diplomat di kawasan Dunia Arab pekan lalu, saya menemukan sekarang ini banyak
penguasa di berbagai negara Dunia Arab memiliki setidaknya tiga doa. Ketiga doa
itu terkait dengan kenyataan adanya tiga hal yang menjadi sumber kebangkitan
kekuatan rakyat yang terbukti tidak mudah dipadamkan dan bahkan berhasil
menumbangkan Ben Ali dan Husni Mubarak yang begitu perkasa selama tahun-tahun
sangat panjang.
Ketiga doa itu adalah; pertama agar
jejaring sosial seperti Facebook dan Tweeter dilenyapkan; kedua,
agar saluran TV Aljazirah dan Alarabiyah dihentikan; dan ketiga
agar shalat Jumat tidak lagi dilaksanakan. Ketiga doa, atau mungkin lebih
tepatnya harapan, terdengar agak aneh, apalagi ketiganya kelihatan tidak masuk
akal. Tapi, doa dan harapan itu punya alasan masing-masing terkait kelangsungan
kekuasaan para penguasa di Dunia Arab.
Pertama, jejaring sosial jelas
merupakan salah satu faktor terpenting yang memungkinkan terjadinya
tukar-menukar informasi, konsolidasi, dan pengerahan massa rakyat. Melalui
pengiriman pesan singkat secara instan massa segera pula bergerak dalam jumlah
besar di berbagai wilayah dan kota, sehingga cukup efektif mengancam
kelangsungan rezim yang ada. Meski ada upaya menghentikan jejaring sosial,
tetapi tidak bisa dalam waktu lama; dan para pakar IT selalu memiliki cara
untuk kembalinya jejaring sosial tersebut.
Kedua, TV Aljazirah berbahasa
Arab yang dapat diakses luas di berbagai wilayah Dunia Arab menimbulkan banyak
gangguan dan ancaman bagi kelangsungan kekuasaan rezim-rezim otoriter. Laporan
langsung dan 'bocoran' dokumen yang mereka paparkan ke depan publik, tidak ayal
lagi mendorong meningkatnya ketidakpuasan dan kemarahan rakyat terhadap para
penguasa mereka, yang pada gilirannya berujung pada meledaknya kekuatan massa.
Ketiga, ibadah Jumatan yang pada
praktiknya merupakan kesempatan emas bagi konsolidasi massa. Hal ini berkaitan
dengan kenyataan, Jumat adalah hari libur tetap resmi di Dunia Arab. Banyak
masjid dimanfaatkan para aktivis untuk melakukan konsolidasi dan gerakan massa
melawan para penguasa sejak pelaksanaan ibadah Jumat itu sendiri, yang kemudian
berlanjut ke waktu Ashar dan bahkan Maghrib dan seterusnya. Karena libur,
jamaah tidak perlu meninggalkan masjid untuk bekerja di kantor atau pergi ke
sekolah dan kampus. Karena itu, massa dapat bertahan, apalagi Sabtu besoknya
juga masih libur.
Para penguasa Indonesia patut bersyukur
karena ketiga doa itu tidak relevan dan tidak perlu di Tanah Air. Warga
Indonesia memang merupakan salah satu pengguna terbesar jejaring sosial di
dunia, tetapi keterbukaan dalam alam demokrasi membuat kejengkelan kepada
penguasa tidak hanya dapat diungkapkan melalui dunia maya. Bahkan, kritik,
kejengkelan, dan kemarahan kepada pemerintah dapat diekspresikan terbuka
melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, dan bahkan juga melalui
aksi-aksi unjuk rasa.
Lagi pula tidak ada media elektronik
semacam Aljazirah yang diakses secara luas di Tanah Air. Masyarakat Indonesia
umumnya lebih menyukai saluran TV lokal yang begitu banyak, baik yang
berorientasi hiburan maupun berita. Memang, banyak media TV sering kritis
terhadap berbagai kebijakan pemerintah, tetapi masyarakat sudah terbiasa
menikmatinya, tidak lagi merasa terprovokasi melakukan gerakan perlawanan.
Indonesia juga beruntung karena Jumat
bukan hari libur. Karena itu, meski ada segelintir khatib yang menyampaikan
khutbah panas, agitatif, dan provokatif, para jamaah Jumat umumnya tidak
bertahan lama. Begitu ibadah Jumat selesai, mereka harus kembali bekerja, atau
balik ke sekolah atau ke kampus. Maka, bersyukurlah berterima kasihlah pada
Indonesia dengan segala keunikannya.[]
Tulisan
dimuat pada harian Republika, Kamis (19/5)
Jumat, 20 Mei 2011
12:08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar