Demokrasi
Revisited
Oleh
Azyumardi Azra
Di tengah gejolak politik beberapa
negara demokrasi, khususnya Thailand belakangan ini, Indonesia yang telah
mengalami demokrasi sejak 1999 kini sering dipuji banyak kalangan internasional
sebagai negara yang kian stabil dengan demokrasinya. Memang, dalam perspektif
perbandingan, misalnya dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya bukan hanya
dengan Thailand, tetapi juga dengan Filipina, Indonesia kelihatan menonjol
dengan stabilitas demokrasinya, seperti terlihat dalam pemilu yang berlangsung
damai pada 1999, 2004, dan 2009.
Namun, demokrasi Indonesia masih
mengandung banyak masalah, baik di tingkat nasional maupun lokal. Satu hal
sudah pasti; demokrasi Indonesia kian mahal dan membuat tidak efisiennya
pelaksanaan program pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Lagi
pula, masih banyak terjadi penyimpangan semacam politik uang, DPT yang masih
kacau, kekerasan di pemilukada, dan sebagainya. Karena itu, masalah-masalah
seperti ini perlu diatasi jika demokrasi bakal terus bertahan di Indonesia.
Kalangan pengamat asing yang cermat
juga tidak luput mempertanyakan keberlangsungan (sustainability) demokrasi
Indonesia. Pengalaman Thailand yang lebih lama dengan demokrasi membuat mereka
tidak hanya memuji pertumbuhan demokrasi di Indonesia, tetapi juga mencemaskan
masa depannya. Namun, dengan segera, kita harus menyatakan dengan sedikit
apologi, situasi sosial, budaya, politik, dan militer Indonesia berbeda jauh
dengan Thailand. Sebab itu, banyak faktor yang membuat situasi Indonesia lebih
kondusif yang membuat keberlangsungan demokrasinya lebih besar.
Mengunjungi kembali (revisited)
demokrasi di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan bahkan di
tingkat internasional sekarang ini tengah dilakukan banyak kalangan. Sepanjang
Mei 2010 lalu, saya mengikuti tiga forum mengunjungi kembali demokrasi:
Pertemuan Tahunan International IDEA di Stockholm; Peringatan 10 Tahun Program
Intelektual Publik Asia di Manila; dan Seminar tentang Kebutuhan dan
Kepentingan Demokrasi di Denpasar yang diselenggarakan Institut Perdamaian dan
Demokrasi (IPD) serta Kedeputian Politik, Sekretariat Wakil Presiden RI.
Menyimak pembicaraan dan pembahasan
dalam ketiga forum itu, terdapat kecemasan tentang apa yang disebut sebagai
kemunduran demokrasi, sebagaimana terlihat di Thailand, dan juga di beberapa
negara lain di Amerika Latin dan Afrika. Kemunduran itu kelihatan dalam
berbagai indikasi seperti munculnya konflik vertikal dan horizontal tidak
terselesaikan, yang kemudian berubah menjadi kekuatan massa (mob), sehingga
demokrasi dalam praktiknya menjadi mobocracy. Jika tidak terkendali, mobokrasi
dapat membawa sebuah negara demokrasi menjadi terbelah-belah.
Dengan demikian, proses-proses
demokrasi belum mampu menyelesaikan fragmentasi, kontestasi, dan konflik
politik. Sebaliknya, atas nama demokrasi, tendensi politik semacam itu terus
berlanjut sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan
politik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan bahkan masa depan negara itu sendiri.
Semua gejala ini menunjukkan, demokrasi tetap memiliki batas-batasnya. Ia
bukanlah sistem yang seratus persen sempurna. Namun, mereka yang cemas dengan
gejala tidak menggembirakan itu tetap percaya demokrasi masih merupakan sistem
terbaik jika dibandingan sistem-sistem politik lain, semacam otoritarianisme
sipil atau militer, dan teokrasi. Bagi mereka yang sudah menerima dan menikmati
demokrasi, tidak terbayangkan bisa menerima atau kembali kepada sistem-sistem
politik yang disebutkan terakhir ini.
Maka, dalam kunjungan kembali kepada
demokrasi, yang perlu dilakukan adalah memperkuat demokrasi tidak hanya melalui
penciptaan pranata dan lembaga politik, seperti partai politik. Bahkan,
kelembagaan politik ini pun masih perlu dikonsolidasikan. Akan tetapi, pada
saat yang sama, perlu penguatan sistem sosial budaya yang dapat menunjang
konsolidasi dan keberlangsungan demokrasi. Dalam konteks ini, salah satu yang
terpenting adalah pengembangan dan penguatan civic culture budaya kewargaan.
Hanya dengan civic culture yang kuat dapat terwujud keadaban (civility) dalam
politik dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Percepatan penguatan civic culture
merupakan kebutuhan mendesak. Salah satu cara paling efektif dalam hal ini
adalah pendidikan kewargaan (civic education), yang dapat diselenggarakan
melalui berbagai lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, bahkan
informal. Pendidikan kewargaan pernah cukup intensif pada tahun-tahun awal
Indonesia mengalami demokrasi, tetapi kemudian mengalami penurunan signifikan. Kini,
untuk keberlangsungan demokrasi, program pendidikan kewargaan perlu
revitalisasi.[]
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 10 Juni 2010
Sumber:
Kamis, 10 Juni 2010
13:13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar