Rasionalisasi
Parpol
Oleh
Azyumardi Azra
Pemilu 2014 nanti agaknya bisa
dipastikan sedikit lebih ‘senyap’. Hal ini tidak lain karena berkurangnya
jumlah parpol peserta Pemilu dari 38 pada Pemilu 2009 menjadi 10 parpol saja
secara nasional, ditambah tiga parpol lokal Aceh.
Sesuai hasil verifikasi dan keputusan
KPU pekan awal Januari 2013, mereka adalah Partai Amanat Nasional, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Partai
Golkar, Partai Hanura, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Persatuan Pembangunan—yang semuanya adalah ‘partai parlemen’ hasil
Pemilu 2009; ditambah satu parpol baru, Partai Nasdem. Juga ada tiga parpol
lokal; Partai Aceh, Partai Damai Aceh dan Partai Nasionalisme Aceh.
Meski jumlah parpol yang lolos sebagai
peserta Pemilu 2014 berkurang menjadi 10 partai—dengan menyisakan 24 parpol
yang tidak lolos verifikasi faktual KPU—pluralisme politik Indonesia terlihat
tetap bertahan. Jika disederhanakan, pluralisme politik itu terbelah menjadi
tiga kelompok: pertama, parpol nasionalis berdasar Pancasila: PDI-P, Partai
Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem;
kedua, parpol nasionalis berdasar Pancasila dan berbasis massa Islam, PAN dan
PKB; dan ketiga, parpol nasionalis berdasar Islam, PKS dan PPP.
Dengan ketiga tipologi ini, pluralisme
politik terlihat tidak hanya pada eksistensi masing-masing parpol, tetapi
sesungguhnya juga di dalam setiap parpol. Jelas ada faksi-faksi di dalam setiap
parpol, yang pada waktu tertentu bisa muncul jelas ke permukaan yang dapat
memicu konflik internal partai.
Rasionalisasi jumlah parpol—meski tetap
mencerminkan pluralisme politik—selain dapat menampilkan arsitektur baru
politik nasional, membuka peluang pula bagi munculnya berbagai perkembangan
yang perlu diantisipasi menjelang waktu pemberian suara.
Perkembangan-perkembangan itu dalam segi-segi tertentu bakal mempengaruhi tidak
hanya Pemilu itu sendiri, tetapi juga pemilihan presiden, dan bahkan kancah
perpolitikan nasional selanjutnya.
Dengan rasionalisasi jumlah parpol,
kini lebih terbuka kesempatan untuk merancang politik kepartaian, legislatif
dan eksekutif yang lebih sehat.
Pengalaman hasil Pemilu 2009 dengan
sembilan parpol yang memiliki kursi di DPR-RI menghasilkan koalisi politik
dengan Partai Demokrat sebagai parpol pemenang. Tetapi jelas koalisi itu sangat
rapuh karena sikap terbelah di antara para ‘anggota’ koalisi karena perbedaan
yang sering muncul karena sikap masing-masing parpol lebih berdasarkan
pragmatisme politik, khususnya terkait kebijakan Presiden SBY—yang juga Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat—dan isyu-isyu krusial semacam skandal Bank
Century, wacana kenaikan harga BBM dan banyak lagi.
Hasilnya adalah ‘kegaduhan politik’ dan
‘saling sandera’ yang kontinu baik di antara parpol-parpol sendiri, maupun
antara kalangan parpol anggota koalisi dengan pihak eksekutif, khususnya
Presiden, dan juga kalangan menteri-menterinya. Akibatnya adalah tidak
efektifnya program pembangunan. Keadaan ini bertambah parah dengan kelemahan
dan kegagapan Presiden SBY untuk mengambil keputusan yang sepatutnya segera dia
putuskan seperti terlihat jelas dalam kasus bolak-baliknya rencana kenaikan
harga BBM.
Tak heran kalau pagu subsidi BBM dalam
APBN 2012 meroket dari Rp 137 T menjadi sekitar Rp 216,8 T. Bayangkan berapa
banyak infra-struktur yang bisa dibangun jika subsidi BBM dikurangi dengan
menaikkan harga BBM bersubsidi ke tingkat lebih rasional.
Kondisi politik tidak kondusif itu
bertahan tanpa adanya terobosan karena parpol-parpol yang berada di luar
koalisi (PDI-P, Gerindra, dan Hanura) tidak pula mampu menjadi kekuatan
‘oposisi’ efektif. Selain karena jumlah kursi DPR-RI yang mereka miliki jauh
lebih sedikit dibanding kursi kekuatan koalisi, di dalam pihak oposisi juga terdapat
pula riak-riak faksi dengan sikap dan kepentingan yang bukan tidak cenderung
memihak kepada koalisi.
Kondisi dan dinamika politik
pasca-Pemilu 2009 sepatutnya dapat diantisipasi dan dihindari sejak awal—pra
dan pasca-Pemilu 2014.
Mengingat pluralisme politik yang
kelihatan sudah menjadi salah satu karakter perpolitikan Indonesia, seyogyanya
sejak penetapan 10 parpol peserta Pemilu 2014 dilakukan upaya serius untuk
menciptakan dan menggalang ‘Konsensus Politik’ baru.
Konsensus Politik dapat digalang misalnya
menyangkut orientasi lebih teguh pada prinsip-prinsip fundamental dalam
negara-bangsa Indonesia; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selanjutnya konsensus juga dapat dibangun menyangkut prinsip-prinsip pokok yang
urgen dalam pemberdayaan efektivitas lembaga legislatif dan eksekutif.
Konsensus politik baru tersebut memang
tidak menjamin lenyapnya konflik dan kontestasi kepentingan masing-masing
parpol. Tetapi setidaknya menyangkut hal-hal fundamental dalam kehidupan
negara-bangsa dan penyelenggaraan pemerintahan terdapat gentlemen agreement di
antara seluruh kekuatan politik. (*)
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Resonansi
Sumber:
REPUBLIKA.CO.ID
Kamis, 17 Januari 2013, 07:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar