Eropa
Islam
Oleh
Azyumardi Azra
Tidak mudah menjelaskan Islam ke dalam
masyarakat Eropa. Meski Islam bukan agama baru di berbagai tempat di Eropa,
tetapi mispersepsi dan prasangka terhadap Islam dan kaum Muslim bukan hanya
bertahan, bahkan meningkat sejak awal milenium baru. Bom bunuh diri yang
dilakukan orang Muslim di London dan Madrid tidak lama setelah peristiwa 11
September 2001 di World Trade Center, New York, dan markas Pentagon di
Virginia, AS, membuat Islam dan penganutnya kian mendapat stigma sebagai senang
pada kekerasan.
Dalam banyak kalangan masyarakat Eropa,
masalahnya kian rumit karena terdapat Muslim dalam jumlah cukup besar-antara
20-25 juta orang, dengan konsentrasi terbesar di Jerman, Prancis, Inggris, dan
Belanda. Banyak di antara mereka adalah generasi kedua atau ketiga. Mereka
berasal dari orang tua yang bermigrasi setelah Perang Dunia II.
Meski demikian, banyak Muslim
menghadapi masalah dalam berintegrasi dengan lingkungan setempat. Banyak di
antara mereka di berbagai kota, seperti Berlin dan London, tinggal di
lingkungan yang relatif kumuh-terasing dari masyarakat lebih luas. Segelintir
wanita karena berbagai alasan menampilkan 'politik identitas', semacam memakai
burqa atau niqab yang menutup seluruh muka mereka. Gejala ini meningkatkan
mispersepsi dan bahkan sikap fobia Islam di kalangan masyarakat Eropa.
Di tengah keadaan seperti itu,
menjelaskan Islam untuk menghilangkan atau sedikitnya mengurangi mispersepsi,
prasangka, dan fobia Islam adalah tantangan berat, khususnya bagi delegasi
Indonesia yang telah aktif dalam berbagai dialog antaragama dan antarperadaban
di banyak negara Eropa sejak tahun 2000-an. Bahkan, delegasi Indonesia juga
dikirim Kemenlu, Kemenag, dan lembaga lain ke Amerika, Asia-Pasifik, dan bahkan
Timur Tengah. Tujuannya tidak lain: menjelaskan Islam dan Muslim dari
perspektif Indonesia-negara berpenduduk Muslim terbanyak di muka bumi.
Tugas berat menjelaskan Islam juga
terasa dalam Konferensi Internasional Antaragama Parlemen Eropa, Brussels,
Belgia, 2 Juni 2011. Delegasi Indonesia yang terdiri atas Sekjen Kemenag,
Bahrul Hayat; Dirjen Bimas Hindu, IBG Triguna; Kepala Pusat Kerukunan Umat
Beragama (PKUB), Abdul Fatah; dan saya sendiri, menjelaskan berbagai aspek
Islam dan kehidupan kaum Muslim, baik secara umum maupun khusus menyangkut
Indonesia.
Islam, sekali lagi, tidak membenarkan
kekerasan, apa pun bentuknya; sebaliknya Islam mengajarkan kedamaian. Jika ada
tindakan kekerasan, seperti bom bunuh diri, atas nama Islam sekalipun, tidak
ada hubungannya dengan Islam. Sebaliknya, lebih terkait dengan soal-soal
politik, baik di tingkat internasional maupun lokal. Dan, kekerasan itu juga
terkait dengan pemahaman tidak utuh dan komprehensif tentang Islam; para
pelakunya memahami Islam secara harfiah dan sepotong-sepotong. Atau juga
terkait dengan lingkungan sosial budaya yang cenderung mendorong tindakan
kekerasan.
Lingkungan Islam Indonesia berbeda
dengan banyak kawasan Muslim lain. Kaum Muslim Indonesia sendiri mengimani
Rukun Islam dan menjalankan Rukun Islam yang sama dengan kaum Muslim lain di
manapun. Karena itu, dari segi ini, kaum Muslim Indonesia tidak dapat dianggap
'kurang Islami' dibandingkan kaum Muslim di tempat lain. Tetapi, pada saat yang
sama, lingkungan sosial budaya Indonesia membuat Islam di kawasan ini menjadi
lebih damai. Proses 'indigenisasi' yang berlangsung berabad-abad membuat Islam
Indonesia menjadi bagian integral dari realitas kultural lokal.
Pemahaman Islam yang tidak harfiah dan
lingkungan sosial kutural seperti itulah yang membuat Islam Indonesia tidak
memiliki banyak masalah dengan demokrasi. Bagi kaum Muslim arus utama,
demokrasi kompatibel dengan Islam dan merupakan sistem politik yang cocok
dengan lingkungan Indonesia, yang multireligius dan multikultural.
Eksplanasi ini sangat menarik bagi Migueal
Mesquita da Conha, ketua Komite Pengarah Parlemen Agama-agama Dunia 2014
Brussels yang juga hadir dalam Konferensi Antaragama di Parlemen Eropa. Dalam
email yang dikirimkan kepada saya, ia menyatakan sangat tertarik dengan
pengalaman kompatibilitas Islam dan demokrasi di Indonesia. Mantan anggota
Komisi Eropa ini juga memandang perlu bagi masyarakat Muslim Eropa untuk
berkaca dari pengalaman umat Islam Indonesia, dalam saling menghormati di
antara penganut agama berbeda dan kemauan serta kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan sosial budaya lokal.
Karena itu, ia menyarankan agar
pengalaman Islam Indonesia yang jarang terdengar di Eropa ini dapat disebarkan
lebih luas lagi. Bagi dia, pengalaman Indonesia dalam mengelola urusan agama
dan kehidupan umat beragama yang saling menghormati, merupakan modal besar bagi
Indonesia untuk memainkan peran lebih besar dalam diplomasi antaragama
global-sebagai model dan sekaligus fasilitator. []
Tulisan
dimuat pada Harian Republika, Kamis (16/5)
Sumber:
Kamis, 16 Juni 2011
16:19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar