Esposito:
Masa Depan Islam
Oleh
Azyumardi Azra
MASA depan Islam. Subjek yang
sedikitnya dalam tiga dasawarsa menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum
Muslim maupun Barat. Tiga puluh dua tahun lalu, ketika abad ke-15 Hijriah
bermula, terdapat kalangan Muslim di berbagai wilayah dunia Islam yang sangat
optimistis dengan masa depan Islam. Mereka berpendapat abad 15 Hijriah adalah
era 'kebangkitan Islam'. Kini, setelah 32 tahun berlalu, optimisme dan harapan
itu agaknya perlu dilihat kembali.
Sementara itu, kalangan Barat juga tak
luput berbicara tentang masa depan Islam, khususnya sejak dunia memasuki abad
ke-21 Masehi. Pembicaraan tentang subjek ini kian menemukan momentum sejak
peristiwa 11 September 2001, pengeboman WTC di New York dan Pentagon di Washington
DC. Sejak saat itu, Islam dan Muslim yang sering diasosiasikan dengan kekerasan
dan terorisme tidak hanya menjadi pusat kecurigaan dan antipati di kalangan
masyarakat Barat, tetapi juga dianggap sebagai 'ancaman' bagi masa depan dunia
Barat.
John L Esposito adalah salah satu figur
terkemuka yang juga mencoba mengkaji masa depan Islam. Esposito, guru besar dan
direktur Centre for Muslim-Christian Understanding pada Georgetown University,
Washington DC, dikenal sebagai pakar yang melihat Islam dan Muslim secara lebih
objektif dan empati. Karena itu, ia sering menjadi sasaran kemarahan kalangan
Barat yang fobia terhadap Islam dan Muslim. Padahal, dengan pendekatan seperti
itu, Esposito tidak kehilangan kritisisme terhadap Islam dan kaum Muslimin, baik
dalam konteks negara Muslim tertentu maupun dalam hubungan antara dunia Muslim
dan Barat.
Esposito berkesempatan membicarakan
masa depan Islam dalam ceramah di Syahida Inn, Kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jumat pekan lalu (7/1). Subjek ini juga merupakan judul buku
terbarunya, The Future of Islam (Oxford: OUP, 2010). Berbagai realitas
dan kecenderungan pokok, baik intra-Islam dan Muslim maupun dalam hubungan
dengan masyarakat Barat, menjadi subjek pembicaraan Esposito terkait masa depan
Islam.
Sebagiannya sudah sering mengemuka
dalam pembicaraan publik sejak dari hal; Apakah dunia Muslim bakal terkunci
dalam perbenturan peradaban; Apakah Islam kompatibel dengan demokrasi dan HAM;
Apakah 'fundamentalisme' menghambat pembangunan masyarakat modern di dunia
Islam; Apakah Islam 'menenggelamkan' masyarakat Barat karena kian meningkatnya
jumlah kaum Muslim di Barat; Atau apakah Eropa bakal menjadi 'Eurabia' atau
sebaliknya terasimilasi ke dalam masyarakat Eropa.
Dalam pandangan Esposito, Islam dan
Muslim memiliki banyak wajah, yang tidak selalu menggembirakan. Terjadi gejala
peningkatan kekerasan di banyak wilayah dunia Muslim. Hubungan intra-Muslim
sering ditandai pelarangan aliran dan kelompok Muslim tertentu karena dipandang
mayoritas Muslim sebagai sesat dan menyimpang. Esposito mengambil contoh
Malaysia yang melarang aliran Islam seperti Syiah; dan juga Indonesia yang
menghadapi persoalan Ahmadiyah.
Esposito juga melihat Islam dan dunia
Muslim menghadapi berbagai kecenderungan yang tidak menjanjikan untuk masa
depan. Pertama, meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang terutama diwakili
Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu menampilkan kekerasan,
ia membuat Islam hadir sebagai agama yang segala tidak boleh: 'ini tidak boleh,
itu tidak boleh'. Kedua, meningkatnya berbagai kesulitan yang dihadapi para
penganjur pembaruan dan reformasi di dalam Islam juga masyarakat Muslim.
Menurut Esposito, pembaruan dalam Islam
kini bahkan menjadi medan pertarungan yang kian sulit terselesaikan. Ketika pemikiran
dan gerakan pembaruan mulai dilancarkan, pada saat yang sama perdebatannya juga
meningkat tentang 'Islam siapa' atau 'Islam yang mana'. Hal ini mencerminkan
kenyataan kian meningkatnya perbedaan-perbedaan tajam di kalangan kaum Muslimin
menyangkut pemahaman dan penafsiran Islam yang mapan dalam bentuk berbagai
aliran pemikiran dan mazhab.
Gambaran yang diberikan Esposito
tentang Islam dan dunia Muslim terlihat pesimistis. Dalam tanggapan saya kepada
Esposito, gambaran demikian muncul tidak lain karena penekanan pengamatan yang
terpusat pada politik domestik dunia Islam dan khilafiyah di kalangan
umat yang sejak awal masa pasca-Nabi Muhammad tidak pernah terselesaikan. Saya
menganjurkan agar juga melihat dinamika Islam kultural, khususnya di Indonesia,
yang lebih menjanjikan. Ini terlihat dalam pertumbuhan kaum terdidik dan kelas
menengah Muslim; ormas dan civil society yang dinamis, dan seterusnya.
Meski demikian, Esposito membukakan
berbagai 'PR' yang mesti dilakukan kaum Muslim jika Islam dapat memiliki masa
depan lebih menjanjikan. Kaum Muslim mesti segera membereskan rumahnya sehingga
dapat berperan lebih kontributif pada hari ini dan ke depan.[]
Tulisan ini pernah
dimuat di Republika, 13 Januari 2011
Sumber:
Sumber:
Kamis, 13 Januari
2011 16:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar