Filantropi
Internasional dan LSM Lokal
Oleh
Azyumardi Azra
Filantropi internasional memainkan
peran penting dalam masyarakat di negara-negara maju (AS dan Eropa) dan
berkembang (tengah bangkit), seperti Indonesia. Di negara-negara maju
sekalipun, dana filantropi tetap memegang peranan dalam pemberdayaan sebagian
masyarakat mereka yang masih tertinggal dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan
kesehatan. Pada pihak lain, di negara seperti Indonesia, dana filantropi selain
untuk bidang-bidang tadi, juga memainkan peran instrumental dalam pengenalan
dan penguatan demokrasi, HAM, pemberdayaan gender, dan perubahan sosial
lainnya.
Banyak lembaga swadaya masyarakat/LSM (Non-Government
Organization/NGO) amat bergantung pada dana pemerintah asing dan donor
filantropi internasional. Ini mudah dipahami karena tidak banyak dana
pemerintah atau donor filantropi di dalam negeri sendiri. Ketergantungan
tersebut pada gilirannya menimbulkan kecurigaan kalangan publik dalam negeri.
LSM lokal cenderung merupakan perpanjangan tangan kekuatan-kekuatan
internasional yang memiliki agenda-agendanya sendiri.
Namun, terdapat lembaga donor dan
lembaga filantropi internasional yang memberikan ruang cukup besar bagi LSM
lokal untuk memperkuat kapasitasnya dan sekaligus menjalankan program-program
yang tidak selalu terkait dengan kepentingan mereka. Program-program semacam
itu dapat berupa pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan, pemberdayaan
sosial, perbaikan fasilitas dan mutu pendidikan, dan banyak lagi.
Program-program semacam ini memerlukan waktu panjang sebelum terlihat hasil
kongkretnya.
Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir
ini, kian sulit bagi LSM lokal untuk mendapat pendanaan bagi program mereka
sehingga tidak sedikit LSM lokal yang terpaksa tutup buku atau bertahan seadanya.
Gejala ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain
di Asia Tenggara. Sebagai anggota badan penasihat beberapa LSM internasional
yang bergerak dalam pendidikan, perdamaian, dan pemberdayaan sosial, saya
menemukan banyak LSM Asia Tenggara yang tidak lagi mampu menjalankan programnya
karena terhentinya dana dari para donor. Bahkan, LSM-nya terpaksa hidup
'Senin-Kemis'.
Mengapa gejala ini terjadi? Temuan Alan
Feinstein, senior fellow Asia Public Intellectuals (API), dalam lokakarya
hasil-hasil penelitian para fellows API di Penang, Malaysia pada 21-22 Nopember
lalu mengungkapkan adanya perubahan orientasi lembaga filantropi internasional.
Terdapat kecenderungan kuat di Indonesia dan Filipina, misalnya,
lembaga-lembaga filantropi lama, seperti Ford Foundation, Rockefeller
Foundation, dan MacArthur Foundation, mengubah pendekatan terhadap mitra LSM
lokal mereka. Kini, mereka cenderung hanya mau mendanai program yang dapat
terbukti berhasil secara terukur dan nyata dalam waktu singkat.
Menurut Feinstein, para donor
filantropi tidak lagi tertarik dalam bidang-bidang program luas, khususnya yang
perlu waktu panjang untuk membuktikan keberhasilannya, atau yang sulit terukur
hasilnya. Sebab itu, minat mereka kian kurang dalam program pengembangan
kapasitas, penguatan civil society, bekerja dengan dan melalui
pemerintah dalam mendukung penguatan masyarakat. Sebaliknya, lembaga-lembaga
filantropi internasional kian cenderung mengontrak dan bekerja sama dengan
lembaga yang berorientasi keuntungan (for-profit).
Inilah lembaga-lembaga filantropi
internasional baru yang umumnya didirikan para pengusaha besar-seperti Bill
Gates-yang bertujuan menerapkan model dan nilai bisnis untuk memecahkan
masalah-masalah sosial. Mereka ini disebut Feinstein sebagai
philanthrocapitalists yang membawa klaim strategi dan pendekatan baru. Mereka
juga mengkritik pendanaan pemberdayaan sosial oleh donor-donor pemerintah dan
lembaga-lembaga filantropi lama sebagai tidak akuntabel, tidak efisien, dan
akhirnya tidak berhasil dalam menciptakan dan mendorong perubahan sosial.
Menghadapi kritik-kritik semacam itu, lembaga-lembaga filantropi lama terpaksa
mengikuti pendekatan berorientasi bisnis yang dibawa para filantrokapitalis
yang menghasilkan perubahan radikal dalam program, staf, dan bahkan cara
melakukan sesuatu.
Semua gejala dan kecenderungan ini
jelas membuat kiprah LSM lokal kian sulit dalam pendanaan bagi program
pemberdayaan sosial yang demikian banyak. Padahal, program-program mereka
sangat penting dan urgen karena pada saat yang sama pemerintah tidak atau belum
mampu mewujudkan pemberdayaan sosial secara baik. Sebab itulah perlu penguatan
potensi-potensi filantropi dalam negeri sendiri yang sebenarnya cukup besar,
tetapi belum terkonsolidasi dengan baik. Ke depan, penguatan dan konsolidasi
potensi filantropi dalam negeri sepatutnya menjadi prioritas penting, baik bagi
pemerintah sendiri maupun masyarakat. Dan, seyogianya pemerintah memberikan
insentif-insentif khusus guna mempercepat konsolidasi filantropi dalam negeri
tersebut.[]
Tulisan
ini pernah dimuat di Republika, 9 Desember 2010
Sumber:
Kamis,
09 Desember 2010 18:06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar