Selasa, 11 Maret 2014

Luka di Champs Elysees




Judul: Luka di Champs Elysees
Penulis: Rosita Sihombing
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
Cetakan: Pertama, Agustus 2008
Tebal: 192 halaman
Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka


Namanya padat, Karimah. Hamed menemukannya di ujung jalan Champs Elysees, Perancis. Kari, begitu ia akrab dipanggil, tergeletak tak berdaya. Kata Hamed, waktu itu matanya sembab, tubuh Kari kusam, laiknya seorang gembel. Karena merasa kasihan, dibawalah wanita malang itu ke apartemennya. Rasa kemanusiaannya tumbuh seketika melihat kondisi seorang wanita yang lunglai.
Sejak itulah mereka berdua menjalin hubungan khusus. Kari menamai hubungan mereka dengan istilah ‘teman hidup’. Entah apa yang dimaksudkannya. Tetapi, setelah kejadian itu, bagi Kari Hamed bagai malaikat yang diutus Tuhan untuk menolongnya. Di tengah kondisinya yang tak jelas. Ternyata, masih ada orang yang peduli akan nasibnya. Sampai di di sini ia masih merasa nyaman.
Keadaan berbalik ketika tiba-tiba saja Hamed meninggalkan Kari, tanpa pamit. Parahnya Kari dalam keadaan hamil. Siapa yang tak gelisah ditinggal dalam keadaan hamil tanpa status nikah. Sejurus kemudian ia terkenang dengan anaknya yang berada di Indonesia. Tari namanya. Rasa bersalah pun menyembul. Bagaimana kalau suaminya, Pardi, tahu dengan kondisinya tersebut. Padahal, keberangkatannya ke sana bukan untuk bersenang-senang, tetapi bekerja. Apalagi mengandung benih yang tak semestinya.

Potret TKW
Kisah ini adalah potret buram seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang sempoyongan mengahadapi realitas hidup yang teramat kejam. Mulanya, Kari tak tertarik hijrah ke Riyadh. Tetapi, mendengar desas-desus kesuksesan salah seorang teman Kari bertekad pergi ke sana. Ya, demi mencapai taraf hidup yang lebih baik tentunya. Dengan sejuta iming-iming itulah, dengan berat hati, Kari meninggalkan keluarga tercinta ke negeri yang tak pernah kakinya dijejakkan di atasnya.
Sesampainya di Riyadh, bukan apa yang dibayangkan sewaktu masih di Indonesia yang didapat, akan tetapi tindak kesewenang-wenangan sang majikan. Ia sering mendapat damprat dan amukan dari sang Nyonya, Madame Haifa. Tak ayal semakin lama ia tinggal bersamanya, kebenciannya terhadap wanita yang menurutnya hedonis tersebut semakin memuncak.
Bahkan, sampai beberapa bulan lamanya, ia tak bisa menikmati hasil kerjanya. Ia hanya dipegangi uang untuk ala kadarnya. Tak lebih. Tragisnya lagi, pelecehan seksual oleh kerabat sang majikan adalah puncak dari semua penderitaannya. Apalagi ziyad Alkahtani, suami Madame Haifa sering tak ada di rumah. Padahal, ia terbilang baik hati. Maka, lengkaplah penderitaan Kari.
Mata Kari sedikit berbinar-binar saat mendengar berita bahwa ia akan diajak “rekresi” bersama majikan ke Perancis. Tepatnya mengasuh Nashar, anak kedua sang majikan yang masih balita. Meskipun demikian, ia masih merasa lega. Pikirnya, ketimbang berdiam diri di “neraka” dunia sedikit lebih baik ia ikut ke sana, di mana menara Eiffel berada. Kari memanfaatkan momen yang pas itu. Di saat kendaraan umum di tengah jalan berlalu lalang, ia secepat kilat mengambil langkah seribu menjauhi sang majikan. Ia berlari sekuat tenaga. Nafasnya hampir putus, tersengal-sengal tak karuan. Ia pun was-was jikalau ia tertangkap lagi. Pasti, ia akan menjadi bulan-bulanan untuk yang kesekian kalinya. Sempat terjatuh, tapi bangkit lagi mengimpun tenaga.
Dan akhirnya ia tak sadarkan diri. Kelelahan berlari. Ia pingsan. Di tempat itulah ia bertemu dengan Hamed. Laki-laki yang semulanya adalah malaikat. Nyatanya, mengkhianatinya begitu saja. Pada saat genting sesaat sebelum “anak” mereka dilahirkan di dunia, Hamed tak ada di sampingnya. Ia tak bisa dihubungi. Seketika itu pula, Kari menyesalkan keputusannya untuk tidak menggugurkan kandungan. Janji yang ditebarkan Hamed untuk membesarkan anaknya pun pupus sudah.
Nasibnya lebih mengenaskan karena selahirnya anaknya ke dunia Hamed membelot dari tanggung jawab. Pertengkaran antara keduanya tak bisa dihindarkan. Sembari menggendong bayinya, Kari memukul-mukul dada Hamed. Didorongnya pria malaikat itu beberapa kali. Berteriak histeris sesekali

Pelajaran
Novel ini ditulis oleh Rosita, yang sejak tahun 2003 lalu menetap di Paris, Prancis. Tak heran jika ia cukup lentur bertutur seluk-beluk Prancis beserta isinya. Ia cukup lincah mendiskripsikan tempat wisata yang dimilikinya, laiknya menara Eiffel. Buku ini setidaknya menegaskan bahwa hidup di negeri orang, apalagi sebagai pekerja, adalah besar tantangannya.***
Tak hanya fisik, tapi juga mental yang menjadi pertaruhan. Kehadiran buku ini sekaligus menjadi pengingat bagi “mereka” yang tergiur dengan iming-iming gaji yang menggiurkan di negeri seberang sana. Pun, ini sebuah teguran buat pemerintah agar mau memberikan cukup perhatian kepada warga negaranya yang terjebak permasalahan di sana.
Sayangnya, novel ini terlampau tipis. Jauh lebih baik lagi jika diskripsi yang dibangun oleh penulis tak melulu tentang dirinya dan penderitaan yang dialami. Sehingga, ceritanya tak menjadikan pembaca tak merasa disuguhi narasi mati dari penulis. Cerita yang baik adalah cerita yang bisa mengajak pembaca berdialog dengan tulisan. Juga, penulis kayaknya terlalu tergesa-gesa mengakhiri cerita novel ini sepulangnya Kari ke Indonesia usai pemakaman anaknya dan segala urusannya diselesaikan. (*)

Dimuat di Batam Pos, Minggu, 25 Januari 2009
Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar