Judul: Luka di Champs Elysees
Penulis:
Rosita Sihombing
Penerbit:
Lingkar Pena Publishing House
Cetakan:
Pertama, Agustus 2008
Tebal:
192 halaman
Peresensi:
Ahmad Khotim Muzakka
|
Namanya padat, Karimah. Hamed menemukannya di
ujung jalan Champs Elysees, Perancis. Kari, begitu ia akrab dipanggil,
tergeletak tak berdaya. Kata Hamed, waktu itu matanya sembab, tubuh Kari kusam,
laiknya seorang gembel. Karena merasa kasihan, dibawalah wanita malang itu ke
apartemennya. Rasa kemanusiaannya tumbuh seketika melihat kondisi seorang
wanita yang lunglai.
Sejak itulah mereka berdua menjalin hubungan
khusus. Kari menamai hubungan mereka dengan istilah ‘teman hidup’. Entah apa
yang dimaksudkannya. Tetapi, setelah kejadian itu, bagi Kari Hamed bagai
malaikat yang diutus Tuhan untuk menolongnya. Di tengah kondisinya yang tak
jelas. Ternyata, masih ada orang yang peduli akan nasibnya. Sampai di di sini
ia masih merasa nyaman.
Keadaan berbalik ketika tiba-tiba saja Hamed
meninggalkan Kari, tanpa pamit. Parahnya Kari dalam keadaan hamil. Siapa yang
tak gelisah ditinggal dalam keadaan hamil tanpa status nikah. Sejurus kemudian
ia terkenang dengan anaknya yang berada di Indonesia. Tari namanya. Rasa
bersalah pun menyembul. Bagaimana kalau suaminya, Pardi, tahu dengan kondisinya
tersebut. Padahal, keberangkatannya ke sana bukan untuk bersenang-senang,
tetapi bekerja. Apalagi mengandung benih yang tak semestinya.
Potret TKW
Kisah ini adalah potret buram seorang tenaga
kerja wanita (TKW) yang sempoyongan mengahadapi realitas hidup yang teramat
kejam. Mulanya, Kari tak tertarik hijrah ke Riyadh. Tetapi, mendengar
desas-desus kesuksesan salah seorang teman Kari bertekad pergi ke sana. Ya,
demi mencapai taraf hidup yang lebih baik tentunya. Dengan sejuta iming-iming
itulah, dengan berat hati, Kari meninggalkan keluarga tercinta ke negeri yang
tak pernah kakinya dijejakkan di atasnya.
Sesampainya di Riyadh, bukan apa yang
dibayangkan sewaktu masih di Indonesia yang didapat, akan tetapi tindak
kesewenang-wenangan sang majikan. Ia sering mendapat damprat dan amukan dari
sang Nyonya, Madame Haifa. Tak ayal semakin lama ia tinggal bersamanya,
kebenciannya terhadap wanita yang menurutnya hedonis tersebut semakin memuncak.
Bahkan, sampai beberapa bulan lamanya, ia tak
bisa menikmati hasil kerjanya. Ia hanya dipegangi uang untuk ala kadarnya. Tak
lebih. Tragisnya lagi, pelecehan seksual oleh kerabat sang majikan adalah
puncak dari semua penderitaannya. Apalagi ziyad Alkahtani, suami Madame Haifa
sering tak ada di rumah. Padahal, ia terbilang baik hati. Maka, lengkaplah
penderitaan Kari.
Mata Kari sedikit berbinar-binar saat mendengar
berita bahwa ia akan diajak “rekresi” bersama majikan ke Perancis. Tepatnya
mengasuh Nashar, anak kedua sang majikan yang masih balita. Meskipun demikian,
ia masih merasa lega. Pikirnya, ketimbang berdiam diri di “neraka” dunia
sedikit lebih baik ia ikut ke sana, di mana menara Eiffel berada. Kari
memanfaatkan momen yang pas itu. Di saat kendaraan umum di tengah jalan berlalu
lalang, ia secepat kilat mengambil langkah seribu menjauhi sang majikan. Ia
berlari sekuat tenaga. Nafasnya hampir putus, tersengal-sengal tak karuan. Ia
pun was-was jikalau ia tertangkap lagi. Pasti, ia akan menjadi bulan-bulanan untuk
yang kesekian kalinya. Sempat terjatuh, tapi bangkit lagi mengimpun tenaga.
Dan akhirnya ia tak sadarkan diri. Kelelahan
berlari. Ia pingsan. Di tempat itulah ia bertemu dengan Hamed. Laki-laki yang
semulanya adalah malaikat. Nyatanya, mengkhianatinya begitu saja. Pada saat
genting sesaat sebelum “anak” mereka dilahirkan di dunia, Hamed tak ada di
sampingnya. Ia tak bisa dihubungi. Seketika itu pula, Kari menyesalkan
keputusannya untuk tidak menggugurkan kandungan. Janji yang ditebarkan Hamed
untuk membesarkan anaknya pun pupus sudah.
Nasibnya lebih mengenaskan karena selahirnya
anaknya ke dunia Hamed membelot dari tanggung jawab. Pertengkaran antara
keduanya tak bisa dihindarkan. Sembari menggendong bayinya, Kari memukul-mukul
dada Hamed. Didorongnya pria malaikat itu beberapa kali. Berteriak histeris
sesekali
Pelajaran
Novel ini ditulis oleh Rosita, yang sejak tahun
2003 lalu menetap di Paris, Prancis. Tak heran jika ia cukup lentur bertutur
seluk-beluk Prancis beserta isinya. Ia cukup lincah mendiskripsikan tempat
wisata yang dimilikinya, laiknya menara Eiffel. Buku ini setidaknya menegaskan
bahwa hidup di negeri orang, apalagi sebagai pekerja, adalah besar
tantangannya.***
Tak hanya fisik, tapi juga mental yang menjadi
pertaruhan. Kehadiran buku ini sekaligus menjadi pengingat bagi “mereka” yang
tergiur dengan iming-iming gaji yang menggiurkan di negeri seberang sana. Pun,
ini sebuah teguran buat pemerintah agar mau memberikan cukup perhatian kepada
warga negaranya yang terjebak permasalahan di sana.
Sayangnya, novel ini terlampau tipis. Jauh lebih
baik lagi jika diskripsi yang dibangun oleh penulis tak melulu tentang dirinya
dan penderitaan yang dialami. Sehingga, ceritanya tak menjadikan pembaca tak
merasa disuguhi narasi mati dari penulis. Cerita yang baik adalah cerita yang
bisa mengajak pembaca berdialog dengan tulisan. Juga, penulis kayaknya terlalu
tergesa-gesa mengakhiri cerita novel ini sepulangnya Kari ke Indonesia usai
pemakaman anaknya dan segala urusannya diselesaikan. (*)
Dimuat
di Batam Pos, Minggu, 25 Januari 2009
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar