Judul:
The Arabian Nightmare
Penulis:
Robert Irwin
Terbit :
Maret 2009
Penerbit:
Ramala Books
ISBN:
602-8224-17-8
Halaman:
380
|
Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi
Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa
dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari
Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.
Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah
memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia
di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap,
dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari
sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.
Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat.
Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat
beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen
Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.
Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang
belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu
dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling
Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki
milik Mustafa di dekat kampus.
Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang
mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga
keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang
baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari
pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa
Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan
Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses
pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga
mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.
Baik persahabatannya dengan Azam maupun
aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke
negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal
di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju
Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk
mengunjungi Masjid Al-Aqsha.
Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan
peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang
dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung
dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan
senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya
dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa.
Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan
melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab
kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya
perselisihan hanya adu mulut.
Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.
Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.
“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu
menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan
komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang
memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina
atas sikap negara Barat, khususnya AS.
Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri
selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan
tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin
bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI
se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar
di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke
Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.
Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad
Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs
penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan
dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak
bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan
pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu,
sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak
diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi
mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.
Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus
pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri.
Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami
kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir
studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis
setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke
seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT)
di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan
wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.
Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal
sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas
tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya.
Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan
maksimal. (*)
Dimuat
di Jurnal Nasional, Mei 2009
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar