Turki
Erdogan
Oleh
Azyumardi Azra
Turki. Masih dalam suasana Hari Raya
Idul Fitri awal September, pemerintah Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri
Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk 'menurunkan' hubungan militer dan
diplomatik dengan Israel. Langkah drastis ini diambil Erdogan setelah Israel
tidak memenuhi tuntutan Turki untuk minta maaf atas tindakan militernya
menyerbu kapal perdamaian Mavi Marmara 31 Mei 2010 yang menewaskan sembilan
tentara Turki dan aktivis perdamaian.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon
menyesalkan memburuknya hubungan Turki-salah satu dari tiga negara Timur Tengah
yang memiliki hubungan diplomatik dan militer dengan Israel; dua lainnya adalah
Mesir dan Yordania. Meski ada imbauan Sekjen PBB agar Turki dan Israel
memperbaiki kembali hubungan mereka, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan
bakal terjadinya perbaikan.
Sebaliknya, Turki di bawah PM Erdogan
adalah Turki yang kian unjuk gigi di Timur Tengah. Turki tidak hanya bertindak
tegas terhadap Israel, tapi juga sebelumnya bersuara keras terhadap rezim
Khadafi (Libya) dan Bashar Assad (Syria) yang melakukan kekerasan terhadap
warga negaranya sendiri. Di tengah kemerosotan dan masalah yang dihadapi
negara-negara yang secara tradisional hegemonik di Timur Tengah, seperti Irak,
Mesir, Libya, dan Syria, Turki kini berdiri kokoh, baik ke dalam maupun keluar.
Turki kini terlihat begitu kuat, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga bila
dibandingkan dengan sejumlah negara Eropa yang tengah bergulat dengan krisis
ekonomi.
Di mana rahasia Turki sehingga bisa
menjadi begitu asertif? Kunci utamanya tidak lain adalah keberhasilan PM
Erdogan membangun ekonomi Turki setelah dua kali masa pemerintahannya. Karena
itu, tak heran jika awal Agustus lalu PM Erdogan kembali menang dalam Pemilu
dengan sekitar 50 persen pemilih memberikan suara kepada partainya, AKP, Partai
Pembangunan dan Keadilan. Padahal, ketika mulai berkuasa pada 2002, PM Erdogan
mewarisi Turki yang tengah ambruk secara ekonomi, di mana tingkat kemiskinan,
pengangguran, dan kesenjangan pendapatan menganga luas. Di tengah situasi
memburuk itu, pertikaian dan konflik politik juga sangat mewarnai kehidupan
publik Turki.
PM Erdogan dengan AKP yang secara
tersembunyi merupakan partai berorientasi Islam berhasil membalikkan keadaan.
Pembalikan keadaan itu dilakukan berdasarkan prinsip Erdogan tentang 'demokrasi
ke depan' (forward democracy) yang berisikan 'ekonomi yang kuat,
pemerintahan yang kuat, dan partai yang kuat'. Berdasarkan kerangka ini, PM
Erdogan menampilkan pemerintahan efektif dan efisien melalui transformasi
birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan publik daripada melayani diri
sendiri.
Hasilnya, ekonomi Turki tumbuh secara
fenomenal. Pada 2011 ini, prediksi pertumbuhan ekonominya mencapai 11 persen.
Tetapi, perkembangan ekonomi yang mengagumkan itu bukan semata-mata demi
pertumbuhan, tetapi untuk pemerataan dan keadilan. Pemerintahan Erdogan,
misalnya, memberikan akses seluas-luasnya bagi kaum miskin untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan terbaik; pemukiman kumuh digusur untuk digantikan perumahan
publik masif dan dengan subsidi besar negara; infrastruktur seperti jalan raya
dan jalan kampung dibangun besar-besaran.
Pencapaian besar lain Erdogan adalah
keberhasilannya menguasai militer yang merupakan pengawal sekularisme-kemalisme.
Dengan posisi dan tradisi ini, militer Turki dari waktu ke waktu mengudeta
pemerintahan-pemerintahan yang mereka anggap 'menyimpang' dari prinsip
sekularisme-kemalisme.
Tetapi, militer tidak berkutik
berhadapan dengan PM Erdogan. Fakta bahwa Erdogan berkuasa sudah satu dasawarsa
jelas menunjukkan ketidakmampuan militer menghadapi PM Erdogan yang pertama
kali dalam sejarah Turki modern memperkenalkan seorang istri berjilbab di
istana negara. Hal yang sama juga dilakukan istri Presiden Abdullah Gul. Padahal,
jilbab secara resmi masih terlarang di ranah resmi pemerintahan.
Puncaknya, keberhasilan PM
Erdogan-bersama Presiden Gul-menguasai militer adalah pertengahan Agustus lalu
ketika mereka mengangkat Penglima Angkatan Bersenjata baru setelah pada 29 Juli
seluruh pemimpin puncak militer-darat, laut dan udara-mengundurkan diri.
Pengunduran besar-besaran ini ternyata tidak menimbulkan krisis politik Turki.
Dan, sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar bagi pemerintahan sipil
mengendalikan militer untuk pertama kali dalam sejarah modern Turki.
Turki di bawah Erdogan adalah showcase
negara Muslim yang berhasil dalam reformasi politik dan ekonominya. Indonesia
juga punya potensi dan peluang yang sama. Sayangnya, reformasi di Indonesia
masih setengah hati sehingga gagal, misalnya, dalam menciptakan pemerintahan
yang bersih. Akibatnya, juga tidak efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.[*]
Tulisan
dimuat pada Harian Republika, Kamis, 22 September 2011.
Sumber:
Kamis,
22 September 2011 12:59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar