The
Greedy State
Oleh
Azyumardi Azra
'Negara rakus', the greedy state
. Inilah ungkapan yang sering dikemukakan sejarawan terkemuka Taufik Abdullah
dalam menggambarkan karakter kekuasaan pada masa Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto. Dalam masa ini, negara tidak hanya menguasai kehidupan politik dan
ekonomi, tetapi juga dengan rakus merasuk ke bidang-bidang lain; sosial,
budaya, agama, dan seterusnya.
Begitu rakusnya negara dan penguasanya,
sehingga hampir tidak ada lagi ruang bagi masyarakat mengekspresikan diri.
Kekuatan-kekuatan masyarakat yang berusaha mengelak dan bahkan melawan
kerakusan negara dan penguasanya, dibuat hampir tidak berdaya sama sekali.
Sampai akhirnya peragian kekuasaan membuat kerakusan itu tidak lagi bisa
berlanjut; krisis moneter dan ekonomi yang diikuti krisis politik 1997-1998
akhirnya menamatkan kekuasaan yang rakus tersebut.
'Sejarah adalah cermin diri,' tulis
Taufik Abdullah dalam bukunya Indonesia Towards Democracy (2009)
yang saya kira merupakan magnum opus tentang sejarah politik dan sosial
Indonesia dalam nation-building , pembentukan dan pembinaan negara
sejak masa kemerdekaan hingga demokrasi sekarang. Dalam bacaan saya atas buku
setebal lebih dari 600 halaman ini, nation-building negara-bangsa
Indonesia ironisnya sering menjadi kacau dan ricuh justru karena polah negara
yang oleh penguasanya dibuat menjadi sebuah greedy state .
Negara rakus dapat begitu digjaya dalam
masa tertentu--mampu memaksakan dominasi dan hegemoninya, misalnya atas nama
pembangunan--terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tetapi,
kerakusan negara tetap saja juga mengandung keterbatasan tertentu. Dan pada
tahap ini ia bisa menjadi korban dari ''keberhasilan'' sendiri yang
berakumulasi dengan faktor yang tidak pernah terbayangkan, semacam krisis
moneter dan keuangan global.
Jika sejarah adalah cermin diri untuk
hari ini dan masa depan, apakah negara kita setelah lebih satu dasawarsa
melangkah menuju demokrasi dapat kembali dijadikan penguasanya menjadi
sebuah greedy state ? Dalam banyak hal pastilah tidak; zaman telah
berubah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah juga telah
berbeda banyak.
Kini, berkat demokrasi, negara dan
penguasanya demi kepentingan politiknya sendirikelihatan sangat sulit
menerapkan politik yang membuat kembali bangkitnya greedy state di
Tanah Air. Misalnya saja, negara dan penguasa tidak lagi bisa menguasai dan
mengontrol kebebasan berpendapat. Indonesia memiliki kekebasan pers yang
mungkin sulit tertandingi di banyak negara lain di muka bumi. Indonesia juga
memiliki kebebasan politik yang eksesif dalam bentuk proliferasi parpol yang
begitu banyak sejak Pemilu 1999, 2004, sampai 2009.
Hasilnya, fragmentasi politik menjadi
sangat meluas sampai sekarang ini, yang sulit menyisakan ruang bagi dominasi
dan hegemoni politik kekuatan politik tertentu terhadap negara, seperti pernah
kita alami pada masa Orde Baru. Karena itu, setidaknya sampai Pileg dan Pilpres
2009, penguasa hampir tidak memiliki peluang pula, baik secara sengaja atau
tidak, menggiring republik ini kembali menjadi sebuah ''greedy state''.
Hampir berbarengan dengan semua
perkembangan itu, ''kerakusan'' negara pusat kian terlucuti dengan proses
desentralisasi dan juga otonomi khusus bagi provinsi-provinsi tertentu.
Akibatnya, negara dengan wakilnya di provinsi, yaitu gubernur, juga tidak lagi
dapat mendominasi proses politik bahkan termasuk dalam pelaksanaan program
pembangunan. Berbagai usaha untuk mengembalikan peran sentral negara tidak atau
belum berhasil sampai sekarang, bukan hanya karena komplikasi-komplikasi hukum,
tetapi juga disebabkan sulitnya membalikkan kembali semangat kedaerahan yang
telanjur bernyala-nyala.
Di tengah semua perkembangan seperti
itu, sekali lagi, masih mungkinkah kita kembali memiliki sebuah greedy
state ? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab pasti; tetapi jawaban paling
sederhana dan cepat adalah: hampir tidak mungkin. Namun, kerakusan adalah salah
satu sifat dasar manusia, hampir tanpa kecuali.
Orang cenderung tidak pernah puas pada
apa yang telah dia miliki, kesuksesan, kekuasaan yang sulit ditandingi, dan
harta yang melimpah ruah. Dengan kecenderungan itu, orang kemudian melakukan
berbagai cara termasuk yang tidak sah, melanggar hukum, melangkahi akhlak dan
etika. Dan agaknya inilah penjelasan mengapa masih saja ada orang yang memiliki
otoritas dan kekuasaan tetap berani melakukan korupsi dan tindakan koruptif
lainnya.
Mereka seolah tidak keder dengan KPK
dan LSM-LSM antikorupsi dan seterusnya; mereka juga seolah takut dengan
penjarakarena dalam praktiknya hidup di penjara belum tentu susah benar. Mereka
juga tidak takut dengan ancaman akhirat karena dalam persepsi mereka, tokh
ada jalan untuk melakukan sin laundering cuci dosa dengan
membelanjakan sebagian hasil korupsi untuk ibadah atau membantu lembaga agama.
Mempertimbangkan perkembangan politik
Pascapilpres 2009 sampai sekarang, agaknya ada orang yang tergoda memandang
tentang menguatnya tendensi politik yang dapat mengarah kepada penciptaan
kekuatan politik yang dominatif dan hegemonik yang bukan tidak mengandung
kerakusan politik.
Motif utamanya: kekhawatiran eksesif
pada kemungkinan tidak bisa bertahannya kekuasaan yang ada. Dan ini agaknya
kian mencemaskan ketika pengungkapan skandal Bank Century makin telanjang.
Sekali lagi, jika sejarah adalah cermin, usaha-usaha semacam itu sangat boleh
jadi bakal sia-sia belaka; bahkan sebaliknya justru bisa memunculkan efek
sampingan yang tidak perlu dan kontraproduktif. [*]
Sumber:
Kamis,
28 Januari 2010 10:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar