Judul: Semar Dadi Ratu;
Mengenang Gus Dur Kala Jadi Presiden
Penulis: Sumanto
Al-Qurtuby
Penerbit: Lembaga
Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
Peresensi: Nazar
Nurdin
|
Gus Dur adalah sosok yang luar biasa dan
fenomenal. Seluruh sisa hidupnya dipersembahkan untuk rakyat. Bahkan dalam
kondisi darurat—menjelang wafat—Gus Dur selalu berfikir untuk rakyat Indonesia.
Ia bukan saja “guru besar” kaum sarungan, melainkan guru besar bangsa
Indonesia. Bapak pluralisme Indonesia. Satu hal yang pasti, Gus Dur berjuang
dengan penuh kejujuran serta keikhlasan. Perjuangannya tidak dilakukan untuk
memperoleh jabatan atau pun popularitas.
Jamak dari kita berjuang hanya mencari jabatan
sekaligus mencari ketenaran. Tapi, ini tidak berlaku bagi Gus Dur. Meski pada
akhirnya ia dikecewakan oleh para “sahabat”nya sendiri, dicaci maki, dijadikan
ajang pelampiasan oleh banyak kalangan, Gus Dur tidak pernah marah atau pun
ingin membalaskan dendamnya. Melalui buku ini, Sumanto al- Qurtuby dengan kolom-kolom
esainya ingin sesekali mendedikasikan buku ini sebagai bentuk pengabdian kepada
sang guru bangsa.
Sumanto pun sadar, ia bukan sebagai anak
biologis sang bapak pluralisme ini. Ia juga bukan bagian dari kerabat dan
saudarasaudaranya. Bukan pula tetangganya dan bukan “santri” ngajinya. Ia juga
bukan orang yang mendapatkan “syafaat” dari Gus Dur untuk menduduki
jabatan-jabatan politis-strategis. Ia juga bukan orang yang diuntungkan ketika
Gus Dur menjabat sebagai Presiden, juga bukan kelompok yang mendapatkan
keuntungan politik dan material dari Gus Dur.
Tapi, Sumanto mengakui sebagai salah satu “anak
idelogis” Gus Dur yang mencoba mengabdikan diri kepada sang inspirator yang
telah memberikan rujukan tentang pemikiran-pemikiran yang inklusif-pluralis,
yang melintas batas ideologi, agama dan etnis (hlm. xliii). Dalam buku ini,
disajikan pelbagai fenomena menarik ketika Gus Dur menjabat sebagai orang
pertama di negeri ini.
Sesaat ketika Gus Dur diambil sumpah sebagai Presiden RI ke-4, ia menegaskan bahwa hanya mereka yang mengerti dan memahami hakikat demokrasi yang mampu mengamalkan, memelihara dan menegakkan demokrasi. Dalam pandangannya, ia mendasarkan prinsip demokrasi pada tiga hal; kebebasan, persamaan dan musyawarah.
Sesaat ketika Gus Dur diambil sumpah sebagai Presiden RI ke-4, ia menegaskan bahwa hanya mereka yang mengerti dan memahami hakikat demokrasi yang mampu mengamalkan, memelihara dan menegakkan demokrasi. Dalam pandangannya, ia mendasarkan prinsip demokrasi pada tiga hal; kebebasan, persamaan dan musyawarah.
Ketiga konsep ini diadopsi oleh Gus Dur dari
gerakan antidiskriminasi Mahatma Gandi, dan rumusan Ali Abdurraziq. Gus Dur
sekali lagi memang kontroversial. Selama menjadi presiden, ia membubarkan
Departemen Penerangan (Deppan) dan Departemen Sosial (Depsos). Ia menganggap
kedua Departemen itu telah menyalahi Konstitusi dan prinsip demokrasi itu
sendiri. Sehingga, muncul penolakan dan kritik keras dari berbagai kalangan.
Dari sinilah, pemerintahan Gus Dur tidak
mendapat dukungan dari TNI, seruan fatwa Mahkamah Agung, hingga kemudian MPR
menggelar Sidang Istimewa untuk melengserkan Gus Dur tanpa kehadiran sang
Presiden. Sehingga, dari sini pulalah Sang Mantan Presiden dijungkalkan secara
politis dari kursi presiden di negeri ini dengan disertai isu skandal
Buloggate. [*]
Dimuat
di Koran Jakarta, 11 Desember 2010
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=1033
http://resensibuku.com/?p=1033
Tidak ada komentar:
Posting Komentar